Damar

Sucayono
Chapter #5

Universitas Pembaharu

Beberapa bulan kemudian

Panas dan polusi adalah perpaduan sempurna untuk menciptakan siang penuh kegersangan. Bau aspal terbakar paparan sinar matahari bersama kepulan asap kendaraan bermotor seakan bersinergi demi menghadirkan udara kotor yang menyesakkan dada.     

Dari sebuah sudut jalan, sepedaku melaju membelah jalanan Kota Ciputat yang ramai bak perhelatan pesta lalu lintas. Angkutan-angkutan umum berbagai ukuran saling berlomba melaungkan klakson demi memikat simpati para calon penumpang. Mobil-mobil berjajar-jajar menyesaki lajur-lajur. Sepeda motor merayap-rayap mencari celah. Beberapa yang tak sabar tanpa ragu menerabas trotoar.     

Melalui sebuah perjuangan yang tak mudah, aku berhasil keluar dari kerumunan itu dan membelokkan arah sepeda pada sebuah jalan kecil. Selang beberapa menit, aku sampai pada sebuah toko jajanan. Aku mengambil beberapa bungkus keripik tempe dari keranjang di boncengan sepeda, lalu membawanya masuk ke dalam toko. Pemilik toko memberiku beberapa lembar uang pecahan sepuluh ribu sebagai bayaran dari produk pesanannya. Aku lantas kembali mengayuh sepeda demi menjangkau para pelanggan selanjutnya.

Dalam rentang waktu 2 jam berikut, aku telah mengunjungi lebih dari lima puluh pelanggan yang terdiri dari toko kelontong, kios sayuran, gerai kudapan, hingga kedai jajanan. Roda sepedaku kemudian berhenti di sebuah warung makan. Sebuah tulisan besar di kaca depan warung berbunyi “Warteg Fajar Bahari” menyambutku. Aku melangkah masuk mengantarkan pesanan keripik tempe sekaligus memesan makanan. Tempat ini adalah titik terakhir yang perlu kukunjungi hari ini sebelum melenggang pulang. 

Sembari menikmati santap siang, aku mendengar dua orang pemuda berpakaian rapi tengah berbincang ringan. 

“Gimana tugas Manajemen Pemasaran minggu ini? Lu udah selesai?” tanya pemuda pertama.

Pemuda kedua menggeleng. “Belum. Gue baru baca-baca materinya. Ntar malem bakal mulai gue kerjain.”

“Kalau udah selesai, kabari gue, ya. Biar gue copas[1],” ujar pemuda pertama dengan tawa kecil.

Perkataan itu ditanggapi juga dengan tawa kecil oleh pemuda kedua. “Enak aja, lu. Ngerjain sendiri, lah.”

Kedua pemuda itu lantas mengobrol santai tentang dunia perkuliahan. Mulai dari materi-materi yang sedang dipelajari, dosen-dosen yang mereka sukai, hingga perempuan-perempuan yang menarik perhatian mereka. Dari apa yang kupahami, mereka berdua berprofesi sebagai mahasiswa.

Sejenak aku menengok keluar jendela. Di seberang jalan Warteg Fajar Bahari, berdiri gagah beberapa gedung menjulang tinggi yang dipagari tembok melingkar. Meski kerap melihat bangunan-bangunan itu dari jalan ketika tengah melintas, aku tak terlalu menghiraukannya. Namun, hari ini timbul perasaan berbeda. Mendengar perbincangan dua pemuda tadi menimbulkan minatku untuk mengenali isi kompleks bangunan kampus itu.

Usai menuntaskan makan, aku menitipkan sepeda beserta keranjang jualanku pada pemilik Warteg Fajar Bahari. Bu Inah, perempuan asli Tegal berumur 50-an yang merupakan sang empunya warteg, menyilakanku.

Dengan rasa penasaran, aku berjalan melewati sebuah gapura besar berpahatkan dua kata “Universitas Pembaharu”. Langkah kakiku bergerak ringan mengikuti jalan-jalan di dalam kampus. Di berbagai titik, aku menjumpai pemandangan yang membuatku takjub. Gedung-gedung dengan gaya arsitektur modern kukuh memancang. Pemuda-pemudi seusiaku berlalu lalang membawa buku dalam genggaman. Beberapa muda-mudi lain tengah duduk membentuk lingkaran dan berdiskusi serius. Pikiranku lantas mendarat pada buku harian Diah, pada cerita-cerita tentang kehidupan kampus yang ia tuliskan. Apa yang ia ceritakan dalam buku itu kini mewujud sempurna di hadapanku. 

Semakin lama berkeliling, rasa semangat di dalam dadaku kian meninggi. Semua yang kulihat terasa istimewa. Hingga di suatu sudut, kedua bola mataku bertemu sebuah bangunan megah bertuliskan “Fakultas Ekonomi”. Tiba-tiba hatiku bergejolak menatap pemandangan itu. Ada sebuah magnet besar yang menarik segenap minatku padanya.

Lihat selengkapnya