Damar

Sucayono
Chapter #12

Titik Kegagalan

Berada di kampus ketika libur semester menghadirkan suasana berbeda. Sudut-sudut kampus terlihat lengang. Hanya segelintir mahasiswa saja yang nampak tengah beraktifitas.

Ditemani sinar hangat mentari pagi, aku melangkahkan kaki menyusuri jalan-jalan di dalam Universitas Pembaharu. Di sepanjang perjalanan, udara terasa sangat segar. Rerimbunan pepohonan di berbagai titik berbaik hati menyuplai asupan oksigen siap konsumsi.

Bersama wajah langit yang cerah, aku melewati detik demi detik dengan rasa bahagia. Meski belum bertemu langsung, namun jalinan komunikasi antara aku dan Diah yang kembali terbangun setelah empat tahun terpisah mampu membawaku ke tempat baru. Tempat di mana aku mampu melihat dengan jelas tujuan berlabuh. Tempat di mana aku dapat merasakan semangat dan motivasi yang membuncah.  

Satu minggu telah berlalu semenjak perjumpaan kami melalui email dan sambungan telepon. Semenjak itu pula ritual pagiku diawali dengan obrolan ringan bersama Diah. Satu atau dua menit mendengar suara Diah sudah cukup untuk mengisi penuh semua energi dalam tubuhku. Seberat apa pun tantangan hidup di tanah perantauan tak akan mampu menciutkan nyaliku. Karena segenap jiwaku meyakini bahwa setelah semua ini berakhir, ada sesosok perempuan istimewa yang tengah menunggu kepulanganku di penghujung jalan. Di sanalah semua kebahagiaanku bermuara.   

Langkahku terhenti di depan bangunan Fakultas Ekonomi. Beberapa kenalan di halaman gedung menyapa ramah. Aku balik menyapa mereka. Usai sedikit berbasa-basi, aku melanjutkan perjalanan ke lantai 7. Tadi pagi, Dino mengirim pesan untuk bertemu di sana. Dengan menaiki lift, aku sampai di tempat tujuan.  

Ruangan itu kosong. Pintunya dibiarkan terbuka. Ketika masa libur kuliah seperti sekarang ini, banyak ruangan tak berpenghuni. Di ruangan itu pula dahulu aku pernah mengecap hukuman berdiri di hadapan kelas. Kejadian memalukan itu kerap memunculkan senyum geli di bibirku. Namun, melihat diriku yang sekarang, aku merasa bersyukur mengalaminya. Suka atau tidak, kejadian itu melecut semangatku untuk bertransformasi menjadi mahasiswa yang lebih baik.

Memasuki ruangan, aku mendapati Dino tengah berdiri memandang luar jendela. Dengan langkah tenang, aku mendekatinya.

“Kamu sedang apa di sini sendirian?” tanyaku. 

Dino tak menghiraukan ucapanku. Pandangannya masih tertuju pada titik yang sama. Aku maju beberapa langkah dan berdiri persis di sampingnya. “Lagi lihat apa, sih, serius banget?”

“Lu tahu, Damar? Kalau kita berjalan lurus dari sini ke arah sana tanpa pernah berbelok sedikit pun, kita akan sampai di Paris.” Dino berucap tanpa mengalihkan pandangan. Jari telunjuk tangannya menuding ke arah barat laut.

Pernyataan itu membuka ingatanku tentang proses seleksi beasiswa pertukaran pelajar ke Prancis yang ia ikuti. “Eh, gimana pengumumannya? Sudah keluar? Kamu jadi ke Paris?” Aku bertanya penuh antusias.

Dino bergeming. “Paris itu kota yang indah. Kota penuh cinta. Ada Menara Eiffel di sana. Ada Museum Louvre tempat lukisan Monalisa berada. Ada Universitas Sorbonne. Kota itu sungguh sangat istimewa. Bahkan jika seseorang menghabiskan seribu tahun di Paris, tak akan bisa membuatnya bosan dengan keindahan kota itu. Paris sungguh tiada duanya di muka bumi ini.”

“Gimana pengumumannya, Dino?” tanyaku kembali setelah pertanyaanku sebelumnya tak beroleh jawaban. Aku bertambah tidak sabar.  

Alih-alih menjawab rasa penasaranku, Dino malah terus berceloteh. “Dari kecil gue sangat ingin ke Paris. Gue menjadikan Paris sebagai salah satu impian yang harus gue wujudkan. Gue sudah mempersiapkan semuanya seawal mungkin. Sejak SD, gue rajin menabung agar gue bisa kursus bahasa Prancis. Saat kuliah di sini, gue bergabung dengan Klub Bahasa FLAT demi memperdalam bahasa Prancis. Semua itu gue lakuin sebagai bekal menuju Paris. Satu minggu lalu, gue di-interview oleh panitia program student exchange yang merupakan orang Paris asli. Kami berbincang dalam bahasa Prancis. Rasanya indah sekali. Ia banyak bercerita tentang keindahan dan keistimewaan kota Paris. Gue makin terpesona dengan Paris. Hari itu, Paris terasa sangat dekat. Hanya tinggal satu langkah lagi maka gue akan bisa mendaratkan kaki dan impian gue ke sana. Hanya satu langkah lagi, Damar.” Dino menghentikan ucapannya. Ia menarik napas panjang seolah akan mengutarakan hal yang maha berat. “Tapi, hari ini Paris terasa amat jauh. Belum pernah gue merasa bahwa Paris sebegitu jauh seperti ini. Paris bahkan seperti tak berada di bumi. Sulit sekali untuk gue jangkau.”

Dino kembali memutus kalimatnya. Ia menoleh padaku. Tampak kedua matanya bersaput basah. Tanpa diduga, ia memelukku. Lama ia terdiam hingga akhirnya mulutnya kembali terbuka. Setengah berbisik, ia berucap pelan, “Gue gagal, Damar.” Tak lama, aku merasa punggungku basah. Dino menangis sesenggukan di pelukanku.

Aku hanya mampu terdiam. Untuk pertama kali sejak mengenalnya, Dino menunjukkan sisi lemah. Ternyata pemuda itu juga bisa merapuh. Saat ini, ia bukanlah Dino si tampan yang diidolakan banyak perempuan, si ramah yang pernah menjadi Mas Duta Wisata Tegal, si hebat yang pernah tergabung dalam Paskibraka Pusat, atau pun si aktif yang sibuk di banyak organisasi kampus. Saat ini, ia hanyalah seorang manusia biasa.   

***    

Tiga hari penuh Dino menyendiri di kamar kos. Kegagalannya menembus Paris membuatnya merenung. Selama tiga hari pula, aku bolak-balik mengunjungi kamar kosnya. Namun, ia tak pernah menampakkan diri meski aku berkali-kali mengetuk pintu kamar. Yang bisa kulakukan hanya meninggalkan makanan di depan pintu kamar lalu pergi untuk kembali lagi melakukan hal sama di waktu jam makan.  

Baru di hari keempat, ia mempersilakan aku masuk. Ruangan kos itu kecil. Ukurannya berkisar 3x3 meter. Di dindingnya, berbagai gambar simbol Kota Paris seperti Menara Eiffel dan Museum Louvre terpampang dengan gagah. Terpajang pula sebuah gitar akustik bergelantung di tembok.

“Udahan sedihnya?” ucapku sembari duduk di lantai kamar.

Dino mengangguk. “He em. Gue selalu membatasi diri untuk nggak boleh sedih lebih dari tiga hari.” Dino membuka bungkusan nasi yang kuperoleh dari warteg langganan kami. “By the way, thank you banget, ya, udah ngasih gue makan selama tiga hari terakhir. Gue kalau lagi down emang malas ngapa-ngapain,” ucap Dino sembari tersenyum kecil.

“Iya, santai aja, bro,” balasku menirukan gaya bicaranya.

“Selama dalam masa perenungan, gue sering berbicara dengan cicak-cicak di sini. Mereka bilang kalau Paris itu memang sebuah kota yang sangat indah dan menawan. Gue, sih, agak sanksi, ya. Secara cicak-cicak itu, kan, nggak pernah ke Paris.” Dino berbicara di antara kunyahan. “Kata mereka, nanti gue juga bakal dapat ke Paris. Tinggal tunggu waktu yang tepat aja katanya. Gue sih ngangguk-ngangguk aja biar mereka seneng.” Dino kemudian terpingkal dengan omongannya sendiri.

Aku tersenyum kecil melihat pemandangan itu. “Aku seneng, sih, karena kamu sudah bisa tertawa lagi.” Aku berseloroh. “Tapi, aku jadi agak sedih juga karena kamu sepertinya sudah jadi gila.”

“Gue emang udah gila dari dulu, kali. Emang lu baru nyadar? Bro, hanya orang-orang gila yang berani bermimpi besar.”

Lihat selengkapnya