Kau tahu...
Terkadang aku menganggap
Aku gila!
Berbicara sendiri
Marah sendiri
Tertawa sendiri
Menangis Sendiri
Bahkan melukai diriku sendiri...
Melanjutkan kembali ceritaku saat aku di Tanjung Pinang karena bagian inilah yang terpenting dalam hidupku. Sejak saat, kejadian itu aku menjadi orang yang tidak ingin mendengarkan apa yang dikatakan oleh Mamaku. Aku menjadi sangat marah dengannya. Setiap perkatannya aku bantah dengan segala cara. Sungguh sangat tidak peduli apapun yang wanita itu katakan kepadaku. Label menjadi anak nakal pun, ia sematkan kepadaku.
Terkadang aku sering berkhayal dan tertawa dalam khayalanku atau terkadang aku berbicara sendiri. Aku berkhayal aku melihat dapat melihat makhluk halus dan itu kukatakan pada teman-temanku. Aku kadang berkhayal dan mengatakan kepada teman-temanku aku bisa melihat masa depan setiap orang. Mereka menganggap anak yang memiliki kelebihan. Aku tidak mengerti apa tujuanku saat itu dengan mengatakan semua kebohongan itu kepada teman-temanku. Ya, mungkin saja aku membutuhkan perhatian mereka. Banyak kebohongan dan cerita-cerita aneh yang kubuat di masa kecilku itu.
Sesungguhnya tak hanya itu saja keanehanku, semakin hebatnya keanehanku ini hingga aku menganggap lebih baik aku tidak pernah ada di dunia ini. Ya, aku mulai mencoba untuk melukai diriku sendiri, walau sekedar hanya mencubit tangan ini. Atau mencabuti satu persatu rambutku sendiri dan berpikir dengan rasa sakit aku bisa merasakan apa itu kematian.
Tak cukup sampai disitu saja, hingga pada satu kesempatan aku pernah berharap selama ini aku berada di dunia mimpi. Mimpi yang sangat panjang dan hampir menyita seluruh hidupku. Dan membuatku tak pernah bangun dari mimpi ini.
Bukan hanya itu saja!
Jika aku mulai marah sendiri, aku mulai melempar barang-barangku ketika merasa kesal, aku tidak bisa mengontrol tubuhku untuk tidak melakukan itu. Entah kenapa hal itu terjadi?
Apakah orang tua melihat keanehanku?
Tidak!
Mereka disibukkan dengan Papaku atau mereka memang tidak peduli kepadaku?
Boleh dikatakan aku berontak pada diriku. Sering kali berbagai pertanyaan memutar otakku ini. Pertanyaan yang tak pernah kunjung ada jawabanya. Ya, Mengapa harus aku yang mengalaminya? Mama lebih memperhatikan Papa sepulangnya dari Singapur. Keadaan Papaku memang tidak bisa dibilang lebih baik. Aku pun melihat pertama kali rasanya ingin menangis melihat keadaan Papa. Kedua Kakinya masih diperban. Papa masih belum bisa berjalan. Sehingga semua hal kegiatan ia lakukan di kasur. Saat itu aku ke kamarnya, nampaknya Papa tahu aku mengintipnya dari luar.
Rasa kerinduanku sebagai anak yang sudah dua bulan tidak bertemu memang harus kuakui.
Dhani, sini sayang, kata Papa. Saat itu Papa tahu aku mengintip dari luar kamar. Aku takut menganggu Papa saat itu. Aku melangkah pelan menuju tempat tidur Papa
Anak Papa yang cantik ini, kok cemberut? tanya Papa yang berusaha menggodaku dan membuatku tertawa saat itu.
Beranikah aku mengatakan ini kepada Papaku tentang kejadian dua bulan lalu. Kejadian yang masih membekas sampai sekarang dan tidak bisa aku melupakannya. Adakah sebuat obat yang bisa membuat hilang ingatan atas kejadian itu?
Tahukah kalian? Apa yang kupilih saat itu. Ya, Saat ini aku lebih memilih untuk diam dan tak mengatakan apapun. Entah sampai berapa lama aku dapat menyimpan semuanya sendiri, aku sendiri tidak tahu. Tetapi ini berat untuk anak kecil sepertiku ini.