Berteman wedang jahe dan kacang rebus yang dibeli dari sebuah warung di pinggir jalan, kami menggelar tikar di hadapan hamparan pantai Anyer. Deru-deru ombak saling bersahutan. Semilir angin malam silih berganti menyapa tubuh kami. Di atas sana, langit malam tengah memamerkan keindahan bintang-bintang yang berkilauan.
Dino mengambil gitar yang ia bawa dan mulai memainkan sebuah lagu.
“Ketika mimpimu yang begitu indah tak pernah terwujud, ya, sudahlah.”
Tergurah oleh semangat, aku dan Wika turut mendendangkan lagu yang dipopulerkan oleh Bondan Prakoso dan Fade to Black itu. Melalui lagu itu, kami mencoba membawa kabur berbagai perasaan gagal yang pernah terjadi dalam hidup. Untuk beberapa saat, kami tenggelam dalam pesona melodi dan nada. Bibir kami meneriakan lirik-lirik penuh makna. Hingga pada satu titik, lagu itu mencapai reff yang kami sambut dengan suara lebih lantang.
“Apa pun yang terjadi, ku kan selalu ada untukmu. Janganlah kau bersedih, cause everything’s gonna be okay.”
Sementara mulutku berdendang ria, pikiranku merenung. Beberapa kejadian yang kusaksikan akhir-akhir ini membuka mataku bahwa kegagalan dapat menghampiri siapa saja. Tak peduli ia sekeren Dino atau sepintar Wika. Jika saatnya tiba, kegagalan akan menyerang dan menghajar semua orang-orang hebat itu dan menjatuhkan mereka ke dalam lembah kekecewaan yang amat dalam. Nyatanya nasib memang dapat berlaku demikian kejam. Ia tak pandang bulu dan tak pandang waktu ketika menjatuhkan diri pada manusia.
Satu lagu selesai dan Dino mengistirahatkan gitarnya. Ia menoleh kepada Wika yang tengah menatap lautan lepas. “Sudah merasa baikan sekarang?”
Wika mengangguk. “Sebagai orang beragama, saya yakin bahwa jika sebuah mimpi memang akan menjadi nyata, ia akan menemukan jalannya sendiri.” Wika mengulas seutas senyum. “Di tempat saya di Mojokerto, ada banyak bangunan peninggalan kerajaan Majapahit. Menurut sejarah, kerajaan ini merupakan kerajaan terbesar yang pernah ada di bumi nusantara. Awalnya, kerajaan ini berawal dari sebuah mimpi seorang pangeran kalah perang yang mendirikan sebuah padepokan kecil di hutan. Di hutan yang tidak memberikan hal yang bisa dimakan kecuali buah-buahan pahit itu, sang pangeran bermimpi untuk membangun sebuah kerajaan agung di tanah Jawa. Siapa yang menyangka kalau mimpi itu akhirnya berubah nyata. Kerajaan itu berdiri dan bahkan menjadi besar melebihi perkiraan orang-orang yang dahulu memperjuangkannya. Meskipun dalam mencapai hal itu, ada banyak sekali perjuangan yang harus ditempuh. Dan, tidak sedikit dari perjuangan itu harus mengalirkan darah dan mengorbankan nyawa. Tapi poin pentingnya adalah bahwa semua mimpi perlu perjuangan yang tidak mudah untuk membuatnya menjadi kenyataan.” Wika meraih gelas plastik berisi wedang jahe panas dan menyeruputnya perlahan.
“Benar.” Dino menyahut. “Dan terkadang, perlu kegagalan berkali-kali sebelum sebuah mimpi dapat diwujudkan. Lu nggak akan nyerah, kan, untuk mengejar mimpi menjadi menjadi ekonom sekaligus penulis handal?”
Wika menggeleng. “Tentu tidak. Kemarin itu baru percobaan pertama. Saya tidak akan menyerah hanya karena gagal satu kali. Namun sepertinya, saya perlu menjadikannya sebagai mimpi jangka panjang. Ada mimpi lain yang harus saya raih terlebih dahulu.”
“Dan itu adalah?”
“Edinburgh. Saya akan belajar di sana sekaligus mengunjungi ekonom yang sangat saya kagumi, Adam Smith. Tentu saya juga ingin mengunjungi ekonom-ekonom lain yang dikebumikan di Inggris. Ada Karl Max yang dimakamkan di London. Ada David Ricardo di Gloucestershire, dan ada Keynes di Sussex.”
“Tapi, aku jadi penasaran,” cetus Dino. “Nanti setelah semua itu terwujud, apa mimpimu selanjutnya?”
“Pulang ke Indonesia. Menjadi ahli ekonomi dan yang paling penting, menjadi seorang pengajar yang baik.”
Aku mengernyitkan dahi. “Pengajar yang baik, maksudnya?”
Wika memandang laut luas. “Pada dasarnya kita semua adalah seorang pengajar. Seorang anak belajar dari orang tua. Seorang adik belajar dari kakak. Teman belajar dari sahabat. Karyawan belajar dari atasan. Semua belajar pada sesama. Bahkan ketika berjalan di suatu tempat, bisa jadi kita sedang mengajari mereka yang melihat. Terkadang, kita tidak tahu kalau ada orang lain yang sedang memperhatikan dan belajar dari kita. Saya ingin, dalam setiap peran kehidupan yang saya jalani, saya bisa menjadi pengajar yang baik.” Wika menyesap lagi gelas wedang jahe di genggamannya. Pandangannya masih terpaut pada lautan luas. Ia seolah tengah menatap masa depan yang baru saja digambarkannya.
Aku mengamati perubahan yang terjadi. Beberapa waktu lalu, pemuda itu kehilangan kendali atas sikapnya. Kegagalan sempat mencengkeramnya kuat-kuat hingga ia menyerah pada kekecewaan. Namun, pemuda itu kini telah kembali pada sosok yang kukenal.
Beberapa detik berlalu, Wika menoleh kepada Dino. “Bagaimana dengan Paris? Kegagalanmu kemarin tidak mematahkan semangatmu, kan?”
“Bien sûr que non.[1] Kemarin itu hanya pemanasan. Nanti setelah lulus kuliah S1, gue akan kembali mengejarnya untuk S2. Belajar dan tinggal di Paris adalah salah satu mimpi yang ada di barisan paling atas di dalam dream list punya gue.”
Wika mengangguk-angguk. “Apa saja isi di dream list punyamu?”
“Banyak sekali. Beberapa yang sudah terwujud antara lain menjadi Mas Duwis Tegal dan bergabung dengan Paskibraka Pusat. Masih banyak yang belum terwujud. Tapi, gue yakin satu demi satu dari daftar itu akan gue kasih tanda centang nantinya.”
Wika kembali mengangguk, lalu mengarahkan pandangan padaku yang sedari tadi hanya asyik mendengarkan. “Bagaimana denganmu, Damar? Apa yang ada dalam dream list punyamu?”
“Hah, kenapa?” Aku tergeragap, tak siap dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan.
“Apa yang kamu impikan dalam hidupmu?”
Pertanyaan itu mengingatkan pada tujuanku berlabuh di Kota Ciputat. Tujuan itu kini kian menjadi nyata setelah hubunganku dengan Diah kembali terjalin. “Ehm … yang paling kuinginkan dalam hidupku adalah menikah dengan Diah,” jawabku polos.
Pernyataan itu mendorong Wika dan Dino untuk seketika mengumbar tawa.
“Nih, anak. Sepertinya email waktu itu sudah dibalas,” cetus Dino seraya menatapku dengan senyum.