Damar

Sucayono
Chapter #20

Wisuda

Acara yudisium di Fakultas Ekonomi digelar meriah. Para calon wisudawan dan wisudawati yang berasal dari tiga jurusan berbeda: Manajemen, Akuntansi, dan Ilmu Ekonomi, dikumpulkan dalam ruang teater utama demi menerima penghormatan dan wejangan terakhir dari dewan pengajar. Para dosen dan pimpinan fakultas duduk berjejer menempati kursi-kursi di barisan terdepan. Sementara calon-calon wisudawan dan wisudawati duduk di belakangnya dengan pakaian rapi. Bagi para pria bersepatu pantofel, celana bahan, kemeja berdasi, dan berjas. Sementara para perempuan mengenakan kebaya. Mereka kini dapat bernapas lega setelah berbulan-bulan sebelumnya berjibaku menyelesaikan tugas akhir. 

Masing-masing ketua jurusan melenggang ke atas mimbar. Mereka mengumumkan satu persatu calon wisudawan dan wisudawati dari jurusan masing-masing. Setiap kali satu nama disebut, laungan tepuk tangan mengudara dari segenap peserta yudisium di ruang teater.

Mengenakan kebaya berwarna krem dengan jilbab senada, Bu Nanda tampil menawan sebagai ketua jurusan yang terakhir. Dengan sorot mata penuh kebanggaan, ia membaca satu demi satu nama mahasiswa dari program studi Ilmu Ekonomi. Bu Nanda memberi apresiasi setinggi-tingginya pada seluruh anak didiknya. Di sepanjang acara, ia tak berhenti melepas senyum ramah. Apresiasi khusus ia berikan kepada calon wisudawan bernama Wika Kurniadi Ahmad yang berhasil menorehkan sejarah sebagai lulusan tercepat sekaligus terbaik pada perhelatan yudisium kali ini dengan IPK sempurna 4. Acara yudisium diakhiri dengan sesi poto bersama.    

Usai acara, aku bergegas menuju ruang dosen. Aku ingin menyapa seorang dosen yang istimewa. Ia tak hadir di ruang teater. Firasatku berkata ia tengah sibuk di meja kerjanya. Dan benar saja, sampai di ruang dosen, kudapati ia sedang membereskan berkas-berkas, hendak pulang.

Assalamu’alaikum, Pak,” sapaku.

Dosen itu menoleh. Melihat caraku berpakaian, ia pasti tahu kalau aku baru saja menghadiri acara yudisium.

Wa’alaikum salam,” jawabnya datar.

“Bapak masih ingat dengan saya?”

Laki-laki paruh baya itu membetulkan letak kacamatanya untuk kemudian menatapku lekat. “Saudara siapa, ya?”

“Sekitar tiga setengah tahun lalu, saat semester satu, saya berada di kelas yang Bapak ajar. Ketika itu, Bapak menghukum saya berdiri di depan kelas dan meminta saya membuat surat pernyataan.”

“Lalu?”

“Itu adalah pengalaman pertama saya dihukum seperti itu. Sungguh sangat memalukan.”

Bapak itu merespons ucapanku dengan memberi tatapan semakin dalam. “Lantas, apa saudara mendendam pada saya?”

Aku menggeleng. “Tidak, Pak. Sama sekali tidak. Justru saya sangat berterima kasih kepada Bapak. Karena setelah kejadian itu, saya jadi terlecut untuk belajar lebih giat lagi. Hari ini, saya mengikuti yudisium dan berhasil lulus dari kampus ini dengan predikat cum laude. Hal ini tentu tidak akan terjadi kalau Bapak tidak menyadarkan saya pada waktu itu.”

Seutas senyum mengembang di wajah laki-laki itu. “Ah, syukurlah. Saya ikut bangga dengan prestasi saudara. Saya ingin mengobrol lebih panjang dengan saudara, tapi maaf, saya harus pergi sekarang.”

“Tidak apa-apa, Pak. Hanya saja, ini mungkin kali terakhir saya bertemu Bapak. Mohon berkenan untuk memberikan saya nasihat sebelum meninggalkan kampus.”

Dosen itu terdiam sesaat sebelum berkata, “Anak muda, kamu hidup hanya sekali. Maka bekerja keraslah untuk menghidupkan mimpi-mimpimu. Sekuat tenaga, segenap jiwa. Jika kamu melakukannya, maka ketika sudah waktunya nanti, kamu akan pergi meninggalkan dunia ini tanpa penyesalan.” 

Lihat selengkapnya