Damar

Sucayono
Chapter #11

Jawaban Atas Rasa

Jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam. Langit Kota Ciputat telah sepenuhnya gelap mengiringi para warganya yang sebagian telah berpetualang dalam dunia mimpi. Pada hari biasa, aku pasti sudah terpulas di tempat tidur. Namun, hari ini berbeda. Sesuatu membuatku terjaga.  

Duduk di kursi belajar, kedua kakiku menghentak-hentak bumi tak beraturan. Jari jemariku bergerak senewen memainkan benda-benda di atas meja. Rasa gugup menguasai pikiranku. 

Telah puluhan kali aku memencet tombol refresh pada halaman email di layar komputer. Namun, tampilan itu masih sama. Meski telah berjam-jam menunggu, tak ada email masuk baru. Keraguan mulai merambat. Diah mungkin sudah tidak menggunakan alamat email itu lagi.  

Kucoba menenangkan pikiran dengan membangun prasangka positif. Ada banyak penyebab kenapa Diah belum membalas email dariku. Bisa saja Diah tengah sibuk sehingga tak sempat mengecek email, atau mungkin ia telah tertidur.  

Aku menyibukkan diri dengan membaca kembali buku harian Diah. Meski telah ratusan kali menamatkannya, namun isi buku itu selalu mampu memancing senyumku untuk mengembang. 

Tulisan-tulisan Diah mampu menghadirkan sosok penulisnya di pikiranku. Dalam dunia imajinasi, Diah berjalan ke arahku dengan langkah-langkah mantap. Ia mengenakan gaun panjang berwarna putih yang membuatnya anggun memesona. Aku takjub dan terjerat. Diah memandangku dengan sorot mata bening yang mampu menghanyutkanku ke lembah sungai terdalam.

“Dadam.” Suara itu terdengar merdu layaknya sapaan dari bidadari surgawi. “Jangan bersedih. Aku selalu bersamamu.”

Diah mengulas senyum dan aku terhipnotis semakin dalam. Aku ingin selamanya begini. Aku tak ingin pergi ke mana-mana. Aku ingin selalu bisa menatap wajah Diah dengan bebas. Tanpa takut akan kehilangannya. Tanpa khawatir akan halangan dari keluarganya.

***

Suara azan Subuh menggema dari pengeras suara di masjid. Mataku perlahan terbuka. Aku mendapati diriku tertidur di atas meja belajar. Di hadapanku, layar komputer masih menyala. Rasa bersalah seketika muncul lantaran tak membiarkan komputer itu beristirahat semalaman. Jariku segera mencari tombol shut down. Gerak tanganku terhenti menyaksikan tampilan layar. Mataku membelalak melihat satu email baru yang masuk. Email itu adalah balasan dari surel yang kukirimkan tadi malam. Segera aku membukanya.   

Dear Dadam,

Aku sudah lama menunggu kabar dari kamu. Aku percaya bahwa kamu akan menemukan cara untuk menghubungiku.

Diah “Didi” Ayu Kusumaningrum

Melihat itu, jemariku segera mengirim email lanjutan. Beberapa menit berlalu, emailku kembali berbalas dengan menyertakan deretan angka. Segera aku mengambil telepon genggam dan memencet nomor-nomor di layar komputer. Terdengar bunyi dering ketika akhirnya serangkaian nomor itu tersambung. Jantungku yang sedari tadi berdetak keras kian bertambah kencang ketika muncul suara dari seberang. 

“Halo.”

“Ha … ha … halo,” tergagap, aku menjawab sapaan itu.

“Dadam?”

Empat tahun telah berlalu semenjak terakhir kali aku bertemu dengannya. Namun, suara itu tak berubah. Tetap lembut dan mampu menghadirkan sekelumit ketenangan di hatiku. “Iya, Di. Ini aku. Dadam.”

“Akhirnya kamu menghubungiku. Lama banget, sih?”

Kalimat itu menerabas segala jarak yang tercipta setelah bertahun kami berpisah. Diah mengajakku menjadi kami yang dulu.

Lihat selengkapnya