Bau harum wedang jahe seketika menguar dari gelas-gelas yang dihidangkan di meja kami. Beberapa ikat nasi kucing ditemani potongan-potongan daging ayam bakar turut pula disajikan. Tak ketinggalan, berbagai macam gorengan dari tahu, tempe, dan bakwan ikut pula berjajar dalam piring-piring di hadapan kami.
“Selamat untuk Damar yang akhirnya masuk 10 besar mahasiswa terbaik jurusan Ilmu Ekonomi di akhir semester 6 ini.” Dino mengangkat gelasnya.
Penuturan Dino memancing senyum di wajahku untuk memekar. Aku tergelitik memikirkan bagaimana sang waktu menggelinding demikian cepat. Hari-hari berlalu bagai roda-roda kehidupan yang tak pernah berhenti berputar. Lembar-lembar kisah perjalananku pun terus silih berganti. Terhitung malam ini, tiga tahun telah kuemban status mahasiswa dan genap empat tahun telah berlalu semenjak pertama kali aku menginjakkan kaki di Kota Ciputat. Kota yang padat tapi memikat. Kota yang penat namun bermartabat. Kota yang menyuguhkan kehidupan berat tetapi di hati tetap melekat.
Tak mau kalah dengan Dino, aku ikut mengangkat gelas. “Untuk Wika, mahasiswa jenius yang telah berhasil merampungkan projek bukunya. Semoga bukunya diterima penerbit dan nanti setelah dicetak dapat menjadi best-seller.”
Wika yang namannya disebut turut mengangkat gelas. “Dan untuk Dino yang telah berhasil melewati tahap wawancara beasiswa pertukaran pelajar ke Paris. Semoga impiannya itu dapat terwujud.”
“Amiiiin.” Serentak mulut kami berucap. Kami lantas menempelkan gelas di tangan kami untuk kemudian meminum cairan wedang jahe di dalamnya.
Di meja-meja sekeliling, ada beberapa muda-mudi yang juga tengah menikmati suguhan kedai warung jahe. Tiba-tiba, aku teringat kepada salah seorang perempuan yang membuatku berada di sini. Batinku penasaran, entah sedang apa ia sekarang.
“Shit. Kalau lihat orang pacaran kayak gitu, gue jadi pingin nyari pacar,” ujar Dino setelah mengitarkan pandangan ke sekitar.
“Emangnya kamu lagi nggak punya pacar?” tanyaku.
Dino tersenyum kecil. “Bro, lu kan udah bertahun-tahun tinggal di Ciputat, ngomong lu masih kaku aja, pakai aku-kamu. Wika apalagi, ngomongnya pakai saya-kamu. Pakai bahasa santai ajalah kayak gue.”
“Sori, Dino. Aku nggak biasa. Malah terdengar aneh kalau aku pakai bahasa kayak gitu. Aku, kan, nggak gaul kayak kamu,” kataku.
“Sama, saya juga,” sahut Wika. “Saya sudah kebiasaan dari pesantren. Jadi susah hilangnya.”
“Ya, terserahlah,” ucap Dino.
“Well, balik lagi ke pertanyaan tadi. Emangnya kamu lagi nggak punya pacar? Setahuku banyak perempuan yang ngedeketin kamu,” tanyaku.
Dino menggelengkan kepala. “Mereka cuma teman saja. Sekarang gue udah dewasa, bro. Pemikiran gue udah lain. Dulu waktu masih SMP sama SMA mungkin gue dengan mudah menjalin hubungan pacaran dengan sembarang cewek. Kalau suka sama suka tinggal jalan. Kalau bosen atau nggak cocok tinggal putus. Sekarang gue maunya kalau pacaran, ya, buat serius. Jadi, gue selektif kalau milih cewek sekarang,” jelas Dino.
“Emang kamu nyari yang kayak gimana?”
“Ya, nggak gimana-gimana. Yang penting nyaman dan ngobrolnya nyambung,” jelas Dino. Ia lantas menepuk pundakku. “Gimana dengan lu? Siapa cewek yang lu suka sekarang?”
Aku segera mengambil gelas dan meneguk isinya demi melarikan diri dari pertanyaan Dino. Pertanyaan itu seketika menghadirkan wajah Diah di kepalaku. Sekian detik berlalu, aku sadar bahwa Dino masih menatapku dengan raut penasaran.
“Hm … sepertinya gue benar. Lu lagi naksir cewek.” Dino menggunakan tangannya untuk menurunkan gelas dari bibirku. Aku tak bisa lagi menghindar.
“Udah cerita aja, bro. Masa lu nggak mau cerita sama kedua sohib lu ini?” Dino menoleh ke Wika. “Ya, nggak, Wika?”
“Kalau saya, sih, tidak keberatan mendengarkan. Tapi, ya, terserah Damar saja. Itu, kan, ranah pribadinya,” jawab Wika.
Aku berpikir sejenak. Kedua orang ini adalah orang-orang terdekatku saat ini. Tidak ada salahnya kalau aku bercerita tentang Diah kepada mereka.
“Hmm … ada sih perempuan yang aku suka.”
“Kayak gimana orangnya?” Dino langsung memasang wajah antusias.
“Dia … istimewa. Setidaknya bagiku dia sangat istimewa.”
“Secantik apa dia, sampai lu bisa terpikat?” Dino semakin bersemangat. Aku tersenyum melihat kegigihannya mendapatkan informasi yang ia ingin ketahui.
“Ya, cantik. Aku nggak bisa menggambarkan dia dengan kata-kata.”
Dino menyodorkan tangan kanannya. “Lu ada potonya nggak? Sini gue mau lihat.”