Tak ada yang pernah tahu bagaimana kita akan bertemu. Pertemuan adalah ruang rahasia dengan pintunya sendiri-sendiri. Setiap membuka satu pintu, aku tak dapat menduga apa yang akan aku temui di baliknya.
Pernah dalam sebuah film, sepasang suami istri dipertemukan dalam sebuah penjara. Mereka sama-sama terpidana. Pun dalam sebuah sinetron yang tak sengaja kutonton, sepasang kekasih dipertemukan dalam relasi seorang majikan dan pembantunya. Ada lagi dalam sebuah novel, dua orang sahabat dekat dipertemukan di sebuah rumah sakit jiwa, karena mereka sama-sama gila.
Dalam ceritaku ini, aku dipertemukan dengan seseorang dengan cara yang mencengangkan. Sebuah kecelakaan terjadi di depan mataku. Dua kendaraan terlibat adu kambing. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menyalip dengan mengambil badan jalan milik arah yang berlawanan. Sementara dari arah yang berlawanan melaju sebuah sepeda motor. Pengendara motor itu terpental seketika. Ia terlempar dari motornya hingga ke pinggir trotoar tak jauh dariku. Helmnya terlepas. Seorang gadis. Rambutnya tergerai tak beraturan.
Aku segera mendekat untuk lebih memastikan keadaannya. Dan kulihat darah telah melumuri wajahnya. Matanya masih membuka dan menutup. Bibirnya bergerak seperti hendak mengucapkan sesuatu. Tanpa banyak kata, aku dan beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu segera membopongnya ke dalam mobil yang sudah suka rela berhenti untuk bisa ikut membantu. Kami membawanya ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, ia langsung dibawa ke ruang perawatan IGD. Salah seorang dari kami berdialog dengan dokter yang menanganinya. Aku tak mendengar apa yang mereka bicarakan. Setelah selesai bicara, Dokter berkata kepada kami semua, “Saya butuh setidaknya satu orang di sini untuk menunggui pasien sampai keluarga yang bersangkutan datang.”
Seperti sebuah kesepakatan, aku yang ditunjuk. Alasannya aku paling muda.
“Kami sudah menghubungi keluarganya,” kata Dokter, “mohon untuk tinggal sejenak, paling tidak, nanti ketika keluargannya sudah datang, ada seseorang yang bisa menceritakan kronologis kejadiannya,” perjelas Dokter.
Aku mau tak mau bersedia. Lagi pula, sebenarnya aku sangat khawatir pada keadaan gadis yang bahkan tak kukenal itu. Aku teringat pada wajahnya yang berlumuran darah. Mengerikan. Siapapun dia. Aku harap dia baik-baik saja dan bisa pulih seperti sedia kala.
Setelah sekitar hampir tiga jam aku menunggu, seorang lelaki dan perempuan paruh baya, datang tergopoh-gopoh dengan air muka panik. Aku tebak mereka adalah orang tua si gadis. Yang perempuan, menangis sesenggukan, tanpa berkata apa-apa. Sementara yang laki-laki tampak lebih tenang, meski jelas sekali kekhawatiran menggenang di wajahnya.
Setelah mendengar penjelasan dokter, mereka duduk di sebelahku. Mereka menyalamiku dan mengucapkan terima kasih.
Tanpa diminta, dengan sangat pelan perlahan, aku menceritakan peristiwa yang terjadi, yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Mendengar pemaparanku, mendengar bagaimana kondisi anak gadisnya, tubuh mereka lunglai. Sekitar satu jam berikutnya, kami masih terduduk di kursi tunggu dengan kondisi hampir basi. Sebenarnya, aku ingin mohon diri, namun entah kenapa, melihat kedua orang tua itu aku tak sampai hati. Di luar itu—entah mengapa, aku juga ingin tahu bagaimana kondisi gadis itu paska kejadian. Apakah ia baik-baik saja? Atau mungkin ada sesuatu yang bisa kulakukan untuknya. Karena masih ingin menunggu kabar dari dokter, aku menelpon kantor dan Mama di rumah, bahwa mungkin aku akan pulang telat. Kubilang, seorang teman mengalami kecelakaan dan aku harus menungguinya.
Mungkin yang kulakukan terlalu naïf. Aku tak kenal dengan gadis itu, tapi aku begitu setia menemani keluarganya. Di sela-sela waktu menunggu, sekilas kami berbincang. Berbasa-basi tentang nama, alamat, pekerjaan, hingga akhirnya seorang dokter menghampiri kami. Dokter itu meminta kedua orang tua gadis itu untuk ke ruangannya. Namun, salah seorang dari mereka menoleh ke arahku lalu bertanya pada dokter itu, “Apa kami bertiga boleh masuk?” Sang Dokter pun mengangguk.
Suasana ketegangan menyelimuti kami. Dokter itu menjelaskan bagaimana keadaan gadis itu. Kami mendengarkannya dengan seksama. Sang ibu menangis lagi, sementara suaminya memilih untuk meraih kepala istrinya dan menenggelamkannya ke dalam pelukan. Aku bungkam. Tak tahu harus urun kata apa.
Pada intinya, sang dokter mengatakan, bahwa gadis itu telah kehilangan banyak darah. Kepalanya terbentur sangat keras, dan ada kemungkinan ia mengalami gegar otak. Kakinya juga terluka cukup parah—ada goresan dan sayatan yang cukup dalam dan memanjang di bagian betis dan paha, meski tidak ada tulang yang patah, namun itu lebih dari cukup untuk membuatnya kehilangan banyak darah. Buruknya lagi, golongan darah gadis itu rhesus negatif. Rumah sakit sudah menghubungi PMI, namun stok untuk golongan darah O rhesus negatif kosong. Dokter itu bertanya tentang kemungkinan mereka berdua mendonorkan darahnya. Dua orang tua itu seketika diam dan saling tatap.
“Kami tidak bisa mendonorkan darah kami pada Eden,” kata ibunya.
“Memang tak mungkin, tapi kami akan berusaha mencarikannya, sampai dapat,” timpal sang bapak.
“Tapi, kalau tidak segera, yang kami takutkan…”
Sebelum Dokter menyelesaikan kata-katanya, bapaknya memotong, “Kami akan segera menelepon kerabat dan setiap orang yang kami kenal…”
Sang Dokter terdiam dengan raut pasrah.
Aku tak tahu apa alasan mereka tak bisa mendonorkan darahnya. Aku juga tak tahu apa andilku dalam situasi ini. Namun, tampaknya Tuhan sengaja membuat kecelakaan terjadi di depan mataku dan aku yang menungguinya. Tuhan tengah menyiapkan sebuah ladang amal untukku, tepat di hadapanku. Kebenaran—untuk tidak menyebutnya sebagai sebuah kebetulan, golongan darahku sama seperti golongan darah gadis itu, O rhesus negatif. Hal seperti ini tentu saja musykil terjadi, tapi itulah kenyataannya. Dan sebab itulah aku menyebutnya sebagai sebuah kebenaran. Maka, tanpa berpikir panjang, aku menyela, “Maaf... golongan darahku sama dengan golongan darahnya. Jika diperkenankan, saya bersedia diambil darah untuknya.”