“SAYA akui, dalam keluarga ini sayalah yang paling lemah. Dalam segala hal. Fisik, mental, spiritual. Mungkin karena itulah semua saudara saya selalu membantu dan melindungi diri saya. Denis, Daira, dan Demon. Dan celakanya, saya sangat suka menjadi pihak yang lemah. Mungkin keenakan, karena selalu disuapi dengan bantuan dan perlindungan. Menurut Anda, sungguh bodohnya diri saya, bukan.
“Anda belum paham, menikmati kebodohan itu satu hal yang menyenangkan. Orang bodoh itu sangat penting di dunia—menjadi penyelaras sebuah dualitas. Orang bisa disebut pintar itu karena ada pembandingnya—orang bodoh. Orang bisa menjadi pintar karena berangkat dari kebodohan.
“Dan selalu ada sisi kebodohan di dalam setiap orang pintar, begitu pula sebaliknya. Paham kan maksud saya? Prinsip dualitas. Denis misalnya. Dia pintar dalam berbagai hal, tapi bodoh dalam hal agama. Sebaliknya, Daira pintar dalam ilmu agama tapi bodoh dalam hal teknik bela diri. Dan Demon, dia pintar dalam ilmu bela diri, tapi bodoh dalam akademik dan juga ilmu agama.
“Saya? Saya bodoh dalam berbagai hal—akademik, agama, bela iri—tapi pintar untuk tahu bahwa saya bodoh. Serius, ini bukan pembelaan diri. Tapi dari ketiga saudara saya yang lain tidak ada yang pintar dalam melihat sisi kebodohannya. Hanya saya yang bisa menunjukkan kepada mereka apa kebodohan mereka. Jelas ini berkat pengalaman bodoh saya, tentu saja.
‘Assalamualaikum,’ Daira tiba-tiba masuk ke kamar, mengagetkan saya karena mengenakan mukena putih. Rupanya dia habis salat.
‘Sudah kubilang berkali-kali, ketuk dulu pintu sebelum masuk, Daira!’
‘Sudah. Tiga kali. Dan aku yakin kau sedang melamun, sehingga tidak mendengar ketukanku. Makanya aku memutuskan untuk masuk saja.’
‘Baiklah. Waalaikum salam.’
“Daira duduk di kursi menghadap saya. ‘Ada perlu apa kau memanggilku, Denok?’
‘Aku baru bicara dengan Denis. Dia memberitahuku bahwa dia akan mengajak dirimu dan Demon ke Jakarta.’
‘Oh, ya? Untuk apa?’
‘Entahlah, dia tidak memberitahukan rencananya. Yang jelas katanya mau mencari cara untuk menyembuhkan fobiaku.’
‘Berarti dia sudah menemukan penyebab fobiamu?’
‘Tepatnya, menemukan petunjuk yang mengarah pada penyebab fobiaku. Tapi dia tidak mau memberitahuku.’
‘Oke kalau begitu. Aku dan Demon harus siap membantunya ketika dibutuhkan.’
“Saya manggut-manggut. ‘Daira,’ kata saya, ‘kau tahu penyebab fobiaku?’
“Daira tampak merenung sebelum menjawab, ‘Mungkin. Mmm… tidak tahu. Tapi aku percaya Denis tahu.’