Ruangan yang tenang itu tiba-tiba mencekam setelah sang pemilik menghamburkan emosi. “Kalian keterlaluan! Kalian membuat saya malu! Dan, kalian masih berani datang kemari?” Bu Nanda membanting beberapa lembar kertas di hadapan kami. Sorot matanya membakar. Raut wajahnya mencekam. Ia layaknya serigala lapar yang bersiap memangsa kami mentah-mentah.
Bagai kerupuk disiram air, nyali kami bertiga seketika melempem. Tak ada secuil keberanian untuk menatap balik Bu Nanda. Detik ini, ia adalah makhluk bumi yang paling kami takuti.
“Maafkan saya, Bu. Ini sepenuhnya adalah kesalahan saya. Saya bersedia menanggung semua hukuman dari Ibu. Tapi, tolong berikan kesempatan lagi kepada kami,” ujarku memelas. Sebagai pihak yang menimbulkan semua masalah, aku harus tampil terdepan dalam mengatasi kekacauan ini.
Ibu Nanda tak memberi respons. Ia memilih membisu. Jari jemarinya memijit-mijit pelipis kepala. Cukup lama hening mengisi ruangan. Hingga akhirnya Bu Nanda memecahkannya. “Baiklah. Sekarang katakan kepada saya, apa yang membuat kalian bolos di hari sidang?”
Detik demi detik kemudian berlalu dengan aku mengucurkan kisah lawatanku ke Kota Pekalongan seperti yang kulakukan sebelumnya pada Wika dan Dino. Bu Nanda menyimak penuh perhatian.
Bu Nanda merebahkan punggungnya pada senderan kursi begitu ceritaku menyentuh titik akhir. Matanya mengawang menatap langit-langit. Lamat-lamat, suara tawa perlahan muncul dari mulutnya.
“Jadi, kamu pulang kampung, naik bus malam-malam, berusaha untuk menggagalkan pernikahan pacar kamu itu dengan buntalan skripsi? Kamu ingin menjadikannya sebagai bukti bahwa kamu sebentar lagi lulus dan jadi sarjana biar bisa diterima keluarganya? Jangan bilang kalau kamu berencana menjadikan buntalan skripsi itu sebagai mahar pernikahan.” Bu Nanda kembali tergelak. Dino dan Wika memaksakan diri ikut tertawa. Sementara aku hanya bisa tersenyum kecut.
Usai tawanya mereda, Bu Nanda memandangku penuh iba. “Saya prihatin sekali dengan nasib kamu, anak muda. Sungguh saya prihatin. Sebagai manusia, saya bersimpati kepada kamu.”
Perkataan Bu Nanda mengembuskan angin kesejukan ke dalam diriku. Ini adalah pertanda baik. Harapan itu masih ada.
“Tapi,” Bu Nanda melanjutkan dengan penekanan, “sebagai dosen pembimbing skripsi kamu dan sekaligus ketua jurusan di program ini, tindakan kamu jelas tidak bisa saya maafkan begitu saja.”
Wajahku yang sempat tenang seketika berubah pias. Pun dengan wajah Dino dan Wika yang menunjukkan reaksi serupa. Kami kembali dibuat harap-harap cemas dengan tingkah Bu Nanda.
“Sekarang dengarkan saya baik-baik. Terutama kamu, Damar. Kalian bertiga saya beri kesempatan satu kali lagi, tapi ….” Bu Nanda memotong kalimatnya. Ia sengaja membuat jantung kami berdetak lebih kencang. Bu Nanda menatap wajah kami bergantian. “Kalian harus membuat skripsi kalian ini jauh lebih baik dan lebih menarik. Saya tidak tahu caranya bagaimana, kalian pikirkan sendiri. Yang jelas, saya pengin sesuatu yang tidak biasa-biasa saja. Dan ingat baik-baik, terutama kamu, Damar.” Bu Nanda memfokuskan pandangannya padaku. “Jika kamu tidak bisa memberikan sesuatu yang saya minta, maka saya akan pastikan nasib skripsi kamu ini lebih menyedihkan daripada kisah cintamu itu. Mengerti?”
Aku menelan ludah, lalu mengangguk pelan. “Mengerti, Ibu.”
Bu Nanda lantas melepaskan tatapan judesnya dariku dan beralih memandang Wika dan Dino bergantian. “Kalian juga mengerti?”
“Mengerti, Ibu,” jawab Wika dan Dino serempak.
“Baik. Saya kasih kalian 7 hari untuk melakukan perbaikan. Temui saya 7 hari lagi dengan perbaikan yang kalian buat. Kalau saya sampai tidak puas, saya akan batalkan semuanya dan kalian harus mengajukan proposal baru dan tentunya dengan dosen pembimbing yang lain. Karena saya sudah tidak mau lagi membimbing mahasiswa-mahasiswa yang tidak bisa memenuhi standar saya. Dan, itu berarti kalian harus mulai dari awal. Yang artinya juga, hidup kalian akan terlunta-lunta lebih lama di sini. Jadi, selagi saya masih punya kesabaran, kalian lebih baik penuhi permintaan saya. Mengerti?”
“Mengerti, Ibu. Tapi, tujuh hari terlalu singkat, Ibu. Bisakah kami mendapatkan waktu lebih lama?” Dino memprotes.
Bu Nanda melepas senyum datar. “Baiklah. Kalau kalian tidak setuju tujuh hari, saya kasih lima hari.”
“Ibu, maaf. Kenapa malah dikurangi lagi waktunya?” Giliranku yang mengajukan protes.
“Baiklah, kalau kalian tidak mau lima hari, saya beri waktu tiga hari.”
Aku hampir mengajukan protes untuk kali kedua ketika Wika memegangi tanganku, memberi tanda untuk tak melanjutkan bantahan.
“Baiklah, Ibu. Kami akan penuhi permintaan ibu,” sahut Wika cepat-cepat.
Ibu Nanda kembali tersenyum datar. “Baiklah. Tiga hari dan semua sudah beres.”
Walau seratus persen tak setuju, kami bertiga terpaksa mengangguk.
“Kalian, kan, mahasiswa-mahasiswa dengan IPK tinggi. Buktikan kalau IPK kalian itu sebanding dengan isi otak kalian. Jadi, gunakan otak kalian untuk menyelesaikan masalah ini.” Bu Nanda mengibaskan tangannya di udara seperti hendak menghalau nyamuk. “Sekarang, kalian dipersilakan keluar. Saya masih banyak kerjaan.”
***
“Dasar dosen nggak punya hati!” rutuk Dino saat kami telah berada di warung makan langganan. Ia menenggak satu botol air mineral berukuran 600ml sekali tandas. “Maunya apa coba? Suka banget mempersulit mahasiswa. Kayak dia nggak pernah jadi mahasiswa aja.”
“Sudahlah, Dino. Tidak ada gunanya begitu. Sekarang yang mesti kita pikirkan adalah bagaimana caranya kita bisa membuat skripsi kita menjadi luar biasa dalam waktu cuma tiga hari,” cetus Wika.
“Yaudah. Coba kita tanya sama biang keladi dari permasalahan ini sekaligus ketua kita tim yang baru.” Dino melempar bola panas ke arahku. Aku yang sedari tadi diam berpikir, seketika bersuara usai sebuah ide tiba-tiba melintas di pikiranku.
“Guys, kalian bawa jaket almamater?”
***
“Ini rencana gila banget. Gue memang pengin sesuatu yang luar biasa. Tapi, bukan seperti ini juga. Ini, sih, namanya kita mempermalukan diri,” komentar Dino ketika kami bertiga telah sampai di depan Gedung Kementerian Koperasi dan UKM.
“Paling nggak, kita harus mencobanya dulu,” ujarku membela usulan yang kuberikan.
“Yup. Kalau tidak berhasil, paling-paling kita diusir.” Wika berkata mantap. “Yuk!”
Dino mencoba menahan langkahku dan Wika. “Justru itu. Sebelum kita diusir, mending kita pergi sekarang.”
“Dino, kamu, kan, sudah menyerahkan ban kapten grup ini ke aku. Jadi, sekarang kamu harus ikut kataku.”
“Dan gue udah menyesalinya sekarang. Bisa gue ambil balik, nggak?”
Aku menggeleng. “Sudah terlambat untuk itu. Ayo kita masuk.”
Kami melangkah menuju meja resepsionis.
“Permisi,” ujarku di meja resepsionis. Seorang pemuda berpakaian rapi ala PNS langsung berdiri menyambut.
“Ada yang bisa kami bantu?” sapanya ramah.
“Ehm … kami ingin bertemu Bapak Menteri,” jawabku.
Raut wajah resepsionis itu seketika berubah menyelidik. Ia mengamati penampilan kami dari bawah hingga atas. Tiga orang pemuda dengan pakaian sederhana menggunakan jas almamater kampus tengah memegang bundelan kertas tebal.
“Maaf, ada keperluan apa, ya?”
“Kami mau melakukan wawancara dengan beliau.”
“Sudah ada janji?”