Bagian 15
{Elegi}
Pagi itu terlihat sangat cerah, tapi Jihan tidak merasakan kehangatan mentari di pagi yang cerah itu, dia merasa jiwanya sepi, sangat sepi. Hati kecilnya masih bertanya, kenapa kedua orangtuanya berusaha menutupi kabar itu, Jihan merasa sengaja di jauhkan karena mungkin saja mereka berfikir jika dia akan melakukan sesuatu untuk mengagalkan acara itu, kenapa mereka berfikir dirinya sejahat itu?
“Assalamualaikum”
“Wa.. waalaikumsalam..”
“Kenapa Nay?”
“Mbak Jihan mau ikut rombongan di bus ya?”
“Iya”
“Em, Maaf ya mbak, tapi busnya udah penuh. Umi baru konfirmasi tadi subuh dan setelah saya cek udah nggak ada kursi yang kosong mbak, gimana ya?”
“Udah ngak papa Nay, nanti saya bisa pesen taxi aja”
“Beneran nggak papa mbak?”
“Iya, maaf juga ya jadi bikin kamu repot”
“Nggak mbak, ini kan emang udah jadi tugas saya. Kalo gitu saya pamit dulu ya mbak, masih ada yang perlu di cek lagi”
“Iya”
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam..” Jihan menghela nafas pelan setelah Nayla berlalu, salah satu pengurus keamanan santri putri. Dia segera mengambil ponselnya untuk memesan taxi secara online, kemudian gadis itu mengirimkan sebuah pesan sebelum beranjak untuk bersiap-siap.
###
“Hoam..” Monti mulai membuka matanya akibat pantulan sinar matahari yang semakin terik, dia melihat ke sekeliling tempatnya berbaring kemudian berusaha mengingat apa yang telah terjadi padanya.
“Pasar? Ya ampun, dimana bos Jeck?”
BRAK
“Aduh” keluh Monti sambil mengusap jidatnya yang terantuk tembok akibat terburu-buru bangun dengan panik, Monti melihat barang-barang yang berserakan di tempat itu, seperti telah terjadi keributan.
“Bos Jeck?”
Monti segera mencari keberadaan ponselnya, dengan cepat dia berusaha menghubungi Jeck tapi tidak ada jawaban hanya nada ucapan permintaan maaf dari sang operator membuat Monti menghela nafas berat.
“Mampus nih gue!”
Sementara itu, sebuah gedung yang cukup mewah sedang terbaring beberapa orang dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. Dua tenaga medis sedang berusaha menangani mereka dengan cekatan, sementara itu Rayi berdiri diantara mereka dengan murka.
“Siapa mereka?”
“Kemungkinan anak buah Jeck bos”
“Brengs*k! Pasar itu bukan wilayah Jeck!”
“Bandi, dia yang minta tolong sama Jeck” ujar Rozi sambil menahan ngilu pada tangan kanannya, hal itu membuat Rayi semakin murka dia menghempaskan tubuhnya pada sebuah kursi dengan kasar.
“Lu yakin?”
“Ada Bobi disana, dia salah satu anak buah Jeck”
“Siapa lagi yang lu kenal?”
“Ada Ramon juga disana bos”
“Ramon?”
“Tangan kanan Ringgo”
“Keparat! Jadi mereka sengaja mengajak kerjasama untuk tau kelemahan kita, lalu melaporkan hal itu untuk Jeck!”
“Bisa jadi bos, pasukan mereka tidak bisa kita anggap remeh. Meskipun kami bisa bertahan, mereka juga luka parah tapi itu berarti kekuatan kita dan mereka imbang” jelas Rozi masih dengan helaan nafas berat, Rayi memandang iba ke arahnya lalu segera beranjak meninggalkan tempat itu.
“Hallo, siapin pasukan tangkap Ringgo! Bawa dia hidup atau mati!”
###
Kahfi sedang mempersiapkan beberapa keperluan untuk acara lamarannya nanti malam, dia juga sedang menunggu kedatangan beberapa teman dari pesantren yang akan membantunya dalam mempersiapkan acaranya. Jeck tanpa sengaja lewat di depan rumah di ujung gang desa itu, keberadaan markas barunya tidak di sekitar tempat itu tapi Jeck ada sedikit keperluan yang mengharuskannya melalui jalan itu.
“Eh masnya, Assalamualaikum..”
Hening tidak ada jawaban, Jeck hanya melihat datar pada Kahfi yang sedang repot dengan segudang aktifitasnya, senyuman ramah masih menghiasi wajah Kahfi sementara Jeck tetap tidak bergeming hingga matanya melirik satu kardus yang nyaris terjatuh. Kejadian itu begitu cepat, Kahfi nyaris tidak menyadari hal itu hanya sekejab mata dan Jeck berdiri disana dengan satu kardus di tangannya.
“Ati-ati lu!”
“Iy.. iya mas, terimakasih”
Jeck hanya melengos, memakai kembali penutup kepala hoodie hitam yang sedang di kenakan nya, kedua tanggan nya masuk ke dalam kantong hoodie dan tanpa menoleh, tanpa berucap bahkan tanpa berekpresi Jeck meninggalkan tempat itu, sementara Kahfi masih menatap kepergiannya dengan gamang.
Sementara itu di dalam sebuah taxi online, Jihan meminta sang sopir untuk mengubah rute perjalanan mereka tidak lagi mengikuti bus yang berisi rombongan pengajian melainkan ke suatu tempat yang berbeda arah dengan jarak tempuh cukup jauh.
“Turun disini aja pak”
“Baik mbak”
“Ini” Jihan menyerahkan selembar uang seratus ribuan, sang sopir memberikan beberapa lembar sebagai kembalian.
“Terimakasih mbak”
“Saya juga terimakasih ya pak”
“Jangan lupa bintangnya ya mbak”
“Pasti”
“Assalamualaikum”