Diterangi cahaya lampu, aku merapikan barang-barang di kamar. Tak banyak yang bisa kumasukkan ke dalam tas. Setelah dokumen-dokumen berharga, beberapa lembar pakaian, sepotong poto ibu dan bapak dalam sebuah bingkai kecil, aku selesai berkemas.
Kukitarkan pandangan ke sekeliling. Sebongkah kesedihan tahu-tahu menyusup ke dalam kalbu. Kilatan-kilatan kenangan bersama Ibu dan Bapak tanpa terasa memancing air mataku untuk mengalir. Cukup lama aku membiarkan diri larut dalam nostalgia masa lalu sebelum rentetan suara ketukan pintu menarikku kembali pada kehidupan masa kini.
Dengan langkah perlahan, kuhampiri pintu depan rumah dan membukanya. Wajah-wajah para tetangga dan rekan-rekan kerjaku di pabrik keripik tempe bermunculan memandangku penuh iba. Kabar mengenai nasibku menyebar demikian cepat ke berbagai penjuru desa. Satu persatu, orang-orang itu memberi kata-kata penghiburan untuk menguatkanku. Mereka turut pula mendoakan perjalananku selanjutnya. Aku mengamini harapan baik mereka dan mengucap pamit.
Dari tempatku berdiri, aku menatap gedung pabrik keripik tempe yang dibangun berhadapan dengan rumah mes karyawan. Tanpa diminta, memoriku memutar kembali segala kisah yang pernah terjadi di sana. Dalam kurun empat tahun masa bakti, aku telah memberi segenap hidupku. Berkegiatan dari pagi hingga petang setiap hari di sana menumbuhkan ikatan batin yang tak biasa. Rasa ganjil tahu-tahu menggenang di dalam dada. Mulai esok, aku tak akan pernah lagi menjejakkan kaki di tempat itu.
Aku menghela napas panjang. Kembali kuteguhkan hati dan mulai melangkah menjauh. Ada satu persinggahan yang harus kukunjungi sebelum pergi dari desa ini sepenuhnya.
***
Akhir bulan adalah waktu yang biasa kugunakan untuk membesuk Ibu dan Bapak. Dalam setiap kunjungan, aku selalu membawa beraneka kembang untuk kutaburkan di atas pesarean mereka. Setelah mengaji dan membaca doa, aku lantas mengabarkan rupa-rupa kisah mulai dari kehidupan pribadi hingga keadaan desa terkini. Ketika bertutur, aku selalu merasa bahwa Ibu dan Bapak berada di sampingku dan menyimak semua ceritaku dengan tersenyum.
Kunjungan kali ini berbeda. Aku tak membawa seuntai bunga jenis apa pun. Aku juga tak berniat bercerita karena tak ada berita bahagia yang dapat kucelotehkan. Malam ini, aku hanya bisa terdiam dan duduk termangu di hadapan tempat peristirahatan terakhir ibu dan bapak.
“Ibu, Bapak, Damar izin pamit meninggalkan desa, meninggalkan Ibu dan Bapak sendiri di sini,” setelah lama terbisu, akhirnya aku bersuara. “Maafkan Damar karena harus pergi dengan cara seperti ini.” Kembali kuelus pusara ibu dan bapak penuh takzim. Penghormatan itu menjadi hal terakhir yang bisa kulakukan untuk mereka sebelum beranjak pergi.
Di bawah penerangan sinar temaram rembulan, aku menyusuri jalan-jalan desa yang sepi. Tak kutemukan kendaraan melintas yang dapat kutumpangi. Tak terlihat pula manusia lewat. Hanya suara-suara katak dan jangkrik di sawah yang menggema di udara. Detik demi detik berlalu mengiringi langkah demi langkah yang mesti kulalui dengan menahan sedih lantaran harus meninggalkan tanah kelahiran.
Usai menempuh jarak lima belas kilometer, aku sampai di titik tujuan. Suasana tengah lengang di terminal Kota Pekalongan. Bus-bus telah selesai beroperasi. Beberapa sopir dan kondektur terlihat sedang bersantai di warung-warung kopi. Aku mengistirahatkan diri di halaman musala terminal. Mengarungi perjalanan panjang dengan berjalan kaki membuat tubuhku terasa amat pegal. Kukatupkan mata lekat-lekat. Lelah akhirnya membawa pergi kesadaranku. Di dalam mimpi, aku melihat peristiwa pilu itu kembali. Peristiwa yang merenggut segenap kebahagiaan hidupku.
***
Empat tahun lalu
Hujan turun dengan lebat hari itu. Langit dipenuhi kepekatan. Air dan badai seakan tengah berkolaborasi bersama awan-awan hitam di angkasa demi menyamarkan hari yang masih siang.
“Pak, apa tidak sebaiknya nanti saja berangkatnya ketika sudah reda hujannya.” Aku berkata kepada Bapak yang sedang mengamati keadaan cuaca dari balik jendela.
“Tidak apa-apa, Damar. Besok pagi kamu akan berangkat ke Semarang untuk menjalani seleksi tahap pertama pemilihan anggota tim sepak bola Provinsi Jawa Tengah di kejuaraan PON tahun ini. Kamu sudah berlatih sangat keras selama bertahun-tahun demi meningkatkan kemampuanmu dalam bermain sepak bola. Jika terpilih, kompetisi ini dapat menjadi batu loncatan untuk mewujudkan cita-citamu sebagai pemain sepak bola profesional,” ucap Bapak penuh semangat. “Sepatumu sudah rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Kebetulan Bapak baru dapat bayaran hari ini. Jadi, Bapak bisa belikan kamu sepatu yang baru. Bapak tidak ingin kalau impian yang sudah kamu bangun sejak kecil itu harus pupus hanya karena hujan yang tidak seberapa ini.”
Kata-kata bapak membuat hatiku diliputi keharuan. Meski begitu, aku tetap tak dapat menyembunyikan rasa khawatir. “Tapi hujannya sangat deras, Pak. Bisa berbahaya kalau naik kendaraan dalam situasi seperti ini.”
“Bapak sudah biasa bawa kendaraan di bawah hujan. Mumpung mobil bak milik pabrik yang biasa dipakai untuk belanja bahan sedang nganggur. Tadi Bapak sudah dikasih izin sama Juragan Gading untuk meminjamnya sebentar. Lagian pasar kecamatan tidak jauh. Kalau ditunda-tunda, nanti malah tokonya keburu tutup.”
“Kamu tidak usah khawatir, Mar.” Ibu yang sedari tadi diam ikut berbicara. “In Sha Allah kita akan baik-baik saja.”
“Ibu juga ikut?” tanyaku.
“Ibu pengin bikin acara selamatan kecil-kecilan untuk mendoakan kesuksesan seleksi kamu. Jadi, ada barang-barang yang harus dibeli di pasar.”
Meski tak sepenuhnya setuju, aku tak bisa menghentikan keputusan ibu dan bapak. Dengan menaiki mobik bak, kami berangkat menerjang guyuran air dari langit yang mengalir deras. Aku duduk di tengah di samping Bapak dan Ibu. Kami sampai di pasar kecamatan dua puluh menit setelahnya. Usai mengantar Ibu berbelanja bahan-bahan kebutuhan acara selamatan, kami mampir di sebuah toko olahraga. Bapak mempersilakanku memilih sendiri sepatu sepak bola yang kusukai. Dari beberapa merek yang dicoba, pilihanku jatuh pada sepasang sepatu berwarna biru. Berhasil mendapatkan semua kebutuhan, kami meninggalkan pasar kecamatan dengan hati riang.
Petaka terjadi dalam perjalanan pulang. Pada sebuah tikungan, sebuah truk kontainer dengan kecepatan tinggi tiba-tiba muncul ketika mobil bapak hendak berbelok. Bapak tak kuasa menghindarkan mobil yang dikendarainya dari terjangan truk. Mobil bak kami tertabrak dan terseret belasan meter hingga membentur sebuah tiang listrik. Pandanganku seketika menggelap dan kesadaranku menghilang.
Ketika terbangun, aku mendapati tubuhku terbaring di atas sebuah ranjang dengan kaki dan kepala penuh perban. Tubuhku terasa remuk redam. Rasa nyeri seketika menyengat ketika aku mencoba menggerakkan kaki.
“Dadam, jangan bergerak dulu,” ucap seorang perempuan yang tahu-tahu menghampiri. Aku menoleh. “Diah. Kamu di sini? Apa yang terjadi?”
Diah tak menjawab. Aku mengitarkan pandangan ke sekitar. Nampak beberapa orang tengah berbaring di atas ranjang seperti diriku. Aku langsung tersadar bahwa ini adalah ruangan rumah sakit. Memoriku melaju mundur ke belakang menuju kejadian yang membuatku tak sadarkan diri. Pandangan mataku menyisir sekeliling untuk kali kedua. Perasaan was-was seketika menyeruak setelah tak kutemukan Ibu dan Bapak.
“Di, di mana Ibu dan Bapak?”
Diah masih terdiam. Perlahan raut wajahnya menebarkan mendung. Dalam hitungan detik, kedua bola matanya yang bening mengeluarkan linangan air. Semakin lama, linangan itu kian menderas. Diah tersedu sedan di hadapanku. “Aku pikir … aku akan … kehilangan kamu,” ucapnya terbata.
Hatiku terenyuh melihat pemandangan itu. Semenjak kecil, melihat Diah menangis adalah hal yang paling tidak kusukai. Entah kenapa aku merasa pilu ketika melihatnya bersedih. Apalagi saat ini Diah bersedih karena keadaanku.