Damar

Sucayono
Chapter #2

Juragan Gading

Di atas mobil bak yang melaju ke arah pulang, memoriku kembali memutar kilatan-kilatan rangkaian kejadian hari ini. Jadwalku di pabrik keripik tempe diawali dengan mengaduk bumbu. Berbagai bahan campuran mulai dari tepung, garam, penyedap rasa, dan daun salam dibaurkan dalam takaran yang sesuai ke dalam air. Pekerjaanku berlanjut dengan memotong tempe. Dengan sebuah alat khusus, aku merubah bongkahan-bongkahan tempe yang panjang dan tebal menjadi irisan-irisan tipis. Irisan-irisan itu lantas dicelupkan pada adonan bumbu dan dimasukkan ke dalam kolam minyak bersuhu dua ratus derajat celcius untuk membuatnya menjadi keripik tempe yang gurih.

Sembari mendengarkan radio dengan volume kencang, aku terus bergelut dengan irisan tempe, kompor gas, dan minyak panas. Biasanya kegiatan ini akan berakhir ketika petang. Namun, hal itu tidak terjadi ini. Baru sebagian beban kerja terselesaikan, Mbok Iyem berlari ke arahku membawa secarik kertas. Isi pesan dalam kertas yang dibawa oleh asisten rumah tangga di kediaman Diah itu membuat fokusku seketika bubar. Tanpa pikir panjang, aku menyudahi pekerjaan dan menyambar kunci sepeda motor. 

Dibutuhkan sepuluh menit untukku dapat menjangkau rumah Diah. Kedua bola mataku langsung dihadapkan pada sebuah pemandangan yang tak biasa. Beberapa mobil asing berjejer di pinggir jalan. Orang-orang berpakaian batik dan kebaya rapi duduk di kursi-kursi yang menghadap ke sebuah panggung kecil yang didekorasi seperti acara resepsi mini. Dua buah kursi berwarna putih berdiri di atas panggung. Satu kursi diduduki oleh seorang pemuda tampan yang tengah sibuk memamerkan senyum, sementara satu kursi lainnya kosong tanpa pemilik. 

Mengamati semua itu, aku paham akan situasi yang tengah berlangsung. Aku lantas membuat suara siulan keras berkali-kali. Orang-orang di halaman rumah itu termasuk sang pemuda tampan di atas panggung terheran melihat tingkahku. Mereka bertambah heran ketika seorang perempuan yang seharusnya berada di panggung bersama sang pemuda tiba-tiba berlari dari dalam rumah dan duduk di boncengan sepeda motorku. Ia mengerti arti suara siulan yang baru saja terdengar karena sejak dahulu kami sering menjadikan hal itu sebagai sandi rahasia untuk bertemu.

Tanpa membuang waktu, aku menarik gas sepeda motor dengan kencang dan membawa lari perempuan yang seharusnya merayakan pertunangannya itu. Aksiku tak ayal mengundang reaksi para tamu dan warga sekitar. Mereka berlarian mengambil sepeda motor demi mengejarku. Hingga akhirnya, terjadilah aksi kejar-kejaran di antara kami.

Melewati jalan desa yang lengang dengan tumbuhan padi menghias di sisi kanan-kiri, aku melaju menghindari para pemburu. Jalur desa yang kami lewati berujung pada jalan raya. Lantaran gugup, aku keliru mengambil tikungan yang menyebabkan sepeda motorku melaju di arah berlawanan. Hal itu juga diikuti para pengejar kami. Beruntung palang pintu lintasan kereta memberi pertolongan padaku dan Diah. Namun, keberuntungan itu terhenti. Setelah tadi sore pergi sebagai seorang penculik, kini aku dipaksa kembali dengan status tawanan.  

***

Mobil bak yang membawa kami berhenti di depan sebuah rumah besar. Tak seperti sebelumnya, halaman rumah itu kini sepi. Kursi-kursi dan panggung kecil yang sempat menghias telah disingkirkan. Mobil-mobil yang beberapa jam lalu berderet di jalanan depan rumah juga telah menghilang. Tempat itu kini diisi dua kendaraan yang seketika menciutkan nyaliku. Satu adalah mobil polisi, sementara satu lainnya berupa mobil berpelat TNI. Tampak pula di sampingnya sepeda motor yang kukendarai tadi sore. 

Turun dari mobil bak, aku dan Diah digiring memasuki rumah. Rasa segan langsung hadir di hatiku. Meski bukan kali pertama bertandang kemari, namun perasaan itu selalu muncul ketika aku menginjakkan kaki di sini. Ada sensasi keangkuhan yang menguar dari setiap sudut bangunannya.

Rumah bergaya jawa modern itu memiliki dua lantai. Dindingnya didominasi warna abu-abu cerah. Pintu depannya besar dengan jendela-jendela tinggi. Beberapa tiang beton menyangga atap teras. Oleh para warga, hunian terbesar di lingkungan desa kami itu disebut “Rumah Gedong”.  

Lihat selengkapnya