Dampar Pesantren

Aviskha izzatun Noilufar
Chapter #17

#17 MELANGKAH BUKAN MEYERAH

Dua pilihan yang

harus kamu pilih,

memilih melangkah

atau menyerah.



Memulai cerita baru, dalam hidupku. Cerita ini ternyata hadir pada diriku. Tata berjalan dengan sepeda motornya dan menata hati “Tata harus ikhlas.”

Santri yang dikenal sebagai penghuni pesantren, tidak bisa dipisahkan dari kiai yang membentuk watak dan karakter. Mempertahankan kesantrian ketika sudah di rumah adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan. Tidak ada yang namanya mantan santri.

Keramaian, hilang dalam rumah kuning ini. Kuning dengan cerahnya,  kemewahannya, dan sifat netralnya. Tata tahu semua emoticon berwarna kuning. Akankah emoticon itu mewarnai rumahnya? jika iya, Tata harus menyiapkan mental untuk menghadapinya.

Bapak menunggu di depan pintu rumah, menyambut. Entah ini perasaan pulang yang bahagia atau tidak. Tata seperti sudah kehilangan rasa keduanya. Tangan menengadah mencium tangan Bapak. Tata masih berharap kalau Emaknya kembali ke rumah ini.

Memasuki rumah, melihat ruangan demi ruangan. Masih tersisa, tidak ada yang ikut pergi. Hanya mobil milik Emak Tata yang dibawa. Emak Tata hanya membawa itu saja. Sekarang Emak tidak punya rumah hanya mobil yang dibawa. Dengan bertempat tinggal di rumah Bude Tata.

Sudah lama Tata tidak dikamar ini. Mungkin ini sebuah peringatan untuk Tata kembali pulang. Dengan kamar disulap menjadi rapi, bahkan satu ekor semut pun Tata usir. Mungkin ini yang namanya trauma. Dulu ketika di pondok, almari Tata dibuat perkumpulan semut. Baju-baju Tata dikelilingi semut-semut sebegitu banyakanya. Julukan semut itu adalah semut datergen karena bau semutnya mirip dengan datergen. Kalau dihitung sudah 3 kali terjadi. Akhirnya almari Tata di pondok diberi garis kapur ajaib. Salah satu teman Tata pernah bilang ke Tata, “Baunya mirip datergen, mungkin baju kamu saat kamu cuci kebanyakan datergen Ta.” Lalu teman lain menyambung kalimat “kemungkinan besar itu.”

Malamnya Tata mendapat panggilan telephone dari Gus Sahal. Panggilan itu membuat ia bingung antara menerima atau menolak. Gus Sahal memberikan waktunya 5 menit untuk memutuskan. Setelah Tata diskusikan pada Bapak dan Emak. Akhirnya Tata menyetujui untuk pergi ke Solo untuk belajar ilmu baru untuk lembaga baru di bawah naungan pondok pesantren.

Dua bulan berjalan dengan cepat. Keputusan-keputusan yang Tata ambil, telah ia pelajari dengan serius. Tata memasrahkan hidupnya pada Sang Pencipta, Digdaya tanpa aji. Digdaya aji adalah satu sikap pasrah yang menganggap Allah adalah payung dan perisainya dari segala godaan dan pencobaan hidup yang dapat merubah ancasing gesang atau tujuan hidup. Juga membentengi dari segala kuasa roh jahat, kebencian, fitnah, sakit hati, kebodohan, dan juga marabahaya. Dalam sikap seperti ini orang tidak takut menghadapi berbagai persoalan, ancaman dan tantangan yang muncul. Sifat seperti ini dimiliki oleh seorang yang optimis, tidak mudah marah, bertingkah laku simpatik dan mempunyai keyakinan yang kuat terhadap kuasa Ilahi. Digdaya tanpa aji merupakan ajaran dari Drs. Raden Mas Pandji Sosrokartono kakak dari Raden Ajeng Kartini.

Tata di Solo belajar Desain Grafis untuk ia ajarkan kepada santri-santri yang telah lulus Madrasah Aliyah. Disitulah kursi Tata mengabdi di pesantren. Dengan mengajar Desain Grafis ia merasakan belajar kembali. Ternyata seperti ini mengajar dengan belajar.

Lihat selengkapnya