“SUNGGUH! Orang-orang yang tidak saya kenal itu membuat jantung saya bergemuruh. Bercakap-cakap, berdengung, tertawa-tiwi, menjerit-jerit, semua seolah sedang mencibir jiwa saya. Belum lagi bunyi monoton di belakang saya: sol sepatu beradu bertalu-talu dengan lantai. Mengejek langkah saya dan sangat mengintimidasi.
Satu hal lagi yang membuat saya jijik terlecehkan: para lelaki yang bersandar di railing atau tembok dengan lirikan aneh dan wajah datarnya mengikuti gerak saya. Seakan mereka sedang bersiaga di garis start untuk berlomba melahap saya.
“Sungguh suasana mal yang menyeramkan!
“Tapi saya mencoba menerima saran Denis: harus berlatih untuk berani menghirup udara di luar rumah. Selagi di luar sana masih bisa kita jumpai warna-warni. Dunia tidak selebar rumah kita, katanya.
“Saya sih sudah sampaikan kepada Denis, ‘Kalau yang kau sebut warna-warni itu adalah suasana mal seperti ini, mendingan aku menikmati dunia monokrom di dalam rumah saja.’
“Tapi, baiklah. Ini adalah upaya kedua saya keluar rumah sejak bertahun-tahun lalu sebelum datang pandemi Covid-19. Dan masih juga tidak mudah bagi saya. Kesempatan pertama waktu itu saya jalan-jalan di taman kota, bertepatan dengan orang-orang berolahraga pagi. Alih-alih menikmati suasana, saya justru menghindari tatapan setiap orang. Radar kewaspadaan terus terpasang kencang. Cukup lima belas menit di sana, dan hasilnya tubuh kuyup oleh keringat dingin, jantung berdebar, dan kepala pusing. Akhirnya, saya pulang setelah bertahan 20 menit berjalan di taman. Lengkap dengan perasaan tidak karuan karena hampir pingsan.
“Dan kesempatan kedua kali ini lebih parah. Baru beberapa langkah sebelum mencapai pintu masuk mal, tubuh ini sudah mulai bereaksi. Saya coba paksakan melangkah masuk, dan ternyata sudah sangat ramai di dalam. Saya baru ngeh telah salah memilih hari. Ini Sabtu!
“Apa boleh buat. Saya harus paksakan diri, seperti pesan Denis. Tapi, sayangnya, justru karena itu terjadilah sebuah kejadian yang saya sudah khawatirkan.
“Setelah lumayan jauh kaki melangkah di dalam mal sambil menahan reaksi tubuh, tiba-tiba saya merasakan sebuah tatapan mata menghujam dari arah depan. Saya cari sumber tatapan tersebut, dan akhirnya saya melihat laki-laki itu. Dia berjalan ke arah saya di tengah banyaknya pengunjung mal. Saya tebak usianya sepantaran saya. Dan matanya memang menatap saya. Tajam. Saya menurunkan topi dan menundukkan kepala. Tapi saya rasakan betul dia masih menatap saya.
“Saya percepat langkah, dan langsung berbelok ke arah kanan. Meski tanpa menoleh ke belakang, saya merasa laki-laki itu ikut mempercepat langkahnya, mencoba menandingi langkah saya. Di ujung lorong saya belok lagi ke kanan lalu berhenti dan mencoba mengintip gerak-geriknya. Saya lihat dia masuk ke dalam toko busana. Sebuah tindakan yang melegakan sekaligus membuat saya merasa bersalah karena telah berprasangka. Setidaknya untuk sementara, karena tak lama kemudian laki-laki itu muncul dari belakang dan menyebut nama saya, tepat ketika saya berbalik untuk melanjutkan perjalanan.
‘Denok!’
“Dada ini langsung berdegup keras. Laki-laki itu berdiri tepat satu langkah di depan saya, dan saya tidak berani menatap matanya.
‘Denok, ini Ridho. Teman sekelas di SMA,’ katanya mengingatkan.
“Saya mengangkat wajah pelan-pelan sambil mengingat-ingat nama itu. Ya, betul, dia Ridho, teman sebangku saya. Astaga!
“Tapi… apa yang dia pakai? Uh, baunya… ampun!
“Tiba-tiba alam sekeliling saya berputar kencang. Degup jantung saya tidak hanya menggetarkan dada tapi juga menyesakkannya. Saya bersandar pada tembok, tapi tembok itu ikut pula berpusing. Benar-benar tiada guna.
“Dan hal terakhir yang saya ingat, Ridho memapah tubuh saya ketika saya tidak kuat menahan gravitasi. Saya jatuh di dalam pelukannya, sebelum akhirnya semuanya berubah gelap.
“Saya tersadar dalam kondisi terbaring di ruangan ICU sebuah rumah sakit. Dan bau itu kembali menggelitik reseptor di dalam hidung ini. Saya menoleh ke arah pintu, tepat ketika Ridho masuk begitu melihat saya siuman. Dia berjalan mendekat sambil menyunggingkan senyum.
“Saya bergegas bangun dan menutup hidung dengan selimut. ‘Tolong jangan dekati aku! Keluar!’
“Ridho tampak terkejut lalu berhenti mendadak. ‘Denok, ini aku. Ridho. Kenapa kau?’
‘Ya, aku tahu. Tapi tolong jangan mendekat ke sini. Aku bisa pingsan lagi.’
“Dadaku mulai bergejolak.
‘Tapi kenapa?’
‘Tolong percaya padaku. Aku bisa jelaskan kalau kau mau keluar dari ruangan ini.’