Bangunan dengan sentuhan jiwa
suara-suara riuh indah ketika,
orang mendengarnya.
Menjadikan gaya tarik,
untuk menjadi penghuninya.
Kiai Haji Fayyadh Ali kata Emak Tata. Emak Tata pernah bilang sebelumnya kalau Kiai Fayyadh Ali, terkenal dengan kealiman dan tirakatnya. Pesantren yang diasuh oleh Kiai Fayyadh Ali lah tempat Tata nyantri. Emak Tata dan Tata melanjutkan untuk mencari lokasi pesantren itu. Melalui jalan yang berkelok-kelok di pedesaan. Disekelilingi suara-suara teriakan anak kecil sambil berlarian di jalan. Sampailah mereka di suatu tempat, dengan halaman yang megah, dan pagar masih dengan bambu hasil rangkaian tangan manusia. Terlihat nama pesantren yang tertempel di dinding kayu warna hijau Pondok Pesantren Al-Ihsan Jepara.
Melihat salah satu bangunan itu seperti musholla desa pada umumnya. Dengan penghuni muda-mudi dengan memakai pakaian khasnya sarung dan baju koko putih sedang melaksanakan solat Dhuha di Musholla. Musholla tersebut biasa disebut oleh santri dengan sebutan Langgar Pesantren. Halaman yang luas, dan di sisi tanah pojok ada rumah zaman kuno yang terbuat dari kayu dengan hiasan oleh pintu gebyok yang indah dan mampu membuat pandangan langsung tertuju pada pintu itu.
Seorang santri putra sedang melewati Emak Tata dan Tata dengan mengucap, “Nderek langkung.” Sepertinya juga akan masuk ke musholla. Emak Tata memberhentikannya untuk tanya kediaman pak Kiai. Emak Tata bertanya, “Nang, rumahnya pak Kiai dimana ya?”
“Ouh njhe, Buk. Niku griyo pojok, ingkang wonten gebyok ipun.” Jawab santri tersebut. Emak Tata dan Tata segera menuju ke ndalem yang sederhana itu.
Pintu gebyok yang sangat bersih, tanpa debu yang menempel. Lantai yang dingin dan suasana tenang dengan gemerciknya suara air seperti suara air aquarium. Kemudian Emak Tata mengucap salam yang tidak begitu keras, takut kalau salamnya salah. Emak Tata yang tidak pernah mondok, takut salah dengan akhlaknya yang tidak sesuai dengan berakhlaknya santri. Jadi Emak Tata berusaha belajar demi putrinya. Salam pertama belum terjawab. Emak Tata mecoba salam kembali.
Salam ke dua terjawab oleh suara laki-laki dari belakang korden. Sosok laki-laki itu kemudian memunculkan dirinya di balik korden. Dan bertanya. “Ajeng kepanggeh sinten njhe?” Tanyanya dengan sopan dengan bahasa krama.
“Ajeng kepanggeh Pak Kiai.” Jawab Emak Tata, menyepadankan bahasa krama laki-laki itu.
Kemudian laki-laki itu mempersilahkan duduk Emak Tata dan Tata di ruang tamu yang beralaskan karpet motif warna silver. Selang waktu sebentar datanglah seorang ibu-ibu yang mungkin sudah berusia tua yang berpenampilan sederhana, anggun dan cantik.
Ibu itu mempersilahkan minum pada Emak Tata dan Tata. Sepertinya itu Bu Nyai. Kata hati Emak Tata. Sebelum memulai menitipkan Tata di Pesantren, Emak Tata bertanya ke Bu Nyai, ”Bu Nyai, Pak Kiai wonten? niki kulo ajeng nitipaken putri kulo nyantri ten mriki.”
“Ngapunten, Pak Kiai nembe istirahat. Kale kulo mawon mboten nopo-nopo.” Kata beliau dengan halus dengan dilanjutkan menjelaskan tentang pesantren kepada Emak Tata dan Tata.