Dalam Sebuah Pencarian

M. Sadli Umasangaji
Chapter #15

Pembelajar


“Sudahkah antum tilawah hari ini akh?” Yusuf memang selalu menanyakan itu pada Wahib dan Wawan. Yusuf memang selalu memperhatikan hal-hal seperti ini. Berusaha mengajak kami untuk menjaga amalan-amalan harian kami. Mengajak kami untuk punya amalan-amalan harian khusus. Bukan hanya tilawah, kadang ia juga menanyakan tentang sudahkah antum selesaikan hafalan antum, sudahkah antum membaca al-matsurat, sudahkan antum menjaga sholat dhuha antum, bahkan dia memang sering meningatkan kita tentang qiyamul lail, akh minimal dalam seminggu antum harus bangun sholat malam.

 Ini tentang dua kader yang bagi Wahib yang ia kagumi, yang mempengaruhi karakternya, atau umumnya kader-kader KAMMI memang selalu berada pada dinamika seperti ini, pikir Wahib. Yusuf dengan tipikal yang hanif, pria berkecamata sama dengan Wahib yang membedakan rambutnya lebih rapi, sedangkan rambut Wahib lebih urakan dan agak panjang, gondrong. Yusuf lebih senang menggunakan baju koko, dan sering menggunakan kemeja, kalau sholat bahkan ia lebih sering menggunakan jubah. Sementara Wahib lebih sering menggunakan kaos, dan kadang-kadang menggunakan kemeja. Yang berpenampilan mirip dengan Wahib, kurang lebih sebelas-dua belas, adalah Wawan. Wawan juga lebih-lebih sering menggunakan kaos, hanya akhir-akhir dia lebih senang menggunakan kemeja, katanya biar lebih rapi, entah rapi untuk siapa.

Terlibat dalam KAMMI, membuat Wahib lebih bergelut dengan pemikiran-pemikiran seperti Imam Hasan al-Banna, Ustadz Sayyid Qutbh, Syaikh DR. Yusuf Qardhawi, Syaikh Said Hawa. Dalam hal ini Wahib dan Yusuf punya selera yang sama, mungkin dalam hal bacaan mereka betul-betul menempatkan “Ikhwan-centris” dalam tubuh pemikiran KAMMI. Sedangkan Wawan adalah ikhwan yang agak senang dengan bacaan yang lebih terbuka, mungkin pula karena kuliahnya yang memang di Ilmu Politik. Walaupun tak menutup kemungkinan Wawan juga punya buku-buku Ikhwanul Muslimin, itu yang Wahib tahu.

 

#

“Wahib, Yusuf, kalian tahu tentang atheis?” Tanya Wawan pada kami. Wahib hanya tersenyum padanya, Yusuf kelihatan tak peduli. Mengapa disebut Atheis? Kira-kira, mungkin inilah dugaan yang barangkali akan orang-orang stigmakan atau sebut kepada seseorang yang mempertanyakan keberadaan Tuhan. Padahal asumsi seharusnya adalah orang yang tidak percaya pada Tuhan bukan karena pada definisi yang disebut berani mempertanyakan keberadaan Tuhan. Dua konteks yang berbeda, tegas Wawan. Sekali lagi Wahib hanya mendengar, Yusuf acuh tak acuh sambil melanjutkan tilawahnya. Wawan kelihatannya memulainya dengan cukup serius.

“Tetapi bukankah memang seharusnya asumsi atheis itu ditempatkan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan? Bukan kepada orang-orang yang mempertanyakan tentang Tuhan karena itu adalah penyelidikan terhadap keyakinan manusia itu sendiri selama berabad-abad? Bukankah itu merupakan naluri dasar manusia yang disebut-sebut sebagai makhluk bertuhan? Untuk memperkuat asumsi negasi dan afirmasi”, sekali lagi Wawan melibatkan kami dalam alur pikirannya.

Itu pula stigma yang sama ditempatkan untuk tentang kiri, terus terang Wawan menerangkan pada kami. Kiri dianggap identik dengan diorientasikan kepada kelompok orang yang berpikiran komunis dan sosialis. Mereka kritis, anti kemapanan, berpikir progresif, dan mengandaikan kehidupan sosial yang setara tanpa kelas. 

Wawan mencoba menguraikan kiri berdasarkan perspektif sejarah mulai dibicarakan pasca terjadinya revolusi di Prancis tahun 1789. Tepatnya di dalam parlemen Prancis terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang duduk di sebelah kanan kursi ketua dewan dan yang terakhir, kaum radikal Jacobin, yang duduk di sebelah kiri. Di dalam parlemen kaum Jacobin terlampau sering melakukan kritik dan berseberangan anggota parlemen yang lain. Gagasan politik mereka diuraikan terlampau progresif. Sehingga, dari sinilah istilah kiri mulai popular sebagai orang-orang yang radikal, kritis dan berpikir progresif.

Oleh karenanya kaum kiri menentang segala bentuk kelas sosial yang memarginalisasikan kaum miskin kota, buruh, dan petani. Khususnya kaum kaya yang tidak peduli dengan wabah kemiskinan (borjuis) yang terjadi di sekelilingnya. Pun kalau mereka peduli, kaum proletar yang dipekerjakan di pabrik, kantor, atau lembaga-lembaga milik mereka, tidak terjamin kesejahteraan hidupnya dan ekspektasi meningkatnya kekayaan milik proletar tetap menjadi utopia, Wawan berkata sambil menatap kami.

Maka Sayyid Qutbh pun “kiri”, kata Wawan. Lihatlah jiwa Sayyid Qutbh, kritis, antikemapanan, berpikir progresif. “Hanya dalam manhaj Islamlah, manusia terbebas dari segala bentuk perbudakan sesama manusia. Dalam manhaj ini, manusia hanya menghambakan diri kepada Allah, menerima sesuatu dari Allah semata, dan tunduk hanya kepada-Nya”, resapilah akh kata-kata Sayyid Qutbh itu kata Wawan.

Sejatinya, Islam merupakan proklamasi pembebasan manusia di bumi dari ketundukan kepada makhluk-makhluk termasuk juga ketundukan kepada hawa nafsunya, Wawan lanjut menyampaikan tentang pemikiran Sayyid Qutbh. Wahib mulai mengagumi pikirannya, karena Wahib, Wawan, dan Yusuf memang sepakat untuk kagumi dengan pikiran Sayyid Qutbh.

Sesungguhnya agama ini bukanlah sebuah proklamsi pembebasan manusia bangsa Arab, bukan pula misi khusus untuk komunitas Arab. Sasaran proklamsi ini adalah manusia, ras manusia dan medanya adalah bumi, seluruh penjuru bumi, Yusuf menanggapi diskusi dengan Wawan. Tanda kesetujuannya tentang pemikiran Sayyid Qutbh. Walaupun Yusuf tetap tidak setuju dengan asumsi yang dipakai Wawan pada Sayyid Qutbh sebagai “kiri”.

Lihat selengkapnya