Damai Atas Luka

Nuriska Beby
Chapter #1

Halte Bus; Tempat Penantian

Hari yang cukup melelahkan bagi Ghea yang bekerja dalam ruang ber-AC sebagai staf administrasi di sebuah perkantoran. Dalam sudut ruang kerjanya, Ghea terlihat sedang berdiri menatap teriknya matahari di balik jendela kaca. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu dalam benaknya. Belum lama ia mematung di hadapan jendela, sebuah panggilan masuk pada telepon kantor yang berada di atas meja kerjanya. Segera Ghea raih telepon itu dan menjawab panggilannya. Ghea menjawab panggilan itu dengan kalimat yang lembut nan sopan. Begitu ciri khas wanita berusia 24 tahun yang dikenal amat baik pola perilakunya. Tak heran jika hampir semua orang di kantor menyukainya.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" ujar Ghea. Dilanjut pembicaraan bersama salah seorang client via telepon kantor.

Ia menyelesaikan tugasnya di kantor hingga pukul 15.00 setiap harinya, kecuali saat lembur ataupun terkadang pulang lebih awal. Sebagai staf yang bertugas mengurusi panggilan yang masuk untuk perusahaan serta mengkoordinir event-event kantor, Ghea memang dituntut untuk cakap berkomunikasi dengan banyak orang.

Jam dinding kantor menunjukan pukul 14.50 yang artinya waktu kerjanya akan segera berakhir. Ghea membenahi berkas-berkas di atas mejanya lalu merapikan barang-barang yang harus dibawanya pulang. Tepat pukul 15.00 Ghea meninggalkan lantai 2 kantornya melalui lift. Ia mengisi absen kerja staf yang menandakan dirinya telah menyelesaikan seluruh tugasnya hari ini di kantor.

Dengan langkah perlahan, Ghea pun menyusuri jalanan keluar dari kantornya menuju halte bus tempatnya biasa menunggu. Halte yang tak jauh dari kantornya itu memang tempat yang terbilang pasti akan Ghea kunjungi baik saat berangkat maupun pulang kerja. Bagi kebanyakan pekerja kantoran seperti Ghea terlebih pada jabatannya sebagai staf administrasi, memang jarang yang memilih pulang pergi menggunakan angkutan umum. Namun, Ghea lebih sering menjadi bagian dari sisi jarang tersebut terlebih saat jam pulang kerja. Baginya, waktu pulang kerja adalah waktu yang tak lagi punya banyak tenaga untuk berkendara sendirian. Bahkan Ghea lebih suka menunggu bus datang menjemputnya sembari mengistirahatkan sejenak tubuh dan pikirannya di halte. Entah mengapa jam pulang kerja saat ini sedikit sendu. Langit terik yang sedari tadi Ghea tatap dari balik jendela kantor kini berubah menjadi gelap, mendung dengan beberapa tetes air berjatuhan.

Tepat 10 menit waktu menunggu bis berlalu. Saat salah seorang pria terlihat mengendarai motor Scoopy hitam dari kejauhan melalui jalanan di hadapan Ghea. Pandangan Ghea lepas dari arah pria yang terlihat santai berkendara itu dan beralih menatap langit yang benar-benar semakin gelap. Halte bus yang hanya berisikan dirinya serta lalu-lalang kendaraan yang terbilang sepi membuat suasana sore itu terasa lebih mencekam dari hari-hari sebelumnya.

"Langit, tolong jangan menangis dulu, ya. Aku ingin pulang," ucap Ghea lirih.

Belum lama Ghea berucap, tiba-tiba saja air deras mengguyur bumi dan menghantam tanpa aba-aba. Seketika Ghea mengarahkan pandangannya menuju seorang pria yang dilihatnya samar tadi. Pria yang sedari tadi belum juga melewatinya sangking santainya berkendara di bawah langit mendung. Sejalan dengan batin Ghea, pria itu terlihat melaju dengan sangat kencang mendekati halte tempat Ghea menunggu dan berteduh. Hal yang sama juga dilakukan pria itu saat ini.

"Permisi, boleh saya ikut duduk dan berteduh di sini?" ujar pria tegap yang mengenakan hoodie hitam bertuliskan 'sadboy'.

"Halte ini fasilitas umum, Mas. Silakan duduk saja," balas Ghea.

"Benar juga. Untuk apa aku izin kepadanya? Dasar bego!" batin pria tersebut.


Gavin Alvana---Pria tegap yang kini duduk tepat di samping Ghea. Keduanya duduk berdekatan namun tak lagi saling bicara. Baik Gavin maupun Ghea tak ada yang memulai obrolan untuk beberapa menit. Hingga tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang di hadapan mereka berdua dan melalui genangan air yang lantas menyemburkan cipratan air ke arah kedua manusia yang sedang berusaha menghangatkan tubuh dengan menggosok telapak tangan masing-masing. Berusaha mencegah cipratan itu membasahi wajah, baik Ghea maupun Gavin memalingkan kepalanya ke arah samping. Bersamaan dan spontan hingga akhirnya kepala Ghea dan Gavin bertambrakan tak sengaja.

"Aduh," keluh Ghea dan Gavin bersamaan.

Lihat selengkapnya