Jangan pernah
berhenti untuk belajar,
tarik nafas
hembuskan perlahan.
Ringankan pikiran,
mari rasakan.
“Aku sudah dewasa Nabil, aku punya masa depan. Masa lalu biarlah berlalu. Itu sudah cukup buat pembelajaran bagiku.” Lanjut kata Tata yang mungkin membuat Nabil menunggu penasaran.
“Serius banget Ta, aku hanya bercanda. Siapa tahu kamu ingin tahu kabarnya. Kalau kamu ingin tahu kabarnya. Aku tahu kok. Memang si, kisahmu itu agak aneh.”
Tata hanya diam. Dia tidak mau mengungkit itu lagi. Tata hanya perlu mengalihkan pembicaraan. Tata dan Nabila kebetulan mengambil jurusan yang sama. Pendidikan Agama Islam menjadi pilihan Tata. Begitupun Nabila. Padahal mereka berdua tidak ada perjanjian dalam memilih jurusan. Tiba-tiba saja ketemu dengan manusia yang aneh juga tapi perhatiannya begitu dahsyat dengan orang-orang disekitarnya.
“Ta, nanti main kerumahku ya.” Ucap Nabila dengan mengalihkan pembicaraan yang tadi telah diungkitnya.
“Maaf bil, aku di pesantren hari ini sedang ada kegiatan. Jadi tidak bisa. Lain kali saja ya.”
Di hari senin, Tata pertama kuliah. Hari-hari kemarin telah melewati ospek mahasiswa baru selama 3 hari. Untuk mengetahui lebih tentang kampus besar yang berada di kota yang sederhana ini. UNISNU Jepara itulah nama kampus Tata. Walaupun masih satu kota dengan pondok pesantren dan rumah, Tata tetap semangat dalam belajar. Karena memang itu pilihan Tata sebelumnya.
Sebelumnya Tata sempat kebingungan mau kuliah dimana. Tata punya prinsip pada dirinya. “Jika aku bisa berkembang dalam segala hal tentang ilmu, maka aku akan bertahan. Jika aku tidak bisa berkembang dalam segala hal tentang ilmu, maka aku akan berpindah.”
Tata sudah membuktikan kalau dia bisa berkembang dengan bertahan di pesantren. Semangat Tata bertambah walaupun dia sempat kebingungan. Orang tua Tata, tidak memperbolehkan kalau Tata kuliah di luar kota.
Menetap membuat Tata yakin akan hati yang gelisah. Menghadapi segala apa yang ada di depan dengan hati yang tenang. Di bawah sebuah kipas yang berputar, melihatnya dengan tatapan mengikuti arus berputarnya kipas angin. Dinginnya tidak sedingin AC yang dihidupkan. Berpikir lagi, Tata pasti bisa membagi waktu. Dari tugas kuliah dan juga tugas di pondok pesantren. Dengan dekapan kitab kuning yang ada di dadanya bahkan tidak terbaca karena Tata kebanyakan berpikir. Ternyata dewasa itu seperti ini, ada pilihan yang harus dipilih untuk melanjutkan hidup selanjutnya.
Siang ini terik panas matahari begitu menyengat. Membuat tenggorokan ini rasanya haus berkali-kali. Waktu dzuhur adalah waktu istirahatnya para Mahasiswa untuk salat dan istirahat sebentar. Tata mengikuti Nabil, ternyata Nabil mengajaknya ke kantin untuk makan. Tata membuka tas, dan melihat isi dompetnya. Ternyata uang yang ada di dompetnya setelah ia hitung tidak cukup untuk membeli makan di kantin.
“Bil, aku tidak ke kantin dulu. Sepertinya aku ingin cilok yang ada di depan kampus.” Dengan alasan seperti inilah Tata bilang ke Nabila untuk mencukupkan uang yang ada di dompetnya. Baiknya lagi, Nabila mengikuti kata Tata untuk beli cilok dan satu kantong plastik es teh beserta sedotannya. Waktu makan cilok, Tata merasakan kembali pada waktu Madrasah Aliyah. Ternyata rasanya seperti ini mahasiswa tidak punya uang. Tata tetap santai karena sepulangnya kuliah, Tata mau mampir ke rumah minta uang saku ke Emaknya.
Alhamdulillah rasa kenyang ini mencukupi. Tata dan Nabil melanjutkan salat dzuhur di masjid kampus. Pemandangan kali ini dilihat dari mata Tata. Serentaknya para mahasiswa untuk salat. Ada yang mengantri mukena, ada yang asyik dengan hp nya, ada yang mengerjakan tugas, dan juga ada yang dandan.
Ketika waktu menunjukkan untuk masuk jam mata kuliah berikutnya, Tata, Nabila dan teman-teman yang berhubung satu kelas. Menuju ke anak tangga yang begitu banyak. Karena memang kelas Tata ada di lantai empat.
Sampai di atas, Tata merasa lapar lagi. Karena tenaga sudah terkuras. Mungkin ini caranya agar nanti di kelas tidak mengantuk di jam rawan ngantuk.
Tata melihat kursi-kursi belakang sudah penuh ditempati oleh teman-teman Tata. Walaupun ada tempat kosong satu kursi di belakang, Tata lebih memilih duduk di kursi terdepan. Kursi belakang bagi Tata adalah tempat yang membuat ia tidak fokus. Walaupun ia duduk terdepan, rasa kantuk pada diri Tata pun tidak bisa hilang. Mungkin sudah ke bawa dari pesantren. Jadinya mengantuk. Tata sempat memejamkan mata. Tiba-tiba teman dari belakang membangunkan tidur yang singkat itu. Ruangan yang ber AC dan bapak dosen yang baik hati. Sampai-sampai Tata tertidur di posisi terdepan. Pastinya bapak dosen tahu kalau Tata sedang tertidur.
Bapak dosen memberikan evaluasi tentang materi kuliah pada hari ini. Semua teman-teman terangguk-angguk agar cepat untuk pulang. Kemudian semua teman yang stau kelas dengan Tata serentak keluar ruangan.
Pukul 13.30 mata kuliah telah selesai. Ada waktu untuk pulang sebentar untuk meminta uang saku pada emak. Hanya perjalanan 3 menit saja Tata sudah sampai rumah.
Rumah yang hampir genap 6 tahun ini hanya menemaniku dalam hitungan jam dan menit. Setelah mengetahui dunia pengabdian di pesantren itu penting. Sampai pulang ke rumah pun hanya sebentar.
Bapak Tata yang sedang sibuk dengan dunia pertukangan dan emak Tata yang sibuk mengurusi pesanan yang akan diangkut di bak kontainer. Tata meyakini kalau Emak Tata sedang ada uang. Ini rezeki Tata.
Emak Tata menatap Tata dari depan pintu kamar. Salam tak lupa diucapkan Tata walaupun pegawai bapak dan emak Tata yang banyak. Mereka serentak menjawab salam. Emak menjawab salam dengan berjalan menyambutku.
“Ta, kamu tidur di rumahkan?” Emak Tata dengan ekspresi penuh harap kalau putrinya akan tidur di rumah.
Tata yang kebingungan mau menjawab apa. Takut kalau jawaban Tata membuat emak Tata kecewa. “Maaf mak, Tata tidak bisa tidur di rumah. Di pesantren hari ini ada ngaji.”
Emak Tata memaklumi Tata yang sekarang mencintai ngajinya dan pendidikannya.
“Makan dulu sebelum kembali ke pesantren. Jangan lupa pulang nduk, ini rumahmu. Emak juga kangen sama kamu.” Emak Tata dengan menyiapkan sayur-mayur sup di piring dengan berkata seperti itu di depan Tata. Tata hanya tersenyum. Dengan lahapnya Tata menyantap sup buatan emaknya. Emak Tata yang mengamatinya dan memikirkan kangen Tata kecil. Kalau sudah waktunya pulang satu bulan sekali, pasti Tata semangat pulang.
Dengan mengacungkan jempol ke emaknya, Tata berpura-pura tersenyum. Padahal dirinya sangat ingin pulang, berkumpul keluarga. Tapi ada amanah lain yang harus diselesaikan.
Setelah habis makanan yang dimakan Tata, ia meminta uang pada emak. Karena uang Tata hampir habis. Emak Tata memberikan uang saku yang lumayan banyak. Tata pun tersenyum senang.
Dalam hitungan menit, Tata sampai pondok dengan rasa lelah. Tiba-tiba ada panggilan dari pintu pesantren. di balik pintu itu pasti antara ada tamu atau kang pondok yang memanggil. Tata segera beranjak ke pintu. Tidak di sangkanya saat itu Kang Nawa yang berdiri.
“Pas sekali Mbak Ta, kepanggeh sampean.”
“Pripon, Kang?” Tata bertanya.