Sunyi merambat mengisi udara. Kelumit kisah yang baru saja kututurkan membawa pikiran Dino dan Wika pada sebuah perenungan.
“Okay. So, what’s the plan?” tanya Dino memutus keheningan.
“The plan is to change our initial plan. Kita tidak bisa lulus di semester 8. Itu terlalu lama. Kita harus lulus di semester 7,” tutur Wika.
“How do we do that?” sahut Dino.
“Kita masih punya dua mata kuliah wajib tersisa di semester 7 bersama seminar proposal sebelum akhirnya kita melangkah ke skripsi di semester 8.” Wika memulai analisis. “Kita majukan skripsi ke semester 7 dan melangsungkan sidang skripsi juga di semester 7. Dengan begitu, kita tidak harus menunggu semester 8 untuk lulus.”
Ragu, aku bertanya, “Apa mungkin hal ini bisa dilakukan? Kurikulum di jurusan kita menyebutkan sidang skripsi baru bisa dilakukan paling cepat di semester 8, itu pun dengan catatan bahwa semua mata kuliah sudah selesai dan seminar proposal telah dinyatakan lulus di semester 7.”
“Bisa,” jawab Wika yakin. “Asalkan ada orang yang cukup berkuasa di jurusan kita untuk membantu.”
“Kamu nggak sedang menyarankan untuk meminta kepada dosen yang satu itu, kan?” Aku menatap Wika dengan raut penuh keraguan. Ia balik menatapku dengan sorot mata penuh ketenangan. “Kamu tidak salah. Saya memang sedang memikirkan beliau.”
“Tapi, berurusan dengan dia bukanlah perkara mudah. Kita semua tahu itu. Salah-salah, hidup kita di kampus malah bisa dibikin menderita sama dia,” sela Dino.
“Berurusan dengan Ibu Kajur memang tidak akan pernah mudah. Kita pernah berada dalam kelas yang diampu beliau, dan itu berjalan dengan penuh tekanan. Beliau adalah orang yang mempunyai standar tinggi. Perfeksionis. Jika kita mau mengharapkan bantuan beliau, kita harus bekerja super ekstra,” jelas Wika. “Tapi, beliau yang punya kuasa. Dan secara teknis, hanya beliau yang bisa kita mintai bantuan. Jadi, lebih baik kita bersiap seratus persen. Ini nggak akan mudah. Tapi, ini masih mungkin dilakukan.”
“Well, memang nggak akan mudah. Tapi, mau gimana lagi? Cuma cara itu yang tersedia,” tambah Dino. “Kalau nggak segera lulus, bisa-bisa nanti juragan batik kita ini patah hati karena kekasihnya digondol orang.”
Pernyataan Dino menetaskan rasa bersalah dalam diriku. Satu cerita dariku harus mengakhiri momen liburan dan memaksa otak kami kembali ke bangku kuliah.
“Maafkan aku teman-teman. Tapi, aku benar-benar butuh bantuan kalian kali ini,” ucapku memelas.
“Tenang saja, Damar. Justru hal ini akan menjadi tantangan menarik buat kita.” Wika berkata.
“True. Gue juga pengin mencacat sejarah sebagai lulusan tercepat di Fakultas Ekonomi,” celoteh Dino.
“Baiklah. Jadi, dari mana kita mulai?”
“Jadi begini, jika permintaan kita disetujui, kemungkinan besar beliau yang akan jadi Dosen Pembimbing tugas akhir kita. Saya sudah sedikit banyak mencari tahu tentang Ibu Kajur dan bidang ketertarikan beliau dalam bidang ekonomi. Kita mulai dari situ. Kita harus menawarkan proposal penelitian yang benar-benar menarik perhatian beliau. Dengan begitu, kans kita untuk mendapatkan pertolongan dari beliau bisa lebih besar.” Wika menjelaskan.
“Dan ketertarikan beliau adalah …?” tanyaku.
“Bidang keahlian utama beliau adalah Ekonomi Perencanaan dan Pembangunan. Dan minat terbesar beliau ada pada topik Kewirausahaan dan UMKM. Kita akan membuat proposal skripsi tentang itu. Sekarang kita pulang dulu ke penginapan. Besok kita kembali ke Ciputat. Kita langsung menggarap proposal sesampainya di sana. Satu minggu dari sekarang, proposal itu sudah harus jadi dan kita langsung menemui beliau.”
“Oke, setuju,” jawabku dan Dino serempak.
Semilir angin mengiringi langkah kami meninggalkan kesyahduan malam Pantai Anyer. Sebelum tidur, aku mengirim pesan ke nomor Diah.
Didi. Aku sudah membaca email kamu. Aku mengerti. Aku akan menyelesaikan pendidikanku segera. Mohon tunggulah sebentar lagi.