Damar

Sucayono
Chapter #15

Skripsi

Telepon dari Diah di pagi hari layaknya menu sarapan yang kini mesti kukonsumsi. Suara lembut dan candaan manjanya mampu menyuplai energi untukku menjalani hari. Meski tak bersanding bersama, namun keberadaannya dapat kurasa. Diah hadir di sela-sela rasa lelah. Diah datang memberi semangat dan motivasi untuk berjuang. Diah tersenyum riang di saat rencanaku berjalan lancar dan memelukku lembut manakala hasil buruk menimpa. Diah menjelma layaknya rekan setia dalam perjalanan menuntaskan misi super penting dari Bu Nanda.

Hampir satu bulan telah berlalu semenjak pembicaraan di ruang Ibu Kajur. Sesaat setelah menerima mandat, aku bersama Wika dan Dino bergegas menggarap projek akhir kami. Tak kurang dari dua ratus pelaku UMKM di wilayah Tangerang Selatan kami jadikan sampel penelitian. Sebagai data pelengkap, wawancara dengan Dinas Koperasi dan UMKM kota Tangerang Selatan turut pula menjadi agenda kami. Semua data dan informasi lantas masuk dalam proses tabulasi dan pengolahan.   

Setiap pekan, kami berkunjung ke ruang Bu Nanda demi membahas perkembangan penelitian. Atas permintaan Bu Nanda, semua berkas laporan harus dikirim satu hari sebelum pertemuan melalui email. Dibanding menggunakan lembaran kertas, Bu Nanda mewajibkan para mahasiswa bimbingannya untuk memberikan laporan dalam bentuk soft copy demi mendukung gerakan kampus ramah lingkungan. 

Di saat bersamaan, kami memulai semester 7 untuk menyelesaikan dua mata kuliah wajib yang tersisa. Atas rekomendasi Bu Nanda, kami diberi kesempatan untuk melakukan seminar proposal di minggu pertama di semester ini. Kami berhasil lulus dengan meyakinkan.

Di akhir minggu keenam semenjak resmi menggarap skripsi, kami kembali bertandang ke ruang Bu Nanda. Misi kami dalam pertemuan ini jelas: memperoleh lampu hijau untuk melangkah ke tahap sidang skripsi.

Dengan seulas senyum, Bu Nanda mempersilakan kami duduk di hadapannya. Harus kuakui bahwa meski telah cukup berumur, Bu Nanda masih memiliki pesona menawan. Aku bisa membayangkan di masa mudanya ia pasti menjadi rebutan teman-teman prianya. Jika tak sedang emosi, wajah perempuan itu teduh dan penuh karisma. Orang-orang akan mudah menaruh hati hanya dengan menatap wajah anggun itu. Penampilannya pun selalu tampak modis. Hari ini misalnya. Bu Nanda memakai blazer hitam yang senada dengan warna rok panjangnya. Kepalanya ia bungkus dengan jilbab berwarna putih yang serupa dengan kemeja lengan panjang yang dikenakannya. Penampilannya tak kalah elegan dari para eksekutif perusahaan di Jakarta.

“Saya sudah membaca laporan yang kalian kirimkan,” ucap Bu Nanda membuka percakapan. “Hasil kerja kalian sudah cukup oke.”

Pernyataan Bu Nanda mengalirkan rasa lega di hati kami. Jalan menuju kelulusan sudah semakin menampakkan diri.

“Namun, sebelum saya memberikan persetujuan, ada hal penting yang ingin saya tanyakan.” Bu Nanda menegakkan punggungnya. “Pertanyaan saya sederhana. Namun, jika jawaban kalian tidak memuaskan, saya tidak akan merekomendasikan kalian untuk sidang.”

Ucapan itu seketika menimbulkan rasa gugup. Kami membetulkan posisi duduk dan mulai menyimak serius. Momen ini amat menentukan. Dalam hitungan menit, kami akan mengetahui apakah semua kerja keras kami dalam melakukan penelitian dan menyusun skripsi memperoleh hasil sesuai harapan.

“Apa manfaat penelitian ini?”

“Baik, Ibu. Terima kasih atas pertanyaannya. Saya akan mencoba memberi jawaban,” kata Dino. “Manfaat penelitian ini seperti yang tertuang dalam Bab 1, ada manfaat akademis dan manfaat praktis. Manfaat akademis—”

“Bukan. Bukan itu maksud dari pertanyaan saya,” potong Bu Nanda. “Jangan terlalu terpaku pada hal-hal yang teroritis. Coba keluar dari kerangka itu. Kalian harus mampu berpikir dalam spektrum yang lebih besar.” Ia kembali menatap kami silih berganti. “Saya ulangi pertanyaan saya. Apa manfaat penelitian ini?”

Aku mengajukan diri untuk menjawab. “Begini Ibu, manfaat penelitian ini antara lain sebagai wadah bagi kami untuk mengaplikasikan ilmu yang kami pelajari di kelas.”  

“Itu saja? Itu jawaban terbaik yang bisa kalian berikan? Kalau kalian cuma bisa memberikan jawaban standar seperti itu, saya benar-benar kecewa.” Bu Nanda menghela napas panjang. “Ada lagi yang bisa kalian sampaikan?”

“Begini, Ibu.” Kali ini Wika yang berbicara. “Penelitian ini adalah tentang kewirausahaan. Di dalamnya, dibahas berbagai macam hal dan permasalahan dalam dunia kewirausahaan, utamanya wirausaha dalam skala kecil, mulai dari jenis, tantangan, tren, dan kebijakan pemerintah dalam dunia wirausaha. Selain beberapa manfaat yang telah disebutkan oleh kedua rekan saya tadi, manfaat lain yang lebih penting adalah hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran bagaimana dunia wirausaha kecil dan menengah beroperasi dan berperan dalam perkembangan ekonomi nasional. Hasil penelitian kami ini dapat menjadi rujukan sekaligus motivasi bagi para calon wirausahawan baru dalam membangun sebuah usaha. Kita tahu bahwa sebuah negara dikatakan sebagai negara maju apabila tingkat wirausahanya lebih dari 2 persen dari jumlah total populasi. Sementara untuk saat ini, jumlah wirausaha kita masih dibawah itu. Kita masih membutuhkan lebih banyak orang berkiprah sebagai wirausaha. Hasil penelitian ini dapat menjadi alat yang memotivasi untuk lebih banyak orang lagi terjun dalam dunia wirausaha.” 

Bu Nanda terdiam memejamkan mata. Beberapa detik berlalu, ia membuka kedua matanya seraya mengulas seutas senyum. “Terima kasih,” ucapnya sungguh-sungguh. 

“Kami yang seharusnya berterima kasih kepada Ibu yang telah banyak membantu kami,” ujar Wika. Aku dan Dino mengangguk setuju. 

“Terima kasih untuk tidak menyia-nyiakan waktu saya satu setengah bulan terakhir. Saya cukup puas dengan kinerja kalian. Karena itu, skripsi ini saya terima dan saya rekomendasikan untuk diujikan. Saya akan mengusahakan agar kalian bisa mengikuti sidang skripsi tepat setelah menyelesaikan UAS di semester ini. Dengan begitu, kalian bisa cepat lulus.”

“Terima kasih, Ibu,” jawab kami serempak. 

“Terima kasih kembali. Sekarang kalian dipersilakan keluar.” Bu Nanda membuka tangan kanannya seraya menunjuk arah pintu.   

“Terima kasih, Ibu.” Kembali, kami menjawab serempak. Kami meninggalkan ruangan dosen pembimbing kami itu dengan rasa penuh syukur dan bangga.

Lihat selengkapnya