Satu menit saja terlambat, bus terakhir jurusan Pekalongan itu sudah berangkat. Beruntung aku dapat mencapai terminal bus Kota Ciputat tepat waktu. Masih ada beberapa kursi kosong dalam bus. Aku memilih kursi di dekat jendela. Roda bus berputar maju sesaat setelah aku duduk sempurna di kursi.
Jarak Ciputat ke Pekalongan menurut peta kurang lebih tiga ratus sembilan puluh delapan kilometer. Namun, malam ini aku merasa seperti harus menempuh jarak jutaan kilometer. Detik demi detik berlalu dengan menegangkan. Rasa gugup dan was-was memenuhi pikiranku. Detak jantungku berlari lebih cepat dibanding roda-roda bus yang berjalan.
Kondektur bus berinisiatif menyalakan musik demi menghibur para penumpang. Irama lagu-lagu dangdut seketika menggema mengiringi kepergian bus meninggalkan Kota Ciputat. Beberapa penumpang nampak terhibur dengan suguhan musik itu. Satu dua orang ikut berdendang bersama sang penyanyi di layar teve di bagian depan bus.
Sementara penumpang lain menikmati, hiburan itu sama sekali tak berkesan buatku. Aku memilih memejamkan mata. Berharap lekas tertidur dan terbangun ketika bus telah sampai di Pekalongan. Namun, rasa kantuk seperti tak mau datang. Rasa gelisah membuatku tetap terjaga. Perasaan ini sungguh menyiksa. Andaikan bisa, aku ingin meminta bantuan Superman, Gatotkaca, atau superhero lain untuk membawaku terbang ke kampung halaman segera.
Jam demi jam berganti bersamaan dengan kota demi kota yang terlewati. Penanda waktu yang terpampang di bagian atas depan bus menunjukkan pukul satu dini hari ketika Pak Sopir memutuskan untuk membawa para penumpang beristirahat di sebuah rumah makan di Kota Cirebon.
Otakku melakukan kalkulasi. Jika bus melaju dengan kecepatan stabil, maka aku bisa sampai di kampung halaman sekitar Subuh. Masih belum terlambat untuk mencegah pernikahan Diah. Aku mengecek perbekalan di dalam tas. Tak ada banyak barang di sana. Hanya ada satu bundelan naskah skripsi. Benda itu akan menjadi senjata utama dalam misiku kali ini.
Setengah jam berada di rumah makan, bus kembali berjalan. Hatiku semakin gugup bersamaan dengan denting waktu yang terus berputar maju.
Masih sempat … masih sempat … masih sempat …. Aku mencoba menenangkan diri.
Aku menengok kembali keluar jendela. Satu lagi gerbang penanda kota telah terlewati. Kini bus tengah berada di kota Brebes. Setelah kota ini, tinggal melewati Tegal dan Pemalang sebelum aku sampai di Pekalongan.
Ayolah cepat! batinku berkata.
“Cit!!!” Pak Sopir tiba-tiba menghentikan laju bus. Aku langsung berdiri dan menghampiri bagian kemudi.
“Ada apa, Pak? Kenapa berhenti?” tanyaku.
“Anu, Mas. Busnya mogok. Sepertinya ada gangguan pada mesin. Saya perlu cek dulu,” jawab Pak Sopir. Ia lalu membuka pintu di sampingnya dan melangkah keluar.
Ucapan Pak Sopir membuat jantungku yang sedari awal perjalanan berdetak kencang menjadi tak keruan. Perasaanku bertambah panik. Bagaimana jika perbaikan mesin ini memakan waktu lama? Bagaimana jika aku terlambat sampai di Pekalongan? Bagaimana jika Diah harus menjadi milik orang lain hanya karena aku tak datang tepat waktu? Bagaimana jika mimpi paling buruk itu terjadi? Ribuan pertanyaan kecemasan menguasai kepalaku.
Aku berinisiatif menyusul keluar demi melihat proses perbaikan mesin bus yang kini tengah dilakukan oleh Pak Sopir dan Pak Kondektur. Dua orang itu sibuk membongkar-bongkar mesin.
“Apa yang rusak, Pak?” tanyaku kembali.
“Masih kami periksa, Mas,” jawab Pak Sopir.