Pagi hari nan sejuk merangkuli tubuhku yang terduduk senyap di pinggir sebuah danau. Sinar mentari dari ufuk timur memantul indah pada jernihnya genangan air. Ikan-ikan berwarna-warni asyik berenang bebas ke sana kemari. Pohon-pohon rindang mengampar di sekeliling. Semerbak wangi menguar dari beraneka tanaman berbunga.
Dari satu arah, sesosok perempuan berpenampilan menawan datang menghampiri. Ia mengenakan gaun panjang berwarna putih cerah. Sebuah bando bermotif bunga-bunga menghias di rambutnya. Dan, sepasang sepatu lucu nan imut menyarungi kedua kaki eloknya. Tanpa berucap satu kata, ia duduk di sampingku.
“Diah,” panggilku. Aku tak bisa menyembunyikan rasa takjub di wajahku. “Kamu di sini.”
Diah menyunggingkan senyum seindah permata surga. Aku terpikat. Terjerat dalam pesona keindahan pemandangan di hadapanku. Meski telah berkali memandang paras perempuan itu, aku tidak pernah merasa puas. Diah memiliki wajah teduh dengan bulu alis tebal dan hitam. Kulitnya putih sebersih salju. Rambutnya hitam lurus dan tergerai hingga ke bahu. Sepasang bola matanya menyorot dengan jernih dan bening. Hidungnya mancung dan menyembul rapi di antara kedua pipinya yang tampak kemerah-merahan. Ia adalah definisi dari “Jelita Nirmala”.
“Damar, ayo berangkat,” ujar Diah seraya tersenyum. Senyuman itu memancing sebuah lesung kecil tersimpul dengan indah di pipinya. Aku terpikat semakin dalam.
“Berangkat ke mana?”
Diah bangkit dari duduknya seraya terus berkata, “Damar, ayo bangun dan cepat berangkat.” Ia mengulurkan tangannya padaku. Aku masih tak mengerti maksud dari ajakannya.