Nawalu tidak bisa tidur. Suara bising mesin pesawat menganggu pendengaran pria itu. Yang jelas suara burung hantu di malam hari, masih lebih baik ketimbang suara bising mesin pesawat. Meskipun ini bukan pertama kali Nawalu naik pesawat, tetap saja perasaan tidak tenang itu muncul. Menurut atasannya — Siraja Padoha, Nawalu masih tidak percaya dengan teknologi modern. Intinya Nawalu adalah pria udik yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan teknologi modern. Padahal menurut Nawalu, memiliki rasa takut itu wajar.
Nawalu sendiri antara takut dan kagum saat melihat jendela pesawat. Pria itu tidak bisa membayangkan bila pesawat yang ia naiki jatuh. Ia tidak punya kekuatan sihir untuk menyelamatkan diri. Yang ada, ia bisa saja malah membunuh semua orang sebelum menyentuh tanah. Ingin rasanya Nawalu merutuki nasib. Lain kali ia ingin bertanya kepada Mulajadi Na Bolon, kenapa ia hanya diberi kekuatan menghancurkan.
Bunyi pemberitahuan dari pesawat terdengar. Disusul suara lembut pramugari yang mulai menginstruksikan memakai sabuk pengaman. Tak lama pesawat akhirnya mendarat di bandara internasional Pusuk Mulajadi. Hanya dalam waktu hitungan menit, Nawalu dan Siraja Padoha sampai di pintu kedatangan domestik. Tentu Nawalu akhirnya bisa menghela napas lega.
"Akhirnya sampai juga di Pusuk Mulajadi. Rapat koordinasi dengan pusat memang melelahkan, tapi masih ada rapat lagi dengan Pak Gubernur. Aku pulang duluan, kau juga istirahat Nawalu."
Pesan dari sang atasan hanya ditanggapi dengan anggukan kepala. Siraja Padoha pergi menuju area parkir mobil. Sedangkan Nawalu menuju stasiun bandara. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, pria itu sampai di apartemennya. Tanpa mengganti baju, Nawalu sudah terlelap di pulau kapuk.
Saat Nawalu mulai terbangun, suara ponselnya meraung-raung. Begitu ponsel dikeluarkan dari saku celana, ia bisa melihat tanggal dan jam. Badan pria itu ingin protes, karena hari esok cepat sekali datang. Setelah mematikan alarm di ponsel. Pria itu terdiam menatap langit-langit apartemen. Seluruh badannya terasa pegal. Pertanyaan-pertanyaan lain juga ikut menyusul. Pasalnya Nawalu sudah lebih dari puluhan tahun bekerja di kepolisian. Karena ia berumur sangat panjang, kesehariannya di kepolisian mulai terasa membosankan. Kehilangan motivasi untuk bekerja. Tidak ingin mengurusi kejahatan-kejahatan yang entah darimana selalu saja ada. Bosan bertemu dengan wajah-wajah yang sama. Mungkin ini yang dinamakan burnout. Sayang, kewajiban tetap harus dijalankan.
Nawalu bangkit dari kasur dan mulai membersihkan diri. Lima belas menit kemudian Nawalu sudah mengenakan kemeja hitam dengan aksen merah di kerah dan pundak. Tak lupa celana dinas harian berwarna hitam. Setelah menata rambut Nawalu mengambil topi pet dan jaket. Tak lupa berkaca sedikit untuk memantau kerapihan.
Membuat kopi instan adalah hal pertama yang Nawalu lakukan saat sampai di kantor. Memastikan kafein memaksa kesadaran untuk bekerja. Dengan setumpuk dokumen dari pusat yang harus diselesaikan, Nawalu mendudukkan diri di ruangannya. Baru saja mengeluarkan dokumen, terdengar suara pintu yang diketuk tiga kali.
"Masuk," sahut Nawalu sambil menyeruput kopi.