Berbudi luhur dan
tertunduk,
memiliki tekad di hati
apa arti dari impian.
Ingatlah dawuh gurumu.
Mbak Nadhira sedang bicara dengan Abah Yai dengan keadaan tertunduk. Santri mempunyai adab yang begitu indah ketika mengerti siapa lawan bicara. Jika lawan bicara adalah orang yang berilmu maka sami’na waato’na[1]. Jika lawan bicaramu kurang berilmu, maka bijaksanalah. Seperti halnya Mbak Nadhira sedang diposisi sami’na waato’na.
Tata melihat Mbak Nadhira begitu sopan. Tata tidak salah memilih idola Mbak pondok Mbak Nadhira.
Siang ini Tata tidak seberuntung hari-hari kemarin. Tata mengalami kegagalan yang tidak disangka-sangka akan dihadapi seperih ini. seperti menelan sebuah jarum pentol di dalam tenggorokan. Ceritanya juga tidak bisa ditebak. Tadi siang saat di Muhadhoroh Tata disuruh membaca kitab gundul Ustadz Udin, tanpa ada makna dan harokat. Semua teman Tata terdiam, ketika Tata mulai membaca lumayan bisa terkendali, saat di tengah-tengah membaca ada ketukan salah pembacaan dari Ustadz. Setelah diingatkan lagi Tata masih melanjutkan membaca dan salah lagi dan lagi sampai lima kali.
Semua teman-teman Tata heran padanya. Biasanya Tata tidak seperti ini. Ustadz pun berkata.
“Sudah cukup Ta. Lanjut Nawa yang baca.”
Sepertinya Tata memang gagal kali ini. Tata tertunduk menahan malu karena tidak bisa membaca dengan lancar. Tata mendengarkan pembacaan kitab yang dibaca oleh Kang Nawa. Ia membaca dengan irama yang enak didengar dan sesuai. Kang Nawa begitu lancar, sampai-sampai ustadz memberikan pertanyaan tambahan untuknya. Kang Nawa pun tetap bisa menjawabnya dalam keadaan cepat dan nada yang santai.
Betapa malunya Tata, tidak bisa di depan Ustadz Udin. Ustadz Udin adalah putra kiai dari pesantren sebelah. Ustadz Udin, tidak mau dipanggil Gus. Para santri pun menuruti beliau. Selain itu beliau juga terlihat garang, tapi penuh kasih sayang dengan para santri.