Damar

Sucayono
Chapter #9

Beradaptasi

Sinar matahari pagi menyusup melalui kaca jendela, menghadirkan sentuhan hangat pada ruang kelas yang telah ramai dipadati mahasiswa. Di kursi barisan tengah, aku duduk tenang membaca buku. Tubuhku terasa sangat nyaman. Tak ada lelah maupun kantuk. Otakku juga dapat berfungsi maksimal. Telah satu bulan berlalu sejak obrolan dengan Wika dan Dino di warteg langganan kami terjadi. Obrolan itu telah membawaku pada sebuah keputusan yang merevolusi jadwal hidupku. 

Jalur distribusi. Itulah kuncinya. Perkara ini sederhana. Namun, entah kenapa hal itu tidak terpikirkan olehku sebelumnya. Dengan mengacu pada konsep jalur distribusi, aku tidak perlu memproduksi barang dagangan sendiri. Aku cukup membeli produk dari produsen lain dan menjualnya kembali dengan harga lebih tinggi. Proses ini telah menghilangkan beban kerjaku secara signifikan. Masa kerja yang biasanya memakan waktu hampir sepuluh hingga sebelas jam perhari, dapat kupangkas menjadi hanya tiga jam saja. Keluasan waktu yang ada kumanfaatkan untuk belajar demi mengejar ketertinggalan di kelas.

Semenjak saat itu, aku rajin mengikuti diskusi kelompok Three Mas Jawir. Kami membahas berbagai bahan kuliah dari A-Z. Setiap hendak memasuki kelas, Wika, sang ketua kelompok, akan memastikan bahwa kami bertiga telah mengerti topik materi yang akan dibahas di kelas. Meski awalnya berat menelaah bahan kuliah bersama dua mahasiswa terbaik ini karena pengetahuan mereka jauh di depan, namun sedikit demi sedikit aku mulai mengikuti irama belajar kami. Baik Dino dan Wika tak segan mengulurkan tangan demi membantuku memahami materi-materi kuliah. Tak hanya dengan bahasa Indonesia, Wika dan Dino juga mengajakku berdiskusi dalam bahasa Inggris. Mereka kerap memintaku meminjam buku-buku ekonomi berbahasa Inggris dari perpustakaan. Untuk memastikan aku telah membaca buku-buku itu, mereka bertanya tentang kandungan dan isinya. Wika dan Dino bertingkah layaknya mentor yang menuntun langkahku dalam belajar. 

Setelah berkali-kali menggelar diskusi bersama, aku mulai berani bersuara di forum kecil kami. Meski sempat tersendat-sendat di awal, seiring berjalannya waktu, aku mulai mampu berpendapat dengan lancar. Bahkan, terkadang aku bisa menyerocos tanpa henti bagai kaleng rombeng.

Meski begitu, sejauh ini aku belum mampu berpartisipasi dalam diskusi kelas. Setiap kali diskusi digelar oleh dosen pengampu, entah kenapa bibirku terkatup rapat-rapat. Pikiranku masih diliputi rasa takut. Aku tidak percaya diri. Tak jarang aku malah gemetaran berada di tengah kalimat-kalimat mengagumkan yang tercetus dari mulut teman-teman kelasku. Lalu setelah kelas bubar, Wika dan Dino mendatangiku dan bertanya, “Kenapa tadi diam saja? Apa masalahnya?”

Aku hanya bisa tertunduk lesu dan menjawab, “Nggak tahu.”

Demi menenangkanku, mereka merangkul pundakku lembut seraya mengucurkan kata-kata penghiburan. “Yaudah, kita coba lain waktu. Sekarang kita makan dulu.”

Aku kecewa. Mereka pun kecewa. Dan aku bertambah kecewa melihat mereka kecewa. Persiapan demi persiapan yang mereka adakan untukku seperti berakhir sia-sia. Diskusi hari ini pun kemungkinan akan berjalan sama buatku, menjadi tontonan yang hanya lewat di hadapan mata. Lima belas menit lalu, Wika menghampiri sebelum kelas dimulai. Ia berpesan, “Damar, jangan lupa nanti angkat tangan.”

Aku mengedikkan bahu. “Entahlah, Wika. Aku belum yakin.”

Wika memegang pundakku lembut. “Tenangkan diri kamu. Cobalah untuk tidak tegang. Anggap saja kamu sedang berada dalam diskusi kecil kita. Kamu sudah paham materi hari ini, kan?”

Aku mengangguk. “Iya, sedikit banyak aku sudah mengerti topik kuliah hari ini.”

So, there's nothing to worry about. You just need to raise your hand and share your thoughts.”

“Aku sepertinya masih takut.”

Ah, come on, Damar. Kamu tidak akan mati hanya karena berpendapat dalam sebuah diskusi.”

Ucapan Wika terus terngiang di telinga. Aku mencoba menggenggam kata-kata motivasi itu kuat-kuat agar keberanian dalam diriku dapat muncul dalam diskusi kelas hari ini.

Beberapa saat menunggu, seorang dosen muda memasuki ruang kelas. Mengenakan perpaduan setelan kemeja biru panjang dan celana hitam pekat, laki-laki tampan bertubuh gempal itu membuka kelas dengan memantik diskusi. Metode ini membuat mata kuliah yang diampunya berlangsung dengan tak membosankan.  

Dengan suara jelas dan tegas ia bertutur, “Setiap orang di kelas ini bebas berbicara asalkan tetap menghormati norma-norma yang berlaku. Tidak ada pendapat benar atau salah. Semua diterima. Kalaupun pandangan kalian berbeda, maka itu juga tidak masalah. Karena kalian, kan, bukan robot, sehingga wajar jika mempunyai opini yang beragam. Dan ingat, kita sedang berdiskusi di sini, bukan untuk menjatuhkan lawan bicara, jadi tidak perlu ngotot dan mengeluarkan argumen yang menyerang pemikiran teman lain yang berseberangan.”

Tak hanya mampu menyulut kondusifitas kelas, kata-kata pak dosen juga berhasil menciptakan lingkungan yang aman sekaligus melecut keberanian mahasiswa untuk aktif berpendapat. Mereka berlomba-lomba mengemukakan ide dan gagasan. Setiap orang di kelas kami serasa tergurah untuk bergabung dalam diskusi. 

Kali ini, Pak Dosen mengangkat studi kasus bertajuk “Facebook versus MySpace”. Satu persatu mahasiswa mulai mengemukakan opini.

Wika menjadi yang pertama mengartikulasikan buah pikiran. “Kehadiran MySpace di tahun 2003 adalah sebuah terobosan mengagumkan di dunia media sosial. Mereka menawarkan keleluasaan bagi para user untuk mengelola akun dan profil mereka sendiri. Para pengguna juga dapat membuat postingan, streaming musik, dan yang paling menarik: terkoneksi dengan pengguna lain. Berdasarkan laporan berita dari Tech Analitics, seorang user MySpace dapat menghabiskan waktu seharian penuh di depan layar komputer dengan menikmati fitur-fitur yang tersedia itu. Hal ini kemudian menjadi magnet bagi para user-user baru. Hasilnya, pada tahun 2005, pengguna MySpace telah mencapai angka 20 juta yang menjadikan platform ini sebagai The King of Social Media. Mereka bahkan mampu mengalahkan Google sebagai website yang paling sering dikunjungi di tahun 2006. Ketika itu, perusahaan ini telah bernilai sebesar 12 miliar dolar.” 

Wika menghentikan ucapan sesaat dan menyisir pandangan ke seluruh ruang kelas sebelum melanjutkan bicara. “Namun, pencapaian-pencapaian itu membuat mereka pongah. Mereka melewatkan peluang untuk membeli sebuah platform media sosial lainnya yang bernama The Facebook pada tahun 2005. Menurut mereka, harga 75 juta dolar yang diajukan oleh sang pendiri The Facebook, Mark Zuckerberg, dianggap terlalu mahal untuk platform ciptaannya yang kala itu masih berukuran relatif kecil dibanding MySpace. Dan menurut saya, itulah kesalahan terbesar MySpace. Mereka tidak menduga bahwa waktu dapat memutarbalikkan keadaan karena di tahun 2008, jumlah pengguna platform yang kemudian bernama lebih ringkas Facebook itu mampu melampaui jumlah pengguna MySpace dan menjadikan Facebook sebagai The King of Social Media yang baru.”

Para mahasiswa di kelas mengangguk-angguk mengamini penjelasan Wika. Tak mau ketinggalan dari rekannya, Dino turut menghaturkan penilaian. “Berdasarkan apa yang saya pahami, MySpace melakukan sebuah kesalahan yang disebut error management. News Corporation yang menjadi perusahaan induk kala itu memperlakukan MySpace seperti perusahaan korporasi sehingga sulit bagi MySpace untuk membuat sebuah keputusan dan mengimplementasikannya secara cepat. Hal ini berbeda dengan Facebook yang memberlakukan kultur perusahaan startup. Tidak peduli sebesar apa mereka berkembang, Facebook tetap membiarkan fitur-fitur mereka mengalir sesuai dengan yang dikehendaki pasar. Hal ini membuat Facebook lebih mudah bertumbuh dan beradaptasi dalam persaingan.”

Dialog bergulir semakin menarik dengan para mahasiswa lain ikut berbagi analisis. Ada yang menyinggung tentang kecanggihan teknologi, figur-figur top management kedua platform, dan juga kasus keamanan data pengguna MySpace yang sempat menimbulkan kepanikan para pengguna. Hingga pada suatu jeda, Pak Dosen berkata, “Ada lagi yang mau berkomentar?”

Suasana kelas tenang. Sudah banyak mahasiswa yang menyampaikan pandangan. Sementara aku masih mempraktekkan ilmu batu, diam dan bisu. Otakku sedari tadi telah memaksa mengangkat tangan, tapi rasa percaya diri menahanku kuat-kuat. Apa yang kualami ini memompa jantungku berdebar lebih kencang sekaligus merangsang keringat dingin untuk keluar semakin deras. 

“Tidak ada?” Pak Dosen kembali memberi penawaran.

Aku menoleh ke arah Wika, ia mengucapkan sesuatu tanpa suara, namun dapat kubaca gerak bibirnya. “Ayo. Ayo, Damar.”

Ucapan itu melecut semangatku. Otakku kembali berbisik, Ayo cepat angkat tanganmu Damar. Namun di sisi lain, rasa percaya diriku bergeming. Tidak perlu Damar, kamu belum mampu untuk itu. Jangan-jangan nanti kamu malah mengutarakan sesuatu yang konyol. Tetap diam saja kamu.

Keberanianku timbul tenggelam.

Mendapati kelas masih hening, Pak Dosen kembali berujar, “Kalau sudah tidak ada, kita lanjut ke––­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­”

“Maaf sebentar, Pak. Itu saudara Damar sepertinya ada yang mau disampaikan.” Dino memotong pembicaraan Pak Dosen.

“Oh iya, silakan.” Pak Dosen mengizinkan.

Lihat selengkapnya