Bak seorang pelaku kriminal yang merasa bersalah atas tindak kejahatannya, aku berlutut di hadapan Dino dan Wika. Pagi tadi, dengan menaiki bus malam, aku sampai kembali di Kota Ciputat. Hal pertama yang kulakukan adalah mengirim pesan kepada Dino dan Wika untuk bertemu di taman kampus. Tepat ketika mereka menampakkan diri beberapa detik lalu, aku langsung meringkuk memohon ampun. Aku menyiapkan diri untuk menerima segala macam hukuman.
“Hei, apa yang kamu lakukan, Damar? Ayo duduk dulu,” ucap Wika seraya mengangkat tubuhku. Usahanya sia-sia, aku bersikeras menolak. “Aku nggak akan berdiri sebelum perbuatanku dimaafkan.”
“Semua sudah terjadi, Damar. Tidak ada yang perlu dimaafkan,” ujar Wika lagi. Dino yang melihat tindakan Wika berusaha membantu dengan menarik tubuhku ke atas untuk berdiri. “Wika benar, Damar. Gue sebenarnya masih marah sama lu. Tapi dengan lu begini nggak akan menyelesaikan masalah. Sekarang lu duduk yang benar dulu dan kita bicarain semuanya secara baik-baik.”
Bujukan keduanya meluluhkan tekadku. Wika dan Dino menuntun langkahku mencari titik nyaman untuk berbincang di taman kampus. Dikelilingi tumbuh-tumbuhan hijau yang ranum, kami duduk bersantai menggelar obrolan.
“Gue dan Wika sebenarnya bisa aja ninggalin lu kemarin di hari sidang,” Dino bersuara. “Tapi kami bukan orang-orang yang nggak mengenal rasa kesetiakawanan. Harusnya kami sudah lulus di sidang kemarin, tapi kami memilih untuk meninggalkan ruang sidang demi lu.”
Dino menegakkan badan. Sikap itu selalu ia tunjukkan ketika ia hendak berbicara serius. Ia menatapku lekat-lekat. “Jadi sekarang, lu jelasin ke kita berdua kenapa lu kabur begitu aja malam itu. Gue berharap alasan lu itu sepadan dengan pengorbanan kita. Kalau nggak, lu beneran gue cincang di sini.”
Detail demi detail kejadian yang kualami dalam tiga hari terakhir mengalir keluar dari mulutku. Wika dan Dino menyimak dengan saksama.
“Jadi, lu mengurung diri di kamar dua hari penuh hanya karena ditinggal kawin perempuan? Lemah banget sih, lu!” ujar Dino usai menyimak kisahku. Ia meninggikan suara demi menegaskan poin ucapannya.
Berbeda dengan Dino, Wika bertingkah lebih bijak. “Dino, jangan samakan Damar dengan dirimu yang sudah berkali-kali pacaran, jatuh cinta, dan putus hubungan. Seumur hidupnya, Damar ini, tahunya makhluk yang namanya perempuan, ya, si pacarnya itu. Dia sudah suka sama perempuan itu sejak kecil sampai sebesar ini. Mereka bahkan punya mimpi yang sama dan berniat menikah. Semua yang Damar lakukan dari mulai merantau, lalu kuliah, dan bekerja keras di sini adalah untuk perempuan itu. Dan tiba-tiba, perempuan itu malah menikah dengan orang lain. Bisa bayangkan betapa hancur hatinya si Damar ini? Please, have some sympathy!”
Dino menggeleng-gelengkan kepala sembari menyengir ringan. “Lah lagian, salah dia sendiri kenapa jatuh cinta sampai segitunya. Kan dari dulu, memang beginilah cinta, deritanya tiada pernah berakhir.”
“Diam kamu, Patkai!” ucap Wika dengan meninggi. Ia mulai kesal, sampai-sampai ia menyebut nama sebuah karakter dalam kisah “Legenda Kera Sakti” yang kerap mengatakan pernyataan yang baru saja Dino ucapkan.
Merasa tindakannya tak disetujui Wika, Dino melunak. “Yaudah. Oke, Damar. Yang udah berlalu, biarlah berlalu. Tak perlu kita perpanjang lagi masalahnya. Tapi sekarang apa? Lu nggak ngundang kita datang ke sini cuma untuk minta maaf doang, kan?”