Dimana kamu berpijak
bahkan melayang,
jangan lupa tempat
kembali pulang
Melihat bapak yang duduk, seakan-akan memberikan kabar gembira buat Tata. Mendekatlah Tata ke arah bapak dan mencium tangan bapak. Kemudian Tata duduk di sebelah bapak sembari menunggu kalimat yang akan dibicarakan bapak kepada Tata.
Bapak hampir saja membuka mulut, tapi tidak jadi. Tata menatap mata bapaknya. Ada serpihan air yang masih menggenang di mata. Apa yang terjadi?
“Emakmu gugat cerai ke bapak Nduk, kamu pulang sebentar ya. Agar Emak tidak jadi cerai sama bapak.” Suara lirih keluar dari mulut bapak. Perasaan yang tidak bisa dipendam. Di mana orang tua harus lari ke anaknya. Terutama Tata yang sudah menginjak dewasa ini.
Di usianya yang menginjak 21 tahun, Tata belajar menyikapi sebuah keputusan pada dirinya. Termasuk yang dihadapinya sekarang.
“Njhe pak, besok Tata pulang. Kalau sekarang masih ada pekerjaan yang belum selesai di pesantren.” Tata dan bapak terdiam lama. Sebelum bapak Tata pamit pulang, bapak tidak berkata-kata lagi. Memang harapannya adalah Tata pulang.
Setelah Tata melihat bapaknya melaju dengan sepeda, ia tidak tega melihat orang tuanya sedang diuji sebesar ini. Tata melangkah pelan dan berpikir. Jika orang tuaku pisah apakah kisahku akan hancur? sesampainya di kamar, Tata menangis.
Laila teman satu kamarnya Tata melihat kalau Tata sedang menangis. Mendekatlah Laila dan menenangkan Tata.
“Ta, kamu kenapa?”, tangan Laila mendekat dengan mengelus-elus punggung Tata. Tata terdiam, dan minginjakkan kaki pergi. Laila membuntuti kepergian Tata. Ternyata Tata hanya pergi ke kamar mandi. Mungkin untuk menuangkan air mata. Laila tahu kalau Tata tidak suka menangis di depan orang banyak. Bagaimanapun Tata tidak ingin memperlihatkan kesedihannya di depan orang.
Kembalilah Tata ke dalam kamar. Lalu dia membuka almarinya. Diambilnya sebuah buku dan bolpoin. Laila yang dari tadi menderas bacaan Al-Qur’an, Tetap memantau apa yang akan di lakukan Tata.
Tata melihat Laila dengan senyum. Laila pun berhenti dan ingin menanyakan hal tadi yang membuat Tata menangis. Tapi Laila tidak mau mengungkit yang tadi, takut kalau Tata nanti menangis lagi dan bahkan marah. Akhirnya Laila memutuskan melanjutkan menderas Al-Qur’annya. Sedangkan, Tata sibuk menulis. Entah apa yang ditulisnya. Berjarak 20 menit, dilihatnya Tata oleh Laila. Tata tertidur pulas dengan buku yang di dekapnya.
Dalam hati Laila berkata “Tumben sekali Tata tidur pukul 07.45.”
Kegiatan di pondok pesantren, tidak menjadi penghalang untuk mengerjakan tugas kuliah Tata. Ketika ada kegiatan, Tata tetap ikut. Di akhir kegiatan Tata selalu memberikan wejangan motivasi kepada teman-teman dan adik-adik santri putri.
Setelah kegiatan selesai, biasanya teman-teman kamar Tata berbincang-bincang, bahkan sering membicarakan orang lain. Tata hanya lewat. Saat itu pembicaraan sedang panas-panasnya tentang Kang Nawa. Akhirnya berhenti dan Tata sedikit menguping tentang Kang Nawa.
Kang Nawa yang bagi Tata berbeda dengan teman-temannya. Itulah alasan Tata menaruh harapan pada Kang Nawa. Harapan itu hanya lewat, bahkan bisa jadi harapan itu tidak kenyataan. Apakah Tata akan kecewa?
Tata berhenti untuk mendengarkan tentang Kang Nawa dengan membereskan barang untuk Tata pulang besok. Mungkin membutuhkan waktu dua hari Tata pulang.
Adzan subuh yang dikumandangkan dengan merdu. Pemilik suara yang menggetarkan seisi pesantren. Gemercik air yang digunakan untuk berwudhu. Langkah kaki yang berbondong-bondong menuju mushola untuk solat berjamaah. Seperti inilah rutinitas pesantren di setiap subuh.
Pagi pukul 07.30 Tata menginjakkan kaki di ndalem. Salam yang di ucapkan Tata terjawablah dari bilik kamar dekat Tata duduk. Keluarlah Gus Ayyub dari kamar.
“Gimana Mbak?”
“Ajeng salim Ibuk, Gus.”
“Ibuk di dapur.”
Tata segera ke dapur. Di lihatnya ibuk yang sedang membuat lumpia cokelat. Ibuk pun melihat Tata. “Lho Mbak Ta. Kebetulan ibuk tadi mau nimbali kamu. Ibuk minta tolong belikan kulit lumpia di warungnya Pak No, ya."
Tata melaju dengan sepedanya sewajar kecepatan yang diaturnya. Hanya membutuhkan waktu lima menit. Tata sudah di hadapan Ibuk.
“Lho kok cepet.”
Tata tersenyum. Tata memang bakat dalam bepergian. Ketika pergi kemanapun, karena terbiasa naik sepeda motor. Jadi Tata merasakan cepat. Bukan seperti jet koster.
“Buk, kulo izin wangsol.”
“Owalah rencana tadi mau izin pulang, eh malah ibuk suruh. Ya udah Mbak Ta, pulango. Nitip salam kagem ibuk ya,”
“Njhe.”
****
Dalam perjalanan Tata membayangkan akan mendamaikan kedua orang tuanya. Dari berbagai kata yang dia susun. Dengan penuh semangat, pasti akan berhasil.
Akhirnya sampai rumah juga Tata. Bapak Tata menyambutnya, dan dalam benak Tata bertanya-tanya. Lantas emak di mana?
Adik Tata tidak ada di rumah. Ini bukan hari libur, pasti dia sekolah. Tata meletakkan barang-barang di kamar. Kemudian bapak berkata.
“Ta, ayo ikut bapak ke rumahnya mbah.”
“Wonten nopo Pak?”
“Nanti tahu sendiri.”
Rumah mbah, dekat dari rumah. sehingga hanya melewati tiga rumah. Melihat rumah mbah Tata yang di depannya terdapat toko dengan beraneka macam kebutuhan pokok sehari-hari. Semakin ke dalam tokoh, saudara-saudara bapak Tata berkumpul di sini. Semua keluarga dari bapak membahas tentang apa yang sedang terjadi antara Bapak Tata dan Emak Tata.
Apa yang dibicarakan saudara Tata, Tata hampir tidak menerima semua ini. Bahkan, penggugat penceraian adalah emak. Secara langsung, Tata harus bertanya pada Emak Tata. Tata menahan air yang ada di mata, berharap air mata itu tidak akan menetes. Semua orang yang ada di sekeliling Tata menyalahkan Emak Tata. Tata harus tahu semua ceritanya. Cerita dari pihak A adalah Bapak Tata dan cerita pihak B adalah dari Emak Tata. Tata harus bijak dalam permasalahan ini.
Suasana semakin mencekam, Tata hendak berbicara dengan menunggu waktu yang pas.
“Ngapunten, saya baru pulang. Saya belum tahu cerita sebenarnya. Cerita dari bapak baru saya dengar disini. Dan saya juga harus dengar cerita dari pihak Emak.”
Semua yang ada di ruangan belakang toko terdiam, Tata berusaha tegar dengan melihat mata saudaranya. Seperti akan ada kemarahan yang akan keluar.
“Ta, kamu tidak percaya sama bapakmu?” dengan nada tinggi adik bapak memarahi Tata.
“Bukan tidak percaya Pak Lek, tapi harus kuketahui.” Ucap Tata dalam keadaan air mata sudah mulai keluar.