Dalam Satu Jua

ariel
Chapter #2

Prolog

Hari itu, tanggal enam belas agustus, udara malam di Rengasdengklok terasa berat. Di dalam sebuah rumah sederhana yang dijadikan tempat perlindungan sementara, Sukarno duduk di kursi kayu, wajahnya letih setelah perdebatan panjang dengan para pemuda yang mendesaknya untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Di sudut ruangan, Hatta tampak serius, matanya meneliti dokumen yang terbuka di hadapannya.

Di luar, suara jangkrik bercampur dengan langkah-langkah para penjaga yang berjaga di sekitar rumah. Malam ini adalah malam yang menentukan. Setiap detik yang berlalu membawa Indonesia semakin dekat ke titik tanpa jalan kembali.

Namun, ada sesuatu yang ganjil.

"Bung, kita harus segera bertindak!" seru Chaerul Saleh, suaranya bergetar dengan amarah dan ketegangan. "Jepang telah menyerah, ini adalah kesempatan kita!"

Sukarno menghela napas panjang. "Aku mengerti semangat kalian, tapi ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan gegabah."

"Kita tidak punya waktu!" Chaerul menatapnya tajam. "Jika kita menunggu terlalu lama, Belanda akan kembali, dan kita akan kehilangan segalanya!"

Sukarno mengusap pelipisnya. Sejak kemarin hingga sore tadi, kepalanya berdenyut hebat. Mungkin karena tekanan yang terus-menerus ia hadapi selama beberapa hari terakhir. Atau mungkin karena udara di tempat ini yang terasa terlalu pengap. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi denyutan itu semakin menjadi-jadi.

"Sukarno, kau baik-baik saja?" suara Hatta terdengar, penuh kekhawatiran.

Sukarno mengangguk pelan. "Aku hanya sedikit lelah."

Ia bangkit berdiri, melangkah ke jendela. Dari balik kaca, ia bisa melihat beberapa pemuda masih berkumpul di luar, berdiskusi dalam suara yang tertahan. Mereka ingin proklamasi dilakukan secepatnya. Mereka tak mau menunggu keputusan dari Jakarta.

Tiba-tiba, pandangannya berkunang-kunang. Suara di sekelilingnya mulai terdengar samar. Ia meraih tepi jendela, berusaha menenangkan diri. Namun, detik berikutnya, rasa mual menyerang. Ruangan terasa berputar.

"Bung?" Hatta kini benar-benar khawatir.

Sukarno mengangkat tangannya, mencoba memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja. Namun, tubuhnya tak lagi menurut. Lututnya melemas, dan sebelum siapa pun bisa menahan, ia jatuh tersungkur ke lantai.

Ruangan berubah kacau. Hatta segera berlutut di sampingnya, mengguncang tubuh Sukarno. "Bung Karno! Bisa dengar aku?"

Tak ada jawaban.

Beberapa orang berlarian masuk, wajah mereka penuh kebingungan dan ketakutan. Salah satu penjaga segera membawa air, sementara seorang lainnya berlari keluar mencari bantuan. Namun, detik-detik berlalu dan tak ada tanda-tanda Sukarno akan sadar kembali.

Hatta merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ini tidak masuk akal. Baru beberapa menit lalu, Sukarno masih berbicara.

Ia menempelkan jari di leher Sukarno, mencari denyut nadinya.

Lalu ia menyadari sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Nadi itu... lemah. Terlalu lemah.

Hatta menatap wajah sahabatnya, yang kini tampak begitu pucat. Sesuatu yang tidak beres telah terjadi.

Lihat selengkapnya