Jam dinding menunjukkan waktu hampir pukul lima sore. Sebentar lagi jam kantor usai. Tetapi, aku terbiasa pulang setelah Maghrib atau menjelang makan malam. Pulang serentak dengan pekerja di seluruh kota sama saja menjebak diri di dalam kemacetan. Daripada emosi karena kendaraan yang merayap atau bahkan tak bergerak sama sekali, dibubuhi bising suara dan klakson kendaraan yang lain, lebih baik aku tetap di kantor—merapikan sisa pekerjaan hari ini atau menyiapkan apa yang hendak kukerjakan esok hari.
Kutatap layar komputerku, mengecek pesan-pesan yang masuk di surel. Tiba-tiba ponselku yang kuletakkan di meja bergetar. Aku sengaja tak menyalakan nada dering karena aku takut suaranya akan mengganggu. Aku pikir itu Mama, tetapi sebuah nomor yang tak kukenal yang tertera di layar.
Belum sempat aku bertanya, sebuah suara perempuan penuh semangat menyapa lebih dulu. “Halo, dengan Nak Wildan?”
“Iya, mohon maaf, kalau boleh tahu dengan siapa, ya?” tanyaku.
“Saya Ibu, Nak. Ibunya Eden, yang beberapa hari lalu mengalami kecelakaan.”
Aku segera mengingatnya. Pantas saja kok rasanya suaranya tak asing. “Oh, Ibu, apa kabar, Bu? Bagaimana keadaan Eden? Apa ia sudah siuman?”
“Syukur, puji Tuhan, ia sudah siuman, dua hari yang lalu,” jawab Ibu dengan sumringah. Aku bisa merasakan kebahagiannya lewat suara.
Aku menghela napas lega, “Bagaimana kondisinya sekarang, Bu?”
“Bisa dibilang ia baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kalau mengingat kemungkin-kemungkinan yang dikatakan dokter tempo hari, rasanya Ibu sendiri tak percaya Eden bisa pulih secepat ini. Kata dokter, ia hanya butuh waktu istirahat yang cukup untuk memulihkan keadaannya.”
“Syukurlah kalau demikian...”
“Oh, ya, maaf sebelumnya, kira-kira Nak Wildan sibuk tidak? Kira-kira, kapan Nak Wildan ada waktu luang?”
Aku berpikir sejenak. Apakah ini artinya Ibu akan mengajakku bertemu? Dan apa itu artinya aku akan bertemu dengan gadis bernama Eden itu?
“Nak Wildan... kok diam saja?” sapa Ibu.
“Emm, sekarang saya masih di kantor, Bu. Tapi sebentar lagi pulang. Ibu di mana sekarang?”
“Ibu masih di rumah sakit, Nak. Kalau Nak Wildan tidak berkeberatan, apa Nak Wildan bisa kemari? Sepertinya Eden mau mengucapkan terima kasih...”
Tanpa berpikir panjang, aku segera berkata, “Iya, Bu. Nanti setelah pulang dari kantor saya akan segera ke rumah sakit…”
“Santai saja. Tak perlu terburu-buru. Kami tunggu, dan sekali lagi terima kasih ya, Nak... Maaf, sudah banyak merepotkan.”
“Oh, tidak masalah.”
Setelah mengucapkan terima kasih untuk kesekian kalinya, perempuan itu menutup teleponnya. Aku tak tahu, mengapa aku begitu bersemangat untuk pergi ke rumah sakit dan bertemu dengan gadis bernama Eden itu.
Begitu jam kantor usai, aku segera menghambur ke tempat parkir dan untunglah, sore ini kemacetan tidak terlalu parah. Seakan alam tahu perasaanku yang tak sabar untuk bertemu dengan Eden. Aku pulang dulu ke rumah. Setelah mandi, aku mematut diri di depan cermin dan untuk pertama kalinya aku ingin menampilkan versi diriku yang terbaik di hadapan Eden yang belum kukenal.
“Mau ke mana lagi kau?” Mama bertanya menyelidik tepat begitu aku keluar dari kamar.
Aku terdiam, menatap Mama, tanpa kata-kata. Tatapannya begitu dingin dan pandangannya selalu menganggapku sebagai anak kecil. Tanpa menghiraukan pertanyaan itu, aku menyelonong keluar rumah dan langsung melesat ke rumah sakit dengan Xenia biruku, setelah sebelumnya sempat mampir ke toko buah untuk membeli oleh-oleh.
Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju kamar tempat Eden dirawat. Tiba-tiba aku merasa gugup. Hatiku bergetar ketika aku hendak mengetuk pintu. Tanganku juga gemetar ketika kuketuk pintu itu tiga kali.
Ibunya Eden yang membukakan pintu. Beliau menyambutku dengan seulas senyum paling binar. Ia langsung mempersilakanku menemui Eden yang tengah berbaring setengah duduk di ranjangnya.
“Eden, ini dia malaikat yang ibu ceritakan,” katanya berlebihan.
Mendengar perempuan itu menyebutku sebagai ‘malaikat’, aku semakin gagu. Gadis itu tersenyum. Ia lalu menjulurkan tangannya ke arahku.
“Eden,” ia menyebutkan namanya dengan pelan.
Aku menyambut jabatan tangannya, “Wildan,” kataku.
Senyum kami berdua bertabrakan, tetapi untunglah, tak ada luka yang lahir dari senyuman. Kemudian aku meletakkan parcel buah di atas sebuah meja di sebelah ranjangnya.
“Anda tak perlu repot-repot,” kata gadis itu.
“Ah, ini hanya buah...” jawabku.