Hari masih belia. Embun-embun tengah rajin-rajinnya menetes di dedaunan. Sinar mentari masih bersembunyi di ufuk timur. Namun, riak-riak kehidupan telah menyeruak di berbagai sudut kampus itu.
Bersama ribuan mahasiswa baru, aku melangkahkan kaki menyusuri jalan-jalan di dalam Universitas Pembaharu. Selama beberapa hari ke depan, aku dijadwalkan mengikuti “Program Pengenalan Studi Almamater” atau singkatnya “Propesa”. Program ini mewajibkan para peserta mengenakan pakaian serupa, bawahan berwarna hitam dengan atasan berupa kemeja warna putih.
Dari berbagai titik, kakak-kakak tingkatan berdiri mengawasi kami dengan pandangan mengintimidasi. Para mahasiswa senior berbalut jas almamater berwarna biru itu memamerkan wajah-wajah pahit dan masam. Raut-raut muka itu seolah memasang sebuah pesan tegas: Hormati kami.
Sebagai pendatang anyar, aku dan para mahasiswa baru lain harus menurut pada setiap instruksi dari kakak-kakak senior. Berbagai aba-aba seperti duduk, berdiri, hormat, meneriakan yel-yel, sampai push up atau berjalan jongkok, harus ditunaikan tanpa keluhan. Kami layaknya domba-domba yang mesti patuh digiring para penggembala.
Acara utama hari ini adalah apel besar di lapangan kampus. Rektor universitas bertindak sebagai pembina upacara dan menyampaikan wejangan. Isi poin nasihatnya standar saja: rajin belajar, berperilaku baik, menghormati sesama. Selesai mengikuti apel, para mahasiswa baru digiring ke fakultas masing-masing. Aku mengikuti rombongan panitia yang membawa kami ke halaman depan Gedung Fakultas Ekonomi. Kami lantas didudukkan untuk mendengar seminar. Dua ahli ekonomi yang kerap wara-wiri di teve nasional mengambil tempat di bangku narasumber. Para peserta menyimak dengan antusias. Mereka khidmat menikmati guyuran ilmu dari kedua pembicara.
Entah karena rasa kantuk yang berat atau kapasitas otak yang tidak memadai, ceramah para narasumber itu sama sekali tak menarik minatku. Aku hanya sesekali menangkap istilah-istilah ekonomi seperti “Intervensi Pasar”, “Kebijakan Moneter dan Fiskal”, dan “Inflasi dan Suku Bunga”. Aku bahkan tidak mengerti maksud dari istilah-istilah itu. Imajinasi indah yang kumiliki tentang dunia perkuliahan seperti gambaran Diah dalam tulisan-tulisannya bertolak belakang dengan keadaan yang kualami.
Aku mengitarkan pandangan ke sekitar dan mendapati kakak-kakak tingkatan berwajah masam. Anganku tiba-tiba berandai-andai. Kalau saja di antara mereka ada Diah berdiri di sana, menerbangkan senyum padaku seraya memberi semangat bahwa setelah menyelesaikan semua hiruk pikuk pendidikan ini, kami akan dapat bersama. Aku membayangkan Juragan Gading memberi restu karena aku telah mencapai status setara dengan putrinya.
Semua pikiran itu membuat hatiku senang bercampur rindu. Ah, Diah. Sedang apa kamu sekarang di sana?
“Hi, bro, ngelamun aja dari tadi.” Sebuah suara menyapa, membuyarkan semua khayalanku.
Aku menoleh. Seorang pemuda berparas rupawan tengah tersenyum kepadaku. Untuk sejenak, aku terhipnotis dengan ketampanannya. Aku sering bertemu dengan berbagai laki-laki tampan baik di Pekalongan maupun setelah tinggal di Ciputat. Namun, pemuda satu ini memiliki level yang berbeda. Ia bahkan jauh lebih tampan dibandingkan para artis sinetron. Pemuda ini memiliki kulit putih bersih. Gigi-giginya tersusun rapi. Bibirnya tebal. Bentuk wajahnya oval dengan garis-garis muka yang tegas. Kedua bola matanya tajam berkilat-kilat. Rambutnya hitam pekat bergaya pompadour. Sebuah rahang yang degap menopang wajah gagahnya yang membuat paras itu memesona sepenuhnya.
“Hi, bro,” ucapnya lagi seraya tetap memamerkan senyum ramah.
“Eh, iya, gimana? Kenapa? Ada apa?” Aku menjawab gelagapan.
“Dino Sapto Prastowo, biasa dipanggil Dino.” Pemuda itu menjulurkan tangan.
Aku menyambut uluran tangan itu. “Damar Aji Saputro, biasa dipanggil Damar.”
“Sangat jawa sekali namanya. Lu dari jawa bagian mana?”
Sementara Dino tersenyum lebar, aku merasa janggal. Ini adalah pertemuan pertama kami dan ia sudah berbicara dalam bahasa santai.
“So, dari Jawa bagian mana?” ulangnya lagi.
“Pekalongan. Kamu?”
“Kalau gue dari Tegal.”
“Wah, berarti kita tetangga, dong.”
“Bisa dibilang begitu.”
“Saget sanjang Jawi, Mas?[1]”
“Nggih, saget, Mas. Wong Jowo ora ilang Jowone.[2] Tapi, kita kan sekarang di Jakarta. Jadi, kita nggak perlu ngomong pakai bahasa Jawa di sini.”
“Ciputat, lebih tepatnya.”
Dino menyengir. “Ah, iya, Ciputat.”
Kami lantas berbincang ringan. Kesan awal yang kutangkap dari pemuda ini benar. Ia ramah. Gaya bicaranya lentur dan kalem. Ia memperlakukanku seperti telah bersahabat bertahun-tahun. Dari caranya bersikap, aku menduga ia pasti populer di kalangan teman-temannya.
“Sori, punya air minum, nggak?” tanya Dino.
Aku meraih botol minuman dalam tasku dan menyerahkannya ke Dino. Ia menenggak beberapa teguk kemudian mengembalikan botol air itu padaku.
“Merci Beaucoup,” ucap Dino dengan senyum kecil.
Aku mencureng. Aku tahu ia berbicara dalam bahasa asing, tapi bukan bahasa Inggris. “Itu bahasa apa?”
“Ah, itu bahasa Prancis. Artinya ‘Terima kasih banyak’.”
Aku berdecak kagum. “Kamu bisa bahasa Prancis juga?”
“Sedang belajar. Gue memang suka bahasa Prancis. Suatu saat gue juga akan ke sana.”
“Ke sana, ke mana?”
“Ke Prancis.” Dino tersenyum lagi. “Memang masih jauh, sih, tapi gue percaya pada waktunya keinginan itu nantinya akan terwujud.”
Jika mendengar ucapan itu keluar dari mulut Pardi atau Tono, kedua rekan kerjaku di pabrik keripik tempe, aku mungkin akan langsung tertawa terpingkal. Bagaimana mungkin anak desa yang miskin seperti kami dapat bermimpi demikian tinggi? Namun, pernyataan itu mencuat dari sosok pemuda yang sejauh ini nampak sangat percaya diri. Aku memandang lagi wajah Dino. Raut pemuda itu tak menunjukkan keraguan. Keyakinan pemuda itu mengingatkanku akan impian Diah untuk menjejakkan kaki di tanah London. Aku jadi tersadar bahwa tak sedikit pemuda yang mengukir cita-cita mereka setinggi mungkin.
Di tengah perbincangan kami, tiba-tiba suara tepuk tangan dari para mahasiswa baru menggema. Kami menengok ke depan. Seminar dari para narasumber telah usai dan kini seorang perempuan berjaket almamater kampus tengah membacakan sebuah pengumuman.
“Dan pemenang lomba penulisan artikel ekonomi pada acara Propesa Fakultas Ekonomi tahun ini adalah ….” Kakak panitia itu sengaja memberi jeda. Ia mengitarkan pandangan kepada para mahasiswa demi menarik perhatian mereka. Setelah beberapa detik, ia pun melanjutkan. “Pemenangnya adalah artikel dengan judul ‘Aplikasi Pemikiran Adam Smith pada Dunia Ekonomi di Zaman Modern’ yang ditulis oleh … Wika Kurniadi Ahmad.”
Tepuk tangan seketika menggema mengiringi seorang pemuda berbadan tinggi kurus dan berkacamata bundar berjalan dengan gagah menuju panggung kehormatan.
“Mari kita berikan applause yang meriah untuk sang juara kita hari ini!” Kembali kakak panitia bersuara yang disambut alunan tepuk tangan semarak dari seluruh peserta. Sementara sang pemenang lomba tak henti-hentinya menyunggingkan senyum ketika menerima hadiah bingkisan dari panitia untuk kemudian melakukan sesi foto bersama.
“Damar, lu tahu siapa pemuda itu?” Dino mengacungkan tangan ke depan.
Aku menggeleng.
“Dia anak yang sangat pintar. Gue sempat berkenalan dengannya beberapa waktu lalu ketika menyerahkan berkas-berkas di gedung akademik untuk daftar ulang mahasiswa baru. Dia lulusan terbaik dari sekolah asalnya di Mojokerto. Usianya memang masih muda, tapi pemikirannya sangat luas, atau lebih tepatnya … liar. Dia sangat terobsesi dengan Adam Smith. Tulisan-tulisannya tentang pemikiran ekonomi Adam Smith sudah sering dimuat di koran-koran nasional. Bayangkan … masih tingkat SMA, tapi tulisannya sudah mampu menembus kantor redaksi koran nasional. Gue rasa, pemuda itu bakal jadi Mapres[3] di sini.”
Takjub, aku mengangguk. “Wow … keren banget.”