Damar

Sucayono
Chapter #8

Mahasiswa Fakultas Ekonomi

Seperti dugaanku, Wika dan Dino menunjukkan diri sebagai mahasiswa unggul. Di setiap kelas yang kami hadiri, keduanya selalu tampil terdepan. Mereka aktif di berbagai forum diskusi. Nilai-nilai tugas dan ujian keduanya selalu menempati urutan teratas. Para dosen sangat menyukai performa mereka. Di akhir semester pertama, kedua pemuda itu meraih penghargaan sebagai mahasiswa terbaik di jurusan kami. Nama mereka terpampang gagah di papan informasi kantor jurusan Ilmu Ekonomi. Dino berada di tempat kedua dengan IPK 3,92 dan Wika menempati posisi pertama dengan IPK sempurna 4. Sementara aku yang terseok-seok mengikuti perkuliahan harus puas dengan IPK mengenaskan 2,1. 

Di semester kedua, nasibku tak banyak berbeda. Aku masih belum cakap mengikuti irama belajar di kampus. Status mahasiswa nyatanya masih amat berat kuemban. Namun, performa kuliahku yang menyedihkan bukan tanpa alasan. Pekerjaan memproduksi dan berjualan keripik tempe mengharuskanku begadang setiap hari hingga membuat tubuhku kelelahan. Hal itu berimbas di kelas. Tak sekali dua kali aku tertangkap basah tengah mendengkur pada saat kuliah berlangsung. Para dosen pengampu kerap memberi teguran untukku.    

Seperti halnya siang ini, aku mati-matian berjuang melawan rasa kantuk di kelopak mata. Bebanku makin bertambah dengan asupan materi yang tak mampu kukonsumsi. Sementara aku bergelut dengan rasa ketidaktahuan, suasana kelas berlangsung khidmat. Para mahasiswa khusyuk mendengarkan kata demi kata yang meluncur keluar dari seorang dosen yang tengah berkhotbah di muka kelas. Berbalut celana hitam dan kemeja putih, laki-laki bertubuh kurus di umur 50-an itu berceramah dengan suara mantap. 

“Eksponensial merupakan suatu fungsi berpangkat di mana setiap pangkatnya memiliki variabel tersendiri. Dalam bidang ekonomi, konsep ini biasa digunakan untuk menghitung laju jumlah pertumbuhan penduduk.”

Mendengar penuturan Pak Dosen, aku yang terduduk lelah di bagian belakang ruangan kelas hanya bisa merutuk dalam hati. Ini dosen ngomong apa sih? Bisa tidak membahas sesuatu yang bisa kumengerti?

Bosan dengan penjelasan Bapak Dosen, aku lebih memilih memikirkan Diah. Tiap kali membayangkan wajahnya, hatiku terasa tenang dan tenteram. Aku mengkhayalkan datangnya hari di mana aku telah menyelesaikan pendidikan. Dengan penuh kebanggaan, aku memersembahkan gelar sarjana untuknya. Diah menyambutku dengan senyum menawan. Perjumpaan itu menghapus pedihnya rindu yang telah bersemi sekian tahun. Kami lantas berjalan bergandengan tangan menuju altar pelaminan. Datangnya hari itu mungkin masih sangat lama. Namun, membayangkannya saja mampu membuatku bahagia.

“Saudara yang di belakang itu kenapa tertawa-tawa sendiri?” Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Aku terkesiap, lalu tersadar dari lamunan. Suara tawaku yang kukira pelan ternyata terdengar orang lain. Aku menyapukan pandangan ke sekitar. Teman-teman sekelas termasuk Dino dan Wika menatapku heran. Kucari-cari asal suara yang baru saja menyeretku ke alam kesadaran itu. Kutengokkan kepala ke kanan dan kiri. Wajahku berubah pias manakala menemukan jawaban bahwa suara itu berasal dari depan kelas. Yang artinya, Bapak Dosenlah pemilik suara itu.

Ah, celaka! Aku telah membuat kesalahan besar dengan menyinggung Bapak Dosen ini. Ia bukan sembarang dosen. Dosen ini dikenal tegas dan tak kenal kompromi. Bermasalah dengan dosen killer satu ini sama dengan mencari petaka. Ia tidak segan mengeluarkan mahasiswa dari kelas atau bahkan langsung memberi nilai E andaikan bertemu mahasiswa yang bertingkah kurang ajar padanya.

“Itu kenapa saudara tidak memperhatikan pelajaran? Malah tertawa-tawa sendiri? Saudara tidak tahu kalau saya ini sedang serius? Saudara tidak tahu perjuangan saya untuk kelas ini? Saya harus mempersiapkan materi kuliah ini semalaman. Saya juga harus menempuh perjalanan panjang dari Jakarta Timur ke Ciputat. Sampai di sini, saudara malah bercanda sendiri. Itu tidak menghormati pengajar namanya. Saudara sudah merasa pintar? Kalau sudah merasa pintar, tidak perlulah saudara berada di ruangan ini.” 

Kedua bola mata Pak Dosen membeliak. Lantang ia menceramahiku. Perasaan bersalah seketika membanjir di dadaku. “Saya mohon maaf, Bapak.”

Mendengar perkataanku, suara Pak Dosen malah makin meninggi. “Sudah! Sekarang coba saudara maju ke depan dan kerjakan persoalan di halaman 70!”

Mati aku! Aku bahkan tidak tahu topik apa yang sedang dibahas. Dan tiba-tiba, aku harus mengerjakan sebuah soal yang pasti tak kumengerti. Bagaimana ini? Ingin rasanya aku menyublim dan menghilang dari kelas ini.

Detik demi detik berlalu dan aku tetap mematung, tak beranjak dari tempat duduk walau sejengkal, bingung harus berbuat apa.

“Ayo, silakan saudara maju dan mengerjakan di papan tulis!” Raut wajah Pak Dosen semakin menampakkan ketidaksabaran.

Instruksi itu tak bisa membuatku mengulur waktu lebih lama. Dengan enggan, aku bangkit dari duduk dan perlahan melangkah menuju muka kelas. “Saya minta maaf kalau sekiranya saya menyinggung Bapak,” ucapku kembali.

Bapak Dosen membuang pandangan ke papan tulis. “Sudah, itu dikerjakan dulu soalnya!” Ia bertingkah acuh. Permintaan maafku tak ia hiraukan. Maka mau tak mau, aku membaca soal yang ia berikan. Bola mataku maju mundur ketika membaca studi kasus tentang materi eksponensial. Otakku bekerja keras mencari-cari memori yang tersimpan akan topik itu. Namun, sia-sia. Setitik pun tak ada bekas akalku pernah memahaminya.

Melihatku berdiri tersiksa, Bapak Dosen kembali menyapa, “Bagaimana? Apakah saudara bisa mengerjakannya?” Kali ini suaranya terdengar lebih pelan. Mungkin emosinya telah menurun. Dengan keadaanku yang memprihatinkan, tak mungkin ia tak memberikan iba. Wajah-wajah teman sekelasku pun menampakkan reaksi serupa. Aku bisa melihat mereka hendak menyumbang pertolongan. Namun, tak ada cara untuk itu.

“Maaf Pak, sepertinya saya tidak bisa,” ucapku menyerah. Aku menguatkan diri untuk bersiap menerima apa pun yang menjadi ganjaranku setelah ini.

“Yasudah. Silakan saudara berdiri sampai pelajaran selesai. Saudara harus membuat surat pernyataan untuk tidak akan mengulangi lagi. Mengerti?”

“Baik, Pak.”

Aku bergeser ke pojok ruangan depan kelas, berdiri mematung layaknya seorang tawanan yang takluk di medan perang. Di sisa waktu pelajaran, aku menundukkan kepala tanpa berani mengangkatnya. Aku merasa malu. Pada Bapak Dosen, pada teman-teman sekelas, pada kursi, pada tembok, pada meja, pada papan tulis, dan pada semua yang menjadi saksi kejadian siang itu. Harga diriku hancur berkeping-keping tak bersisa. Aku marah, namun tak mampu berbuat apa-apa. Yang dapat kulakukan hanyalah merutuk dalam hati. Bab eksponensial ini memang sialan. 

***

Lihat selengkapnya