“Tidak kau bukan manusia langit”
“Kau bukan orang suci dari langit”
“Kau bukan manusia dengan mukjizat”
Setelah sholat maghrib yang Wahib tunaikan. Dia kembali ke rumahnya, masuk ke kamarnya. Tumpukan buku menyertai kasurnya. Diantara tumpukan-tumpukan buku itu. Ada bukumu. “Ya, kau bagiku adalah pria yang dalam kesunyian meluncurkan peluru-peluru ide hingga waktumu usai,” lirih Wahib dalam pikirannya sambil menatap buku-bukunya. Kau telah mengejarkan pekerjaan keabadian dengan peluru idemu. Seperti katamu “Sebutir pelurumu yang menembus kepalaku hanya akan membunuhku, tapi tulisan dan buah pikiranku menembus jutaan kepala orang.” Mungkin Wahib adalah salah seorang yang mengagumi peluru idemu dan tertembak kagum karena tembakan buah pikiranmu.
Kau lahir pada tanggal 9 Oktober 1906 di Musha, sebuah pedesaan yang terletak di dekat kota Asyut, bagian selatan Mesir. Ayahmu seorang tuan tanah yang kaya sekaligus aktivis politik lokal. Pada masa kecilmu kau sudah tertarik dengan buku dan punya hobi membaca. Keaktifan ayahmu di salah satu partai lokal, mungkinlah yang menanamkan pada dirimu kesadaran politik yang tinggi.
Saat umurmu masih dua belas tahun, kau sudah punya perpustakaan pribadi dengan mengoleksi 25 buah buku. Dari buku-buku itu kau mendapat pengetahuan lebih dibanding dengan anak-anak lain yang sebaya. Masalah yang cukup menjadi perhatian bagimu adalah masalah pendidikan wanita.
Perjalanan intelektualmu dimulai dari desa di mana kau lahir dan dibesarkan. Bahkan kau berhasil menghafal Al-Quran dalam usia relatif dini, 10 tahun. Menyadari bakat tersebut, orangtuamu memindahkan keluarga ke Hilwan, daerah pinggiran Kairo, agar kau memperoleh kesempatan masuk ke Tajhiziyah "Dar al-Ulum" (nama lama dari Universitas Cairo).
#
Waktu itu sangat sedikit katamu, yang kau ketahui tentang Ikhwanul Muslimin hingga kau berangkat ke Amerika pada tahun 1948 sebagai salah satu utusan dari Kementerian Pendidikan, demikian salah satu nama Kementerian di Mesir pada waktu itu. Kau berada di sana saat pimpinan Ikhwan saat itu, Imam Hasan al-Banna terbunuh pada tahun 1949. Peristiwa itulah yang menyita perhatianmu seiring pemberitaan yang gegap gempita terurai dalam berita-berita di surat kabar Amerika, bahkan bukan hanya di surat kabar Amerika tapi juga oleh surat kabar Inggris yang beredar di Amerika. Para penghuni dunia Amerika itu sangat antusias dengan berita tentang meninggalnya pimpinan Ikhwan, bahkan mereka terlihat bergembira dan senang akan hal itu, karena bagi mereka Ikhwan akan terancam bubar karena terpukul akibat terbunuhnya Imam Hasan al-Banna.
Hubunganmu mulai dekat dengan gerakan ini. Ketika anak-anak muda gerakan ini memikat karyamu. Karyamu yang berjudul “Keadilan Sosial dalam Islam." Terselip kalimat darimu “Teruntuk para pemuda yang aku raba dalam imajinasiku, datang untuk memurnikan kembali ajaran agama ini seperti sedia kala. Mereka berjihad di jalan Allah tanpa rasa takut dicaci maki sama sekali." Para anak-anak muda gerakan ini bagimu, merasa bahwa merekalah kalimat itu kau tujukan, padahal katamu bukan demikian maksudmu. Namun, anak-anak muda gerakan ini tetap mengoleksi karyamu itu. Bahkan mereka menganggap kau adalah bagian dari mereka, kau adalah sahabat mereka. Dan anak-anak muda gerakan itu peduli pada pikiran-pikiranmu.
Ketika kau kembali pada tahun 1950, anak-anaka muda ini menyambangimu. Berbicara tentang bukumu. Kedekatan mu dengan mereka makin dekat. Kelompok itu kau anggap sebagai gerakan yang dapat menjadi lahan subur bagi aktivitas keislaman secara luas di segenap kawasan, yakni gerakan revivalisme dan kebangkitan secara menyeluruh. Kulminasinya adalah kau bergabung dengan gerakan ini pada tahun 1953.
Kau mendapat sambutan hangat dari gerakan ini. Kau bahkan dipercayakan untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan keilmuan dan itu berada di bawah Divisi Penyebaran Dakwah dan Pengajian Selasa. Kau juga dipercaya untuk menjadi pimpinan redaksi sebuah majalah, ditambah dengan rutin menulis tema-tema keislaman di berbagai risalah bulanan.
#
Kau telah menunaikan seperti katamu, “Ketika kita hidup untuk kepentingan pribadi, hidup ini tampak sangat pendek dan kerdil. Ia bermula saat kita mengerti dan berakhir bersama berakhirnya usia kita yang terbatas. Tapi apabila kita hidup untuk orang lain, yakni hidup untuk (memperjuangkan) sebuah fikrah, maka kehidupan ini terasa panjang dan memiliki makna yang dalam. Ia bermula bersama mulanya kehidupan manusia dan membentang beberapa masa setelah kita berpisah dengan permukaan bumi."
Bahkan buah pikir yang memuat gagasan-gagasan yang kritis, kuat, menarik, kadang lembut, mengharukan, menggerakan, progresif, berani, solid, dan kadang terasa sangat radikal. Maka kau diimajinasikan dengan postur tubuh yang juga demikian, seorang lelaki dengan tubuh kekar, besar, dan tinggi. Tapi ternyata kau hanyalah pria dengan perawakan kurus, kecil, dan tidak kekar tentunya. Maka Wahib suka dengan katamu yang kau urai dengan lembut, “Aku selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos." Tapi kau menggelegar dengan emosi yang kau mainkan secara jujur dan ikhlas dalam buah pikirmu.
Kau adalah sastrawan yang piawai dengan untaian-untaian peluru-peluru idemu yang kau uraikan dengan gaya bahasa seorang aktivis Muslim, dengan semangat dan keterusterangan. Dalam setiap kalimatmu akan terasa semangat dan gerakan yang memancar dari sela-sela ungkapan-ungkapanmu dan dalam tiap baris tulisanmu, seolah-olah ia adalah rangkaian degup jantung dan detak hati.
Kau menguraikan untuk berbicara kepada semua kalangan bukan dari kelompok tertentu, entah kalangan cendikiawan atau spesialis di bidang-bidang keilmuan tertentu. Kau uraikan peluru idemu untuk semua Muslim yang berwawasan tanpa memandang spesialisasinya. Olehnya itu, tak ada yang menghalangi orang untuk memahami pemikiranmu. Peluru idemu adalah mata air yang segar bagi pemuda-pemuda Muslim kini dengan beragam pikirannya.
Kau membuat kata-kata yang hidup, “Kalimat-kalimat kita menjadi boneka lilin jika kita mati untuk mempertahankannya. Maka saat itulah ruh merambahnya. Hingga kalimat-kalimat itu hidup selamanya."
#
Dalam Sirah Nabawiyah dituliskan “Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya bisa hidup tenang dan santai. Tetapi engkau yang memanggul beban besar ini, mengapa tidur-tiduran saja? Mengapa engakau santai-santai saja? Mengapa engkau masih terlentang di atas tempat tidur yang nyaman dan tenang-tenang saja? Bangunlah untuk menghadapi urusan besar yang sudah menantimu. Beban berat sudah menunggu di hadapanmu. Bangunlah untuk berjihad dan berjuang. Bangunlah, karena waktu tidur dan istirahat sudah habis. Sejak hari ini engkau harus siap untuk lebih banyak berjaga pada malam hari dan perjuangan yang berat lagi panjang. Bangunlah dan bersiaplah untuk semua itu."
Jadi hal-hal yang terangkum dalam dakwah Nubuwah meliputi; tauhid, iman kepada Hari Akhirat, membersihkan jiwa dengan cara menjauhi kemungkaran dan kekejian, menyerahkan semua urusan kepada Allah, semua itu dilakukan setelah beriman kepada risalah Rasulullah, bernaung di bawah kepemimpinan dan bimbingan Rasulullah yang lurus.
Rasulullah SAW pun berkata kepada pamannya, “Wahai pamanku, demi Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalnya."
#
Kau dengan bijak katakan, “Pergerakan Islam harus berangkat dari pengertiannya sebagai gerakan untuk menghunjamkan kembali akidah Islam ke dalam hati dan pikiran setiap individu Muslim, serta melakukan pembinaan kepada siapapun yang mau menerima dakwah dan pemahaman yang benar, dengan pola-pola pendidikan Islam yang benar. Tanpa harus membuang-buang waktu berdebat soal peristiwa politik yang tengah menjadi pembicaraan hangat." Umat manusia secara umum sudah jauh dari pemahaman dan pengertian tentang esensi dari nilai-nilai Islam itu sendiri, tidak lagi sekedar jauh dari etika Islam, aturan Islam, dan syariat Islam. Maka dari itu, gerakan Islam manapun wajib bertitik tolak dari dari usahanya dalam memberikan pemahaman kepada umat tentang makna Islam dan esensi akidah, yaitu mengabdi hanya kepada Allah semata, baik pada tataran keyakinan (mengenai hak Allah sebagai satu-satunya tujuan ibadah) maupun pada tataran praktis (menjalankan syiar-syiar peribadahan kepada-Nya, dan hanya tunduk dan patuh terhadap hukum dan syariat-Nya). Pergerakan ini harus berangkat dengan misi menyelamatkan masyarakat, rakyat, dan pemimpinnya secara bersama-sama, dari pemahaman konvensional menuju pemahaman Islam yang benar, lalu membangun sebuah fondasi (bila bagi masyarakat secara keseluruhan itu tidak mungkin, maka setidaknya itu dapat dilakukan terhadap unsur-unsur dan sektor-sektor yang memiliki kontrol dan pengaruh kuat di masyarakat).
Kau juga mengkonsepkan “Membangun komunitas, harakah dan akidah dalam waktu bersamaan. Pembangunan masyarakat dan harakah yang berakidah dan membangun akidah yang memiliki masyarakat dan harakah. Akidah menjadi realitas masyarakat yang berharakah dan menghendaki realitas masyarakat berharakah yang sebenarnya menjadi entitas riil dari akidah."