Nawalu keluar ruangan membawa dua berkas saat kantor sudah kosong. Hala pergi bersama dua stafnya menuju Divisi Keamanan Publik dan Divisi Pertahanan Logistik. Sedangkan 22 anggota yang lain menuju pinggiran Hutan Tonga untuk memasang Pangulubalang. Mereka bergerak cepat karena sebelum senja tiba, Pangulubalang baru harus sudah dipasang di 8 desa sekitar Hutan Tonga. Sedangkan Nawalu sendiri kini berjalan menuju ruangan atasannya.
Tidak seperti kebanyakan polisi berpangkat mayor, Nawalu memiliki jabatan yang khusus. Karena Nawalu tidak dibawahi langsung oleh seorang letnan kolonel, tapi dibawahi langsung oleh Kepala Kepolisian Distrik Pusuk Mulajadi. Dengan kata lain, Nawalu sendiri setara dengan letnan kolonel meskipun berpangkat jauh dibawah. Hanya Nawalu seorang yang bisa datang ke menemui Sang Jenderal—Siraja Padoha tanpa membuat janji.
Nawalu hanya melambaikan tangan ke sekretaris sang Kepala Kepolisian. Kemudian tanpa mengetuk dan permisi, Nawalu membuka pintu ruangan.
"Ha! Apa maksudmu masuk tanpa ketuk-ketuk pintu dulu! Kau ingin kageti aku ha?!"
Suara Siraja Padoha meninggi sambil melototi Nawalu. Sedangkan yang dipelototi memilih langsung to the point. Nawalu mendekati meja Siraja Padoha dan meletakkan dua berkas yang dibawanya.
"Ah, logatmu balik lagi. Sudah hilang logat ibukotamu?" tanya Nawalu.
"Aku orang asli Pusuk Mulajadi, mana mungkin lupa dengan bahasa ibuku," jawab Siraja Padoha. "Mau apa kau kemari?"
Nawalu menghela napas. Sambil menunjuk berkas yang ia bawa, Nawalu berkata,
"Kau tahulah, aku kesini jelas karena ada masalah."
Siraja Padoha mengambil berkas yang ditunjuk Nawalu. Baru membaca sampul berkas itu, Siraja Padoha menatap tajam ke arah Nawalu. Tentu saja Nawalu juga tak mau kalah. Pria itu menatap sengit atasannya.
Siraja Padoha memutus kontak mata dengan Nawalu. Kemudian lanjut membaca skimming berkas itu selama sepuluh menit. Selesai membaca Siraja Padoha kembali menatap Nawalu.
"Kau mau apa Nawalu? Kau tau betul yang harus dilakukan. Tak perlu aku jelaskan panjang lebar."
Tangan Nawalu mengepal kuat saat mendengar ucapan Siraja Padoha. Karena itu bukan jawaban yang ia inginkan.
"Kau ingin aku bunuh orang tak berdosa lagi?! Mereka penduduk asli Hutan Tonga. Mereka masih bagian dari Pusuk Mulajadi. Dah gila kau nih," bantah Nawalu.
"Mereka sudah ditunggangi Begu Ganjang. Kalau memang niat mereka baik-baik, tidak mungkin ada korban jiwa. Ini jelas, mereka menargetkan orang-orang yang tidak bersalah. Mereka harus dibasmi," sahut Siraja Padoha tak kalah sengit.
"Begu Ganjang juga gitu awalnya. Kau sendiri yang membiarkan sisanya masuk ke Hutan Tonga. Sekarang kau anggap mereka seperti kriminal yang pantas dibunuh tanpa pengadilan atau apa? Ingat kau janji kalau pembantaian waktu pembangunan bandara itu yang terakhir kali kita bunuh orang. Aku tak mau bunuh orang lagi," protes Nawalu.
Namun ekspresi Siraja Padoha tidak berubah. Malah alis atasan Nawalu makin bertaut.
"Kau tahu kalau Dewan Debata Idup tau ini? Bisa habis reputasi kita. Kau tahu sendiri kita ini tak pernah benar di mata Dewan Debata Idup. Kita tak perlu tambah masalah lagi. Mereka sudah punya cukup banyak waktu untuk menerima keputusan Dewan Debata Idup dan Pak Gubernur," jelas Siraja Padoha.
"Kita bukan anjingnya Dewan Debata Idup atau pemerintah! Kita penjaga keamanan, bukan algojo oposisi" Kali ini Nawalu makin meninggikan suara. Tak ayal Siraja Padoha juga ikut tersulut emosi.
"Kita sudah selamatkan mereka di Hutan Tonga. Mereka yang pilih melawan meskipun kita sudah kasih pelajaran. Pokoknya aku tidak mau tau, sterilkan Hutan Tonga. Mau tua, muda, laki, perempuan, Datu atau bukan, sterilkan semuanya. Kesalahan sudah membiarkan mereka hidup."
Genggaman tangan Nawalu makin kuat. Emosi dalam diri pria itu makin menguat begitu mendengar tanggapan Siraja Padoha.
"Bangsat! Apa gunanya Dalihan Na Tolu kalau isinya bunuh-bunuhan? Dah gila kau!" bentak Nawalu.