Pekalongan, 2008
Megahnya langit jingga turut menjadi saksi bagaimana aku menantang kematian. Tanpa mengenakan helm, aku menerjang arus jalan raya di atas sepeda motor bebek tua. Berbagai kendaraan mulai dari mobil, truk, bus kota, hingga angkot ramai-ramai berpacu ke arahku. Bunyi klakson terdengar bersahut-sahutan di udara. Rasa gugup melanda di setiap tarikan napas. Salah bergerak barang sedikit saja dapat mengundang Sang Malaikat Maut untuk datang menjemput.
Duduk di bangku boncengan, seorang perempuan muda tak kalah khawatir. Wajah ayunya pias dibanjiri keringat deras. Kedua tangannya mencengkeram pinggangku erat-erat.
“Lebih cepat lagi, Dam!” ucapnya sembari sesekali menoleh ke belakang. Di sana, puluhan manusia bersepeda motor bertampang garang tengah mengejar kami.
“Damar, berhenti!” Salah seorang laki-laki di antara mereka berteriak lantang untuk kesekian kali. Aku tak menggubris. Menuruti permintaan itu sama seperti menyerahkan diri pada serigala-serigala lapar. Setelah apa yang kuperbuat hari ini, mereka tak akan segan memangsaku hidup-hidup.
Detik demi detik berlalu, para pemburu itu semakin mendekat. Jarak mereka kini kurang dari sepuluh meter. Aku bertambah panik. Bayangan tertangkap kian kentara di pelupuk mata. Dalam hati, aku memaki sepeda motor tungganganku yang tak kuasa berlari lebih kencang.
Tak jauh di hadapan kami, terdengar bel kereta mengaum keras. Aku tersadar bahwa bunyi itu dapat menjadi juru selamat. Tanpa peduli pada palang pintu yang telah tertutup, melalui sedikit celah tersisa, aku terus melaju. Petugas perlintasan bereaksi. Ia meniup peluitnya berkali-kali memberi tanda peringatan. Namun, tak kuhiraukan suara itu. Dan di saat yang tepat, aku berhasil menyeberangi lintasan rel. Jeda waktu yang ada memberiku kesempatan untuk membelokkan arah sepeda motor pada jalur yang benar. Di sana, jalanan lebih lengang. Sementara aku dan perempuan di boncengan terus melaju, para pengejar kami harus tertahan di belakang menunggu hilangnya rangkaian kereta. Sorot mata mereka semakin nanar tersulut amarah yang kian membakar.
***
Di sebuah sudut alun-alun Kota Pekalongan yang ramai, Diah Ayu Kusumaningrum duduk memandangi orang-orang berlalu lalang. Sesekali, ia merapikan setelan kebaya berwarna krem yang dikenakannya. Rambut hitamnya yang lebat tergerai berhamburan tertiup semilir angin.
Dengan langkah perlahan, aku berjalan mendekati perempuan itu. Senyum di wajahnya mengembang begitu aku hadir di hadapannya. “Hai Tuan Penculik, dapat pesananku?”
“Dapet dong, Nona Tawanan. Nih,” ujarku tersenyum sembari menyodorkan sebuah kantong keresek berwarna putih.
Dengan wajah semringah, Diah menerima pemberianku dan membukanya. Kedua bola matanya berbinar dan mulutnya terbuka lebar mendapati isi bungkusan itu. “Nasi ikan bakar! Yeay! Terima kasih, Tuan Penculik. Kamu memang penculik terbaik di dunia.”
Ditemani buaian angin malam, duduk beralaskan lantai alun-alun kota yang berdebu di sana sini, kami menikmati hidangan makan malam sederhana. Dua ekor kucing tiba-tiba datang menghampiri. Aku membelah ikan bakar dari dalam bungkusan menjadi dua dan memberikan separuhnya kepada kucing-kucing bertubuh kurus itu. Diah melakukan hal serupa. Kami berdua memang menaruh kasih dan simpati mendalam pada binatang mamalia satu ini. Kedua kucing berwarna oranye itu langsung makan dengan lahap.
“Di,” panggilku di tengah kunyahan. “Sekarang bisa ceritakan apa yang sebenarnya terjadi? Yang kuingat, kamu sedang kuliah di Semarang. Bagaimana bisa tiba-tiba ada di rumah?”
“Aku dijebak Bapak,” jawab Diah.
Aku menghentikan suapan. “Dijebak?”
Diah ikut menghentikan suapannya. “Semalam Bapak telepon, minta aku segera pulang, katanya ada hal yang sangat penting. Yaudah, aku turutin. Ketika sampai rumah tadi siang, barang-barangku langsung diminta, termasuk HP-ku. Aku lalu dimasukkan kamar dan dirias. Tak tahunya, aku mau dijodohkan. Beruntung tadi aku bisa menyelinap sedikit dan meminta Mbok Iyem untuk mengirim pesan ke kamu. Kalau tidak, aku tidak tahu nasibku bakalan gimana.” Diah menghela napas panjang seakan tengah membuang beban berat di hatinya. “Aku tidak habis pikir sama Bapak. Kenapa mau maksa anaknya kawin dengan sembarang orang. Emangnya ini masih zaman jodoh-jodohan? Dari dulu aku sudah bilang kalau aku tidak mau dijodohin. Tapi bapakku itu benar-benar keras kepala. Seenaknya saja mengatur perjodohan seperti ini. Daripada harus menikah dengan orang asing, aku mending kabur.”
Menanggapi penuturan Diah, aku mengangguk ringan. “Hm … begitu. Bapakmu keras kepala menjodohkan kamu. Kamu keras kepala menolaknya. Kalian, bapak dan anak, benar-benar mirip.”
Diah menabok pundakku. “Kamu muji atau meledek?”
Sebagai respons, aku hanya tersenyum kecil. “Orang yang mau ditunangkan sama kamu itu, tadi aku sempat melihatnya sekilas. Dia sangat tampan, Di. Dari tampilannya, sangat terlihat kalau dia dari keluarga kaya.”
Diah mencibir. “Huh … tampan apanya? Kalau kamu suka, kamu saja sana yang tunangan sama dia.”
“Yeee … emang eike laki-laki apaan?” ucapku dengan nada kemayu.
Tawa Diah menyembur mendengar ucapanku. Aku ikut terpancing. Kami terbahak-bahak di tengah orang-orang yang sedang menikmati suasana alun-alun kota. Namun, keceriaan itu segera pudar. Ekor mataku menangkap beberapa sosok yang tadi sore mengejar kami berada di parkiran. Mereka tengah mengecek-ngecek sepeda motor yang kukendarai.