Pernah Wahib tuliskan “aku ingin bekerja di tempat terpencil,” dengan alasan yang abstrak, hanya ingin bisa produktif menulis. Berpikir di daerah terpencil bisa banyak ide untuk menulis dan tulisan yang dihasilkan, sederhana. Impian yang fana ternyata. Sekarang ia sudah di sebuah daerah walau tidak dapat disebut daerah terpencil karena cukup ramai pula, tapi masih memakai nama desa, dan pastinya cukup jauh. Kadang waktu telah berubah, semua berubah, dan kadang semua tidak sesuai persepsi. Tapi begitulah itulah impian yang fana, ingin di tempat terpencil tapi ternyata persepsinya berbeda. “Setidaknya aku menyadari kita bukanlah apa yang kita inginkan semata, tapi kita adalah apa yang Allah tetapkan untuk kita”, pendam Wahib dalam rasa yakinnya.
Wahib memang cukup banyak menulis ketika disini dan beberapa tulisannya pun dimuat di media lokal, ya, yang Wahib tulis opini dengan beberapa hal yang kontemporer dan sesuai ritme buku yang ia baca. Walau harapnya yang ia tulis adalah tulisan lepas seperti biasanya dulu. Waktu dan lingkungan yang Wahib lalui membuat ritme baru dalam dirinya, mungkin demikian, sehingga Wahib lebih terbiasa menulis opini.
Tanpa terasa disini Wahib pun masih tetap menulis, dan yang ia tulis opini dengan beberapa hal yang kontemporer dan sesuai ritme buku yang ia baca. Beberapa diantaranya dimuat di media lokal. Dengan judul tulisan seperti Native Democracy, Realitas Demokrasi Kekinian, Menuju Paradigma Masyarakat Otentik, Nilai-Nilai Bawah Tanah dalam Birokrasi, Kerinduan Pada Masyarakat Islami, Konsepsi Gerakan Mahasiswa Muslim dalam Masyarakat Otentik.
Terakhir Wahib pun menulis dengan judul “Tantangan Islam Politik dan National Identy”, yang kebetulan juga dimuat di salah satu media lokal. Mungkin ini efek dulu aktif di KAMMI. Tradisi menulis dan membaca buku masih Wahib lakukan walau sudah paska KAMMI. KAMMI telah meneguhkan Wahib untuk terus menulis, menulis apa saja secara bebas. Wahib kadang menulis tentang demokrasi, masyarakat Islam, gerakan kepemudaan, fenomena sosial, hal-hal kontemporer, hingga masalah-masalah politik. Sekali lagi ini mungkin efek dulu bergulat di KAMMI. Begitulah pengkaderan KAMMI telah membuat Wahib senang bergulat dengan opini terkait-terkait itu. Kini Wahib lebih sering menulis dengan keterangan “Anggota Biasa KAMMI”.
#
Disini tak ada liqo, tak ada kegiatan organisasi, jauh dari keluarga, kadang-kadang membosankan. “Ya itulah yang ku sebut, kadang waktu telah berubah, perjalanan waktu hidup yang merubah, dan semuanya menyebabkan ketidaksesuaian persepsi”, lirih Wahib memandang kini.
Mungkin hal lain yang mengusir kebosanan adalah bertemu dengan orang yang se-fikrah atau lebih tepatnya bertemu dengan kader tarbiyah disini, bertemu sekedar bersapa dan sedikit bercerita membuat merasa sedikit senang disini.
Kini Wahib kembali berkumpul dalam lingkaran kecil itu bersama ‘orang-orang baik’ yang baru. Dulu ‘orang-orang baik’ dalam lingkarang kecil itu kebanyakan mahasiswa. Kini ‘orang-orang baik’ itu ada guru, ada yang kerja di BPS, dan ada pula dokter PTT.
Guru itu bernama Pak Rasmin, dulu sering ikut kajian di Wahdah katanya ketika kita bercerita setelah liqo, dan sekarang menikah dengan seorang akhwat KAMMI (tarbiyah) dan sekarang mulai aktif tarbiyah. Beliau orang asli Haltim, Maba. Pertemuan pertama kita di rumahnya, buka puasa bersama dan menerima taujih dari Ustad Kuncoro mengenai yaumul akhir. Akh Ari adalah yang kerja di BPS, dulu aktif tarbiyah di LDK, baru 2 bulan di Maba ini. Mungkin seumuran dengan Wahib. Aslinya dari NTT. Dan dr. Ridho adalah Dokter PTT di RSUD Maba. Asalnya dari Makassar. Baru kita berempat yang hadir pada pertemuan pertama itu, dan Ustad Kuncoro sebagai murabbi. Dan 2 orang lagi yang tergabung tapi belum sempat hadir.
Dan secara sederhana kembali berkumpul dalam lingkaran kecil inilah alasan normatif yang membuat Wahib senang disini. Sebelumnya Wahib awal ketika disini untuk liqo, ia hanya menghubungi Ustad Kuncoro yang juga sebagai ‘Ketua Kaderisasi’ disini. Wahib tak tahu termasuk dalam anggota ‘hisbi’ atau tidak, yang pasti Wahib hanya memberitahukan dulu ia aktif di KAMMI, dan mau ikut tarbiyah disini (Haltim). Beliau hanya membalas “dulu murabbi antum siapa, alamatnya dimana, dan pekerjaannya apa”. Wahib pun menjawab adanya.
Tapi setelah pertemuan pertama itu, Wahib pun berpikir. Ia berpikir bahwa tentang ‘bukan orang penting’, bisa saja ia dibiarkan tidak usah liqo lagi, biarkan saja futur, bisa jadi. Tapi mengapa ada orang mungkin ‘bukan penting’ mengurusi ‘orang tidak penting’ tanpa ada kepentingan. Mungkin itulah seharusnya perasaan cinta, cinta kepada dakwah, tanpa kepentingan dari ‘orang bukan penting’. Beliau harus setiap 2 pekan mengurusi ‘orang bukan penting’, dengan perjalanan kurang lebih 1 jam, mengeluarkan uang kurang lebih seratus ribu, dan bertemu kembali dengan ‘orang bukan penting’. Untuk nanti berbuka puasa bersama, mengisi halaqoh, dan mabit bersama. Itu rencana kegiatan rutin kita. Dan Wahib pun berpikir “Bisakah aku melakukan semua itu seperti beliau lakukan tanpa ada kepentingan apa-apa”. Padahal kita sering-sering mengatakan cinta dakwah. Bisakah kita keluar dari kemapanan dakwah menuju membentuk kemapanan dakwah baru? Keluar dari daerah yang dakwahnya aktif menuju ke daerah yang dakwahnya tidak aktif dan mengaktifkannya? Yang Wahib sadari dan lihat orang-orang yang mengatakan cinta dan loyalitas terhadap dakwah masih nyaman dengan kemapanan dakwah bukan menuju kemapanan dakwah baru.
Dan orang-orang seperti beliau kini bukan prototipe ril yang diharapkan, karena beliau bukan politisi, mungkin. Ah, bagi Wahib, ia menemukan jalan baru mengenai dakwah tentang beliau. Keindahan harta karun dan orang-orangnya di dalam jamaah ini. Sebelumnya sudah Wahib lewati jalan stapak, maka kini, kata Wahib, “Harusnya menikmati jalan raya ini”. “Wajiha (KAMMI) harusnya sebagai ruang untuk iron stock dakwah”, pikir Wahib. Jadi kader-kader paska kampus, mungkin suatu saat nanti di tempat pada suatu daerah untuk mengaktifkan kelompok-kelompok liqo, sekalipun tanpa kembali ke daerah asalnya sebagai tuntutan dakwah, bukankah kita sering katakan cinta dan loyalitas pada dakwah? Menjadi orang bukan penting tanpa kepentingan, mungkin itulah cinta.
Seperti kata Sayyid Qutbh, oleh sebab itu, pergerakan Islam harus berangkat dari pengertiannya sebagai gerakan untuk menghujamkan kembali akidah Islam ke dalam hati dan pikiran setiap individu Muslim, serta melakukan pembinaan kepada siapapun yang mau menerima dakwah dan pemahaman yang benar, dengan pola-pola pendidikan Islam yang benar. Tanpa harus membuang-buang waktu berdebat soal peristiwa politik yang tengah menjadi pembicaraan hangat. Tanpa memaksakan berdirinya pemerintahan Islam dengan cara merebut kekuasaan, padahal masyarakat Muslim di tingkat akar rumput belum menuntut pemerintahan Islam dengan dasar pengetahuan yang benar mengenai esensi Islam yang ingin mereka terapkan.
Lanjut Sayyid Qutbh dalam bukunya Detik-Detik Terakhir, sub bab tentang “Harakah Islamiyah Bergerak dari Sini”, “Pembicaraan mengenai betapa pentingnya pemahaman akidah Islam yang benar, sebelum melangkah ke tahapan mengenai pemerintahan dan syariat Islam. Atau pembicaraan tentang betapa tidak pentingnya berkontribusi dalam gerakan politik lokal yang saat ini tumbuh di negara-negara Islam. Sebab, saat ini kebutuhannya lebih kepada bagaimana melakukan tarbiyah Islam yang benar kepada sebanyak-banyaknya orang”.
Loyalitas itu bukan kita meninggalkan semuanya untuk dakwah. Tapi yang kita miliki dan kapasitas kita yang kita bawa ke dalam dakwah. Kini, Wahib hanya sering menulis opini dengan isu-isu kontemporer dan melabelkan diri sebagai “Anggota Biasa KAMMI”, mungkin hanya itu.