London, dua tahun kemudian
Berteman secangkir kopi, aku menikmati pemandangan sore Kota London. Ribuan orang dari berbagai penjuru bumi berkumpul demi menatap langsung kemegahan Tower Bridge dan Elizabeth Tower.
Aku tidak tahu cerita hidup mereka satu persatu. Tapi, keberadaanku di sini adalah hasil dari perjuangan keras. Setelah lulus dari Universitas Pembaharu, aku bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. Sembari bekerja, aku melatih kemampuan Bahasa Inggris di waktu luang. Aku juga mempersiapkan berbagai kebutuhan yang harus kupenuhi demi mengejar mimpi berkuliah di London. Satu tahun penuh bergulat dengan persiapan, aku mengikuti program Beasiswa Pendidikan Indonesia dari pemerintah Republik Indonesia. Usai melewati berbagai proses seleksi dan ujian, aku dinyatakan lulus dan menerima sponsor untuk berkuliah di University College London.
Aku tersenyum mengenang kisahku sampai di titik ini. Bagaimana aku harus putus sekolah hingga akhirnya mendaratkan kaki di negeri Ratu Elizabeth ini adalah sebuah anugerah yang selalu aku syukuri.
Dari dalam tas, aku mengambil buku harian Diah. Di lembar yang masih kosong, aku menuliskan perasaanku sore ini.
Didi, aku telah berada di London. Kamu benar, Di. London sangat menawan. Andai saja kamu berada di sini bersamaku. Dunia ini pasti jauh lebih indah.
Dahulu, ketika berniat melupakan Diah, aku membuang semua hal yang berhubungan dengannya. No HP, email, foto. Semua aku hapus dan singkirkan. Namun, aku tak kuasa berbuat hal sama dengan buku ini. Buku ini seakan menolak untuk kuenyahkan. Ia bahkan kini selalu terbawa ke mana pun aku pergi. Terkadang aku bertanya-tanya. Apakah aku gagal melupakan Diah? Perempuan itu, meski aku tak pernah melihatnya lagi, tak pernah mendengar kabarnya, tetap setia membuntutiku. Ia hidup di dalam kepingan-kepingan memori dan aku terjerat dalam dunia kenangan bersamanya. Ia demikian dekat dalam dunia khayalan, namun begitu jauh di dunia nyata. Ia milikku dalam dunia imajinasi, tapi tak tergapai di dunia fisik. Aku terjebak dalam angan-angan sendiri dan tak kuasa untuk pergi. Aku ingin terbebas tapi segenap jiwa dan hatiku tak mampu. Berdamai dengan keadaan menjadi satu-satunya hal tersisa yang bisa kulakukan.
Aku menutup buku itu dan memasukkannya ke dalam tas. Kusesap kembali gelas berisi cairan kopi hangat di hadapanku. Mataku menyisir ke sekeliling. Dari kejauhan, beberapa wajah familier berjalan mendekat. Aku berdiri menyambut mereka.
“Assalamu’alaikum, warga London.” Wika mengucap salam sembari memberi pelukan hangat padaku.
“Wa’alaikum salam, warga Edinburgh,” jawabku ramah menyambut pelukan sahabat lama yang sudah seperti saudara itu.
Pelukan kami berakhir dan aku menoleh pada sosok perempuan jelita yang datang bersama Wika. Kepada perempuan itu, aku menelungkupkan kedua tangan. “Assalamu’alaikum, Emi.”
Perempuan itu balik menelungkupkan tangan. “Wa’alaikum salam, Mas Damar.”
Sampai detik ini, aku masih mencoba membiasakan diri ketika bertemu istri Wika itu. Sebagai perempuan yang dididik di pesantren semenjak masih belia, Emi sangat menjunjung tinggi ajaran untuk tidak bersentuhan dengan laki-laki selain suami dan mahramnya.
Wika menikahi Emi tak lama selepas menyelesaikan kuliah dari Universitas Pembaharu. Aku dan Dino menghadiri resepsi pernikahan mereka yang digelar di Kota Mojokerto. Meski menikah atas dasar perjodohan, rumah tangga Wika dan Emi berjalan harmonis. Mereka selalu nampak bahagia. Dari cara mereka menatap satu sama lain, aku dapat melihat dalamnya rasa cinta yang mereka pancarkan. Sepertinya ungkapan “witing trisno jalaran soko kulino” yang dulu kerap diutarakan Wika terjadi nyata di kehidupan pernikahannya. Pernikahan itu telah membuahkan seorang putri cantik nan imut berumur satu tahun yang kini menggelendot di pelukan ibunya.
Aku mengambil sebuah bingkisan dari dalam tas dan menyerahkan bingkisan itu kepada buah hati Wika dan Emi.
“Ini hadiah spesial dari Om Damar untuk dedek Khodijah,” ucapku seraya tersenyum. Putri kecil itu menerima bungkusan dariku dengan wajah semringah.
“Ayo duduk,” ucapku mempersilakan para tamu yang baru datang. “Bagaimana perjalanan dari Edinburgh?”
“Aman,” jawab Wika. “Kami tadi naik bus. Jadi butuh sekitar enam jam untuk sampai di sini.”
“Mau pesan makan sekarang?”
“Nanti saja, menunggu rekan kita yang satunya.” Usai mengucapkan itu, mata Wika membesar. “Nah, itu dia datang.”
Pandanganku langsung tertuju pada sesosok pemuda yang berjalan ke arah meja kami. Aku tersenyum kecil melihat tampilannya. Gaya pakaian pemuda itu kasual namun tetap modis. Badannya semakin tegap dan kulitnya bertambah putih. Rambutnya kini dicat pirang. Jika tak memperhatikan dengan saksama, aku pasti sudah mengira bahwa ia adalah aktor Hollywood yang tengah berjalan sore di tengah-tengah Kota London.
“Hello, guys,” ucap Dino sembari membuka kacamata hitamnya.
“Yang mengeluarkan ide berkumpul, malah dia yang datang terlambat,” sindirku.
“Sorry guys, cuma gue yang dari negara lain sendiri di sini, secara gue, kan, dari Paris. Jadi wajar, dong, kalau terlambat dikit.”
Dino lantas memelukku dan Wika secara bergantian sebelum menelungkupkan tangan di hadapan Emi. Ia nampak masih canggung dengan cara menyapa antar lawan jenis secara islami itu. Dino lantas mencubit gemas pipi si kecil Khodijah dan memberinya sebuah bingkisan dari dalam tasnya. “Oleh-oleh dari Paris. Om Dino kasih khusus spesial buat kamu, sayang.” Kembali wajah imut Khadijah bersemu bahagia.
Acara reuni resmi dibuka. Kami menggelar makan sore bersama sembari bercerita keseharian kami di tempat masing-masing. Meski baru semester awal, Wika sudah sibuk dengan berbagai tugas dari University of Edinburgh. Ia juga harus membagi waktu antara kuliah dan keluarga.
Satu bulan di Eropa, Dino sudah berkeliling ke berbagai negara. Ia melakukan itu di kala akhir pekan sebagai kompensasi atas banyaknya tugas yang harus dikerjakan dari Sorbonne University. Sama seperti diriku, Dino menerima sponsor dari pemerintah Indonesia untuk menyokong studinya di kampus itu. Hal ini berbeda dengan Wika yang memperoleh beasiswa Chevening dari pemerintah Inggris.
“Dino, apakah kamu bahagia hidup di Paris?” tanya Wika di sela perbincangan.
Dino menegakkan badan. “Oui.[1] Gue kuliah di kampus impian gue. Setiap hari, gue menjalani kehidupan yang menyenangkan di sana. Jadi, gimana gue nggak happy?” Dino melirik ke arahku. “Yang nggak happy itu si Damar. Meski sudah berhasil ke London, tapi dia belum berhasil move on dari cewek pujaannya. Padahal jelas-jelas cewek itu sudah menikah dengan orang lain.”
Pernyataan Dino memancing mulutku untuk angkat bicara. “Oh come on, masih banyak topik lain yang lebih menarik untuk diperbincangkan.”
“See? Dia selalu menghindar kalau kita udah nyinggung masalah itu,” timpal Dino.
“Bukan begitu,” sanggahku.
“Di London ini, kan, banyak mahasiswa dari Indonesia yang cantik. Masa nggak ada yang menarik perhatianmu, bro?”
Mulutku terdiam. Aku tak berselera meladeni omongan Dino.
“Mas Damar.” Tiba-tiba Emi bersuara. “Saya punya banyak teman perempuan yang masih single. Kalau Mas Damar berminat, bisa saya kenalkan.”
“Nah, itu. Tawaran menarik, tuh. Temannya Emi pasti perempuan-perempuan solihah, bro. Cocok buat lu,” sambar Dino.
Aku menelungkupkan tangan dan tersenyum. “Saya sangat menghargai tawaran Mbak Emi. Tapi, untuk sekarang tidak dulu. Terima kasih.”
“Yah … peluang bagus disia-siain. Jangan menutup diri seperti ini terus, bro. Lu harus melangkah maju. Jangan mengingat-ingat terus masa lalu,” cetus Dino.
“Iya, iya.” Aku mengangguk terpaksa.
Melihat keenggananku, Dino mengalihkan topik pembicaraan. “Baiklah, untuk merayakan pertemuan ini, mari kita bersulang.” Dino mengangkat gelasnya. “Pertama, untuk kesuksesan Wika berkuliah di University of Edinburgh.”
Aku ikut mengangkat gelasku. “Untuk kesuksesan Dino belajar di Sorbonne University.”
Wika kemudian menjunjung tinggi-tinggi gelasnya. “Dan untuk kesuksesan Damar berkuliah di University College London.” Ia lantas menoleh pada istrinya. “Umi, ada yang mau dikatakan?”
Mendapat tawaran itu, Emi seketika mengangkat gelasnya. “Semoga kita semua selalu sehat dan diberikan jalan oleh Allah untuk meraih semua impian dan cita-cita, Amin.”
“Amin.” Serentak kami berucap.
“Cheers!!!!” lanjut Dino.
Aku, Wika, dan Emi seketika mengikutinya. “Cheers ….”