Ketika aku terbangun, tenggorokanku terasa kering, mulutku sangat pahit, sendi-sendi tubuhku terasa ngilu, dan kepalaku berpusing hebat. Butuh waktu puluhan detik untuk menyadari bahwa aku tengah berada di sebuah ruang yang hampir semuanya serba putih: dinding-dinding, langit-langit, pintu, ranjang, bad cover, bantal, selimut… Sebuah selang infus menjulur dan berakhir di venaku. Baru kusadari, bahwa sebagian kepalaku dibalut dengan perban. Tak tahu berapa lama, rasanya aku seperti sudah tertidur panjang. Tertidur sangat pulas, dan bahkan tanpa mimpi.
Aku mengerjapkan mata. Dua sosok berada di depanku. Aku lihat Bapak dan Ibu. Mereka berdua tersenyum. Lalu mereka mengecup kepalaku bergantian. Sesekali mereka menggumamkan rasa syukur. Aku ingin bertanya, apa yang sudah terjadi padaku, namun tenggorokanku terasa sangat serak dan sepat. Ibu menyodorkan sebuah gelas lengkap dengan sedotan ke mulutku.
“Sebaiknya kau minum dulu,” ucapnya.
“Kau tenangkan saja dirimu dulu, buat dirimu senyaman mungkin, semua baik-baik saja,” tambah Bapak.
Seharian itu, mereka tak bicara banyak. Yang mereka lakukan hanya duduk di hadapanku, menyuapiku sup atau nasi berkuah, dan menanyakan apa-apa yang aku inginkan atau aku perlukan. Sedangkan aku lebih banyak tertidur.
Hari berikutnya, kondisiku membaik, jauh lebih membaik. Aku pun bertanya tentang apa yang terjadi. Mereka menceritakan kejadian yang menimpaku. Ketika Bapak menyebutkan kata ‘kecelakaan’, serta merta aku teringat mobil yang melaju kencang, mengambil badan jalan yang bukan arahnya. Suara klakson dari mobil itu... dan ah, aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Bapak dan Ibu ternganga ketika aku menceritakan hal yang kuingat. Baru aku tahu, tentang kemungkinan gegar otak yang menimpaku dan kemungkinan-kemungkinan yang pernah dikatakan dokter bahwa aku mungkin saja bisa kehilangan ingatan, seluruh atau sebagian. Namun, rupanya Tuhan berkendak lain, kepalaku masih normal, sangat normal. Aku merasa tidak ada hal-hal penting yang aku lupakan. Aku masih mengingat dengan baik siapa aku, keluargaku dan kasih sayang mereka terhadapku. Hanya saja kepalaku terbentur cukup keras hingga sampai detik ini rasa ngilunya masih terasa. Berdenyut-denyut. Selebihnya kepalaku bisa dibilang ‘baik-baik saja’. Dan aku tak amnesia.
Kemudian Bapak dan Ibu bercerita, bahwa saat kejadian, ada seorang malaikat yang datang menyelamatkanku. Malaikat itu adalah seorang pemuda bernama Wildan. Ia adalah salah satu orang yang mengantarku sampai ke rumah sakit. Ia juga yang menungguiku sebelum mereka datang dan menemani mereka sampai hari gelap. Lebih dari itu, ia adalah orang yang telah rela mendonorkan darahnya untukku.
“Bisa dibilang, kau semacam berutang nyawa padanya. Ada darahnya yang kini mengalir dalam darahmu. Semoga ia tidak sibuk supaya kalian bisa bertemu, supaya kau bisa berkenalan dan mengucapkan terima kasih,” kata Bapak.