Bunyi azan penanda waktu Asar menggema di udara. Mataku terbuka dan tampaklah langit-langit kamar. Telah dua hari penuh aku mengurung diri di sebuah tempat penginapan. Usai mataku menyaksikan pernikahan Diah, tak ada lagi hal yang bisa kulakukan. Semua harapan dan mimpiku musnah tak bersisa. Semangat hidupku menguap habis. Yang tersisa hanya rasa sesal dan kecewa. Kini aku benar-benar tersesat. Tak punya tujuan hidup. Tak tahu mau ke mana dan harus berbuat apa.
Aku melirik buntalan skripsi di sampingku. Kertas-kertas itu lecek lantaran terkena guyuran air hujan. Harusnya dengan buntalan itu aku mampu lulus dan menjadi sarjana. Harusnya jika bisa membawa gelar sarjana, aku dapat bersanding dengan Diah. Andai saja bisa datang lebih cepat, mungkin aku masih punya kesempatan itu. Seharusnya penderitaan ini tak perlu ada.
Benakku bertanya, kenapa Diah tak bisa menunggu barang sebentar lagi? Kenapa ia harus mematahkan semua harapanku di saat aku merasa harapan itu begitu dekat dan nyata? Kenapa? Kenapa ia begitu kejam dan tega?
Aku masih mengingat setiap kata manis dan janjinya padaku. Bahwa ia akan menunggu. Bahwa ia ingin berbagi mimpi dan masa depan bersamaku, dan hanya bersamaku saja. Namun, pernikahannya dengan laki-laki lain meruntuhkan semua itu. Setiap kali memikirkannya, hatiku semakin hancur. Aku tak kuasa membayangkan Diah bercanda ria dan bercengkerama dengan laki-laki itu. Harusnya aku yang bersamanya sekarang. Bukan orang lain.
Aku hendak menutup mata kembali ketika pintu kamar diketuk. Aku tak ambil peduli. Aku tak mengharapkan kedatangan tamu. Namun, ketukan itu tak berhenti. Semakin lama terdengar semakin keras. Dengan rasa malas, aku bangkit dan melangkah ke arah pintu.
“Rupanya kamu bersembunyi di sini, Damar.” Sesosok pria paruh baya berbadan kurus berkata setelah pintu kubuka.
“Paklek,” ucapku terkejut. “Bagaimana Paklek bisa di sini?”
“Sudah Paklek bilang, Damar. Paklek akan mengawasimu. Paklek paham wilayah Pekalongan. Bukan hal sulit buat Paklek untuk menemukan keberadaanmu di sini,” ucap Paklek seraya tersenyum. “Setelah kembali dari perantauan selama bertahun-tahun, kamu tidak mau menyapa paklekmu ini?”
Mulutku terdiam. Aku sungguh tak berselera menjawab pertanyaan basa-basi seperti itu di saat keadaan hatiku tengah kacau.
“Paklek sempat melihatmu meninggalkan acara resepsi di rumah Juragan Gading saat hujan deras. Paklek sempat mau menyusulmu. Tapi, Mbak Diah melarang.”
Sepenggal nama “Diah” dalam pernyataan Paklek Trisno menimbulkan rasa penasaran. “Ada apa sebenarnya Paklek ke sini?”
“Paklek mau menyampaikan pesan Mbak Diah. Dia pengin ketemu sama kamu.”
Mataku seketika menajam. “Diah mau ketemu sama Damar? Untuk apa?”
“Kamu tidak mau?”
Aku terdiam. Rasa ragu muncul. Setelah apa yang terjadi, aku tak tahu harus bagaimana bersikap padanya.
“Kamu tidak mau, Damar? Bukankah itu tujuanmu pulang ke Pekalongan?”
Lama termenung, aku memutuskan menjawab. “Baiklah Paklek. Damar akan menemuinya.”
“Bersihkan tubuhmu dulu dan pakai ini.” Paklek Trisno menyodorkan satu setel pakaian yang masih baru. “Kamu tidak bawa pakaian ganti, kan?”
Aku mengangguk pelan dan menerima pakaian itu. Dalam hati, aku memuji kepekaan Paklek Trisno atas keadaanku.
“Paklek akan menunggu di warung depan. Temui Paklek di sana kalau kamu sudah siap.”
Paklek Trisno melangkah menjauh. Dalam beberapa detik, tubuhnya menghilang di balik tembok. Aku memandangi setelan pakaian di tanganku. Tak akan butuh waktu lama buatku mempersiapkan diri agar tampilan luarku pantas bertemu Diah. Yang lebih sulit adalah mempersiapkan mental. Batinku bertanya-tanya, apakah hatiku sudah berdamai dengan keadaan? Apakah aku sudah siap menjumpai Diah dengan statusnya yang telah menjadi istri orang?
***
Roda sepeda motor yang kami tumpangi bertambat di halaman parkir rumah makan bergaya khas Jawa di pusat Kota Pekalongan. Usai memarkir sepeda motor, Paklek Trisno membimbing jalanku memasuki area dalam rumah makan. Sampai di pintu masuk, langkah kaki Paklek Trisno berhenti.
“Paklek antar kamu sampai sini. Mbak Diah menunggu kamu di meja paling pojok.”
Aku mengangguk takzim. “Terima kasih banyak, Paklek.”
Aku melanjutkan perjalanan mengikuti arahan Paklek Trisno. Sebuah embun pagi menetes sejuk di hatiku ketika aku sampai di titik tujuan. Gunung kerinduan yang telah lama tumbuh perlahan mengikis. Perempuan itu masih sama. Anggun dan menawan. Aura wajahnya bertambah teduh dengan balutan hijab yang membungkus kepalanya.
Untuk sesaat aku tersirap. Bertemu dengan Diah setelah sekian tahun terpisah menghadirkan kecamuk rasa di hatiku. Kenyataan bahwa ia telah menjadi istri orang lain tak mampu menghalangi rasa bahagia untuk menyeruak di antara lautan kecewa dan sedih.
Diah berdiri menyambut kedatanganku. Seorang laki-laki muda mengenakan batik bermotif sama dengan Diah ikut berdiri di sampingnya. Baru aku tersadar bahwa Diah tidak datang sendiri. Wajahku seketika menegang. Laki-laki itu adalah sosok yang kulihat dua hari lalu bersanding bersama Diah di pelaminan.
Batinku seketika berontak. Apa maksud dari semua ini? Diah ingin bertemu denganku hanya untuk memamerkan suaminya? Dan, seolah ingin mempertegas statusnya sebagai istri orang, ia dan suaminya dengan sengaja mengenakan pakaian couple di hadapanku?
Sebisik suara di kalbuku menyarankan untuk segera pergi. Suasana ini sungguh tidak sehat. Aku sudah cukup menderita dengan semua yang terjadi. Aku tak perlu menambah penderitaan dengan menonton Diah dan suaminya pamer kemesraan. Namun, sebisik suara lain memintaku bertahan. Kabur adalah tindakan pengecut. Dan aku tidak pernah ingin Diah melihatku sebagai seorang pengecut.
“Damar,” panggil Diah seraya menatapku lurus-lurus. Aku termangu dengan cara Diah menyapaku. Telingaku sudah terbiasa mendengar kata Dadam terucap dari mulut Diah. Nama Damar yang baru saja kudengar terasa asing. Aku juga tertegun dengan sorot mata itu. Tak ada lagi timbunan kasih sayang seperti yang dahulu selalu kutemukan ketika menatap wajahnya. Aku melirik tangan Diah. Tersemat sebuah cincin emas putih di jari manisnya.
“Terima kasih sudah mau datang,” lanjut Diah seraya tersenyum.
Aku masih terpaku menatap Diah lekat-lekat. Perasaan ini sungguh janggal. Ia begitu dekat di hadapanku. Namun, aku merasa ia berada di tempat yang amat jauh, seolah kami berkomunikasi dari semesta yang berbeda.
“Apa kabar kamu, Damar?” tanya Diah kembali.
Usai lama terbisu, mulutku bersuara. “Aku baik-baik saja.”
Tentu saja ucapan itu adalah sebuah kebohongan. Bagaimana bisa aku baik-baik saja setelah semua mimpiku hancur berantakan? Bagaimana bisa aku baik-baik saja setelah melihat perempuan yang kucinta dengan sepenuh hati dan jiwa menjadi milik orang lain?
“Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Oh iya, perkenalkan, ini Mas Dimas. Dia … suamiku,” ujar Diah menunjuk laki-laki dengan perawakan tegap dan wajah tampan di sampingnya.
“Dimas.” Laki-laki itu langsung menjulurkan tangan padaku.
Keadaan ini terasa semakin tak mengenakkan. Sejujurnya, aku sangat tidak ingin menjabat tangan itu. Bahkan kalau bisa, aku ingin menghajar laki-laki di hadapanku ini atas kekurangajarannya merebut kekasihku. Namun, rasa kesadaran masih menjagaku untuk tak bertingkah konyol.
“Damar,” ucapku lirih menyambut uluran tangan itu.
“Aku sudah mendengar banyak tentang Mas Damar dari Diah. Diah bilang kalian bersahabat dari kecil. Aku sangat berterima kasih kepada Mas Damar yang selama ini sudah memperlakukan Diah dengan baik.”
Aku hanya mengangguk pelan. Aku enggan menanggapi ocehan laki-laki bernama Dimas itu. Lagaknya saja sok polos dan baik. Padahal ia adalah orang jahat. Setidaknya bagiku ia adalah orang paling jahat di muka bumi. Aneh sekali memang. Padahal baru beberapa detik lalu aku mengenalnya, namun kebencianku padanya telah melampaui langit tertinggi. Usai memamerkan diri sebagai pendamping Diah, ia berlagak menyanjungku karena telah menjaga istrinya. Dasar tukang tikung tak tahu diri!