Damar

Sucayono
Chapter #4

Buku Harian Diah

Matahari hampir berlabuh di kaki langit barat ketika bus yang kutumpangi menepi di terminal bus Kota Ciputat. Sekeluar dari bus, aku segera mencari informasi yang kuperlukan. Melalui percakapan dengan penjaga warung di pinggir jalan, aku menemukan sebuah rumah kontrakan 3 petak yang dapat langsung kutempati. Rumah kontrakan itu disewakan kosongan tanpa perabot. Para penyewa harus menyediakan sendiri barang-barang yang dibutuhkan.  

Tanpa membuang waktu, aku mendaftar berbagai keperluan dan membaginya menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama adalah keperluan dasar. Benda-benda yang harus kubeli meliputi alas tidur, alat-alat makan dan memasak, meja dan kursi sederhana, hingga peralatan mandi. Kelompok berikutnya adalah alat dan bahan membuat tempe. Di kelompok ini aku menulis kacang kedelai, ragi, plastik, pisau, kompor, alat rebus, bak besar, dan tatakan. Kelompok terakhir adalah peralatan membuat keripik tempe. Pada bagian ini aku memasukkan wajan penggorengan, bumbu-bumbu, plastik kemasan, dan alat perekat plastik.

Dengan membawa kertas catatan, aku membeli satu persatu benda dalam daftar kebutuhan di pasar Ciputat. Tak semuanya mudah didapat. Jam berkunjung di saat malam membuat banyak toko telah menutup waktu operasi. Berkali-kali aku harus mengelilingi pasar demi menemukan barang-barang incaran. Beruntung masih ada beberapa kios dan toko yang tetap buka hingga tengah malam sehingga barang-barang yang kuperlukan dapat kuperoleh tanpa perlu menunggu hari esok.

Berbelanja banyak barang lumayan menguras waktu. Aku baru bisa menyelesaikan semua pembelian ketika waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Rumah kontrakanku yang semula lengang segera terdekorasi dengan berbagai benda yang baru saja kupindahkan dari etalase toko.

Usai merapikan barang-barang, aku membersihkan diri dan bersiap memulai sebuah aktivitas penting. Duduk beralaskan tikar, aku membuka bingkisan pemberian Paklek Trisno. Sebuah amplop putih berisi lembaran-lembaran uang menjadi hal pertama yang kujumpai. Tanpa perlu menebak, aku tahu bahwa Paklek Trisno sengaja meletakkannya. Aku jadi mengerti kenapa ia mencegahku membuka bungkusan itu di hadapannya. Perhatian Paklek Trisno menghadirkan rupa-rupa rasa di hatiku. Ada sejumput haru yang bercampur dengan bangga, malu, dan bersyukur. Bahkan hingga aku telah berlabuh di kota yang baru, ia memaksaku untuk terus berhutang padanya.

Di bawah amplop putih, aku menemukan amplop merah muda. Terdapat sepucuk surat di dalamnya yang langsung kubaca.  

Dear Damar ‘Dadam’ Aji Saputro,

Aku tahu bahwa seribu kata maaf pun tak akan cukup untuk menebus kesalahan yang kuperbuat. Gara-gara keegoisanku, kamu harus menanggung beban demikian berat. Sungguh aku tidak mengira kalau semuanya akan menjadi seperti ini. 

Dam,

Jujur saja, aku tidak ingin menikah dengan terpaksa. Aku takut menjalani hari-hari tidak bahagia bersama laki-laki yang tidak aku cintai. Karena itu, aku langsung berniat untuk kabur begitu mengetahui perjodohan yang diatur oleh Bapak. Dan hanya satu orang yang muncul di pikiranku untuk dapat membantuku melaksanakan rencana itu. Kamu.

Sedari kecil, kamu selalu membantuku dalam berbagai hal. Kamu sahabat terbaik yang paling bisa aku andalkan. Dan, aku selalu bersyukur ada kamu di hidupku. Namun, sepertinya aku terlalu terlena untuk mengandalkan kamu hingga tanpa sadar aku malah membawamu dalam kesulitan yang amat besar. 

Dam,

Hatiku begitu sakit mengetahui kamu diusir dari desa. Apalagi orang yang mengusirmu adalah bapakku sendiri. Jika saja bisa, aku mau menggantikan posisi kamu. Aku akan dengan senang hati diusir dari desa asal kamu tetap baik-baik saja di sini.

Aku sungguh tidak rela dengan semua ini. Aku tidak rela harus berpisah denganmu dengan cara seperti ini. Tapi, aku tidak punya kekuatan apa-apa. Meski aku ingin, aku tidak kuasa melakukan apa-apa untuk menolong kamu. Dan aku begitu marah dengan keadaan ini. Dengan ketidakberdayaanku.

Maafkan aku, Dadam. Sungguh, maafkanlah aku.

Dam,

Bersama surat ini, aku hadiahkan buku harianku untukmu. Buku ini adalah bagian dari hidupku. Di buku ini, aku menuliskan segala duniaku. Buku ini sangat berharga bagiku, Dam. Karena itu, aku ingin kamu memilikinya. Aku ingin ada bagian dari diriku yang menemani perjuanganmu di tempat yang baru.

Dam,

Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kita juga tidak tahu apakah kita bisa bertemu lagi. Tapi, jika suratan takdir menghendaki, semesta pasti akan memberikan jalan untuk kita dapat bersua kembali. Saat itu, semoga dunia berpihak pada kita. 

Sahabatmu,

Diah ‘Didi’ Ayu Kusumaningrum

Aku melipat kembali surat Diah. Pandanganku kini tertuju pada benda terakhir dalam bingkisan. Sebuah buku berwarna merah muda. Di halaman pertama, buku itu bertuliskan “Buku Harian Diah Ayu Kusumaningrum”. Halaman berikutnya langsung memancing senyumku memekar di wajah.  

Sinar matahari pagi jatuh berbulir-bulir ke bumi. Ditemani burung-burung yang terbang bebas di angkasa, aku mengayuh sepeda menyusuri jalan-jalan desa. Sejatinya, desaku ini amat asri. Desa kecil di wilayah pantura ini menawarkan keindahan alam yang memesona. Sungai-sungainya mengalirkan air bening. Di sepanjang jalan, terbujur hamparan padi yang luas memanjang, menghijau, dan menggugus dengan anggunnya. Banyaknya pepohonan yang berdiri gagah di pinggir-pinggir jalan menambah suasana pagi semakin sejuk.

Lihat selengkapnya