Pantas selalu berdetak
ternyata selalu dekat,
dengan mencintai diri untuk
menemukan yang tepat.
Ia mencintai Tata dengan perjuangannya, Tata mencintai ia dengan perjuangannya. Menemani Tata di setiap perjalanan dalam impiannya dengan buku-buku dan orang-orang yang mencintai buku. Membedah buku yang Tata tulis dan memberikan sepatah kalimat untuk perjuangan di depan audiens yang begitu banyak. Kemudian Tata memperkenalkan suaminya dengan bahasa kasih sayang. Tata berkata "Di bab akhir dalam buku saya, itulah cerita saya dan suami saya bertemu. Kami sama-sama berjuang untuk ilmu." Kemudian Tata dan suaminya kembali ke kota asal mereka dengan menaiki pesawat terbang, ini kali pertama Tata dan suami menaiki pesawat. Tata menyandarkan kepalanya di pundak suaminya, ia menangis dan mengatakan, "Mas, matursuwun njeh. Sudah mau berjuang bersama."
Tersenyum dengan kejaman mata, ternyata Tata hanya bermimpi. Ia melihat jam menunjukkan pukul 03.00, ia tidak sadar kemudian melanjutkan tidur dengan mimpinya. Apakah masih sama?
Adzhan Subuh berkumandang dari speaker samping rumahnya Tata dengan keras. Ia terbangun. Dan berkata "Ya Allah, tadi mimpi ya ternyata?" Salat subuh telah usai ia laksanakan dengan doa-doanya mengamini untuk mimpi yang seperti nyata tadi.
Saat mengendarai sepeda motor, ia senyum-senyum sendiri dan penasaran dengan suaminya. "Siapa laki-laki tadi ya, wajahnya tidak jelas tapi berkarisma. Seperti mengenalnya dan pernah bertemu."
Di Madrasah, Tata menjalankan tugasnya seperti biasa mengajar, membuka laptop, dan pekerjaan lain yang harus di kerjakannya.
Dua minggu berjalan, sekian lama Tata belum berlibur sendiri. Ia mengagendakan untuk pergi ke kota Kudus mencari buku yang diincarnya sejak lama. Melewati perkampungan di siang yang terik ini. Sepeda anak beralalulalang untuk pergi kesekolah. Dari kejauhan jalan penglihatan samar, kacamata Tata masih blur. Ada seorang laki-laki berkacamata ia membantu seorang anak yang hendak pergi ke sekolah TPQ, ia membenahi rantai yang lepas dan sepertinya sudah ia coba berkali-kali. Tata akhirnya berhenti dan menawarkan bantuan.
"Kang, bisa di bantu?" Tata menawarkan, kebetulan ia ahli dalam memasang rantai.
"Ouh iya," laki-laki itu terheran melihat Tata, menyangka apakah perempuan bisa membenahi rantai yang putus?"
"Mbaknya bisa?" laki-laki itu bertanya pada Tata, untuk meyakinkan kalau dia bisa.
"Insyaallah bisa. Permisi, Kang." Tata menuju ke sepeda dan mulai mengotak-atik rantai tersebut, sedangkan laki-laki tersebut jongkok dengan anak laki-laki yang hendak sekolah dengan melihat Tata yang sedang membenahi.
Tata dengan mengotak-atik rantai tersebut, ia bertanya pada adek tersebut. "Adek, sekolahnya masuk jam berapa?"