Februari 2015
Aku pernah bertanya kepada Tuhan
Mungkinkah aku menikah?
Pertanyaan yang konyol bukan?
Sebelum februari 2015, tiga bulan sebelumnya aku menghapus Rio dari semua kontak telepon dan media sosial. Tak ada pria yang mendekati di tahun yang baru umurku mendekati 31. Aku pernah bertanya kepada Tuhan? Apa akan selama ini wanita ini memiliki luka yang tak berkesudahan? Adakah satu orang yang bisa menyembuhkan semua luka-lukaku. Aku sendiri berat untuk menjalani semua hari-hariku ini. Sampai kapan aku terus membawa beban ini sementara ada kalanya aku sudah tidak sanggup untuk melanjutkan hidupku ini. Adakalanya aku berkata kepada Tuhan yang selalu menemaniku, Mengapa kau memilih aku untuk menghadapi ini?
Aku tahu bahwa aku mengalami sebuah ketakutan di umurku yang sudah melewati angka 30. Ketakutan untuk tidak menikah. Terlalu rawan untuk perempuan yang akan menikah. Kata mereka, bibit terbaik untuk memiliki anak adalah pada saat diantara umuri 25-32. Akupun was-was akan hal ini. Tentu ada rasa keinginan yang cukup besar untuk menjadi seorang ibu dan memiliki pendamping hidup. Aku mengisi kekosongan hati ini dengan menjadi seorang penulis Ghost Writer. Ya, hobiku adalah menulis. Aku tidak tahu sejak kapan aku bisa menulis. Yang pasti disaat emosiku meledak-ledak, selalu aku mencoba untuk menenangkan diri untuk menulis. Dan itu selalu berhasil, dan aku mengira jika menulis adalah obatku saat ini.
Saat waktu SMP mama pernah menemukan aku menulis puisi di beberapa lembar kertas folio bergaris. Saat itu aku memang menuliskan banyak kata yang tidak dipahami oleh siapapun hanya untuk membuat lega perasaan dan pikiranku saat emosi sedang meledak-ledak. Namun saat mama menemukan tulisanku yang kuingat saat itu aku justru marah kepadanya karena ia dengan lancangnya membaca tulisan tanpa aku tahu. Aku mengunci di kamar dan mengutuki wanita itu!
Nah, ketika wanita kesepian diusianya yang sudah menginjak 31 tahun ini, dia hanya bisa menyalurkan hobinya itu untuk membuat merasa tidak kesepian lagi. Ya, Disaat itu aku menulis buku motivasi dari seorang motivator ternama untuk ulang tahunnya yang ke 50 tahun. Tahukah engkau wahai para pembaca buku Tulisan motivasi itu? Kalian tidak pernah menyadari jika tulisan itu dibuat oleh sang penulis yang ternyata membutuhkan motivasi yang besar untuk bisa melanjutkan hidupnya. Yang sangat pesimis terhadap masa depannya sendiri, bahkan masih ada pikiran jika dirinya tidak pernah ada di dunia. Padahal di bab-bab tertentu tulisan untuk motivator tersebut banyak kata yang aku gunakan untuk menatap masa depan lalu ada apa sesungguhnya dengan penulis ini? Tidak hanya satu buku motivasi saja yang aku tulis. Hampir lima buku motivasi untuk orang lain yang telah aku tulis. Bahkan buku pertamaku adalah cerita pendek motivasi, lucu bukan? Yah, ternyata pekerjaan ini membuatku terlena beberapa saat.
Dengan pekerjaan ini, setidaknya aku tidak merasa kesepian dengan hobiku ini. Tetapi ada kegundahan di dalam hatiku mempertanyakan kapan aku bisa melangsungkan pernikahan. Teman-temanku sudah terlebih dahulu meninggalkanku dan bahagia dengan pendamping hidupnya masing-masing. Tak jarang setiap malam setiap menyelesaikan tugasku mempertanyakan hal ini, rasanya terlalu sulit memejamkan mataku ini untuk melihat masa depanku? Apakah selamanya aku harus hidup sendiri dan menerima tawaran dalam menulis naskah motivasi padahal sang penulis lebih membutuhkan motivasi dalam kehidupannya?
Aku selalu mempertanyakan, Tidakkah pantas aku bahagia? Di sampingku mama yang sudah terlelap tidur. Aku terkadang mempertanyakan kembali, Apakah ini rencanaMU mendampingi wanita ini sepanjang hidupku. Dengan luka ini?
Setiap malam mama tidak pernah mendengar aku menghela nafas begitu panjangnya mempertanyakan nasib sendiri. Terkadang bahkan aku sering mempertanyakan kepada Tuhan, Haruskah aku melewati lembaran hitam ini, dengan selalu membawa lukaku ini?
Inikah sebuah jalan yang ditulis dalam buku kehidupanku?
Bisakah aku menutup buku kehidupanku ini
Dengan satu kata saja
Kebahagiaan....
Atau memberi warna terbaik
Di dalam buku kehidupan ini...
****
Hari itu, tidak pernah ada perasaan apapun saat aku mengadakan meeting bersama dengan teman sepekerjaanku dalam dunia penulisan ini. Temanku tiba-tiba mengenalkan aku dengan aplikasi baru yang menurutnya cukup baik pertemanan. Dia berusaha merayuku untuk menggunakannya dengan menceritakan kelebihan aplikasi itu menurutnya.
Mba, kamu pakai meet me tidak? kata Syifa. Wanita berkerudung pink yang aku bilang mirip dengan artis cantik, Raisa.
Aku yang tidak cukup familiar itu mengatakan dengan singkat Gak, buat apa? tanyaku yang sebenarnya tidak terlalu minat dengan apa yang dikatakanya.
Itu bagus loh mba, buat cari teman, katanya.
Masak? tanyaku basa-basi
Jadi, dalam kita bisa tau teman-teman yang ada disekitar dari radius berapa meter, katanya berusaha untuk mencoba menjelaskan aplikasi tersebut.
Ya, nanti aku download, jawabku yang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan apa yang dikatakannya. Karena sesungguhnya aku pernah punya pengalaman trauma karena membuat account di dunia maya dengan berharap jodoh datang padaku, ini akan kuceritakan di lembar-lembar berikutnya. Aku hiraukan apa yang mengganjal di pikiranku tentang program itu. Namun anehnya semakin ku menghiraukan rasa ingin tahuku semakin besar kuputuskan untuk membuat menginstall meet me tersebut di handphoneku. Entah ide dari mana itu, yang jelas tiba-tiba aku melakukanya karena rasa ingin tahuku yang begitu besarnya.
Tiga hari pertama membuat account dengan namaku sendiri membuatku harus banyak meladeni beberapa pria yang ingin berkenalan denganku. Kadang aku abaikan, kadang aku jawab. Sesuai dengan perasaan hatiku ini saja.
Aku sudah mulai malas saat beberapa pria menunjukkan nafsunya yang tidak jelas. Terkadang pria itu meminta fotoku tanpa hijab, atau lebih parahnya merayuku untuk mau melakukan chat Sex. Hingga pada saat itu, datanglah dia kepadaku. Awalnya tidak pernah aku hiraukan, karena perbedaan umur yang terlalu jauh. 13 tahun. Rasanya aku sudah lelah berkenalan dengan pria yang beristri. Aku tahu dengan umurnya saat ini, pria tersebut telah memiliki istri. Dan tentu saja aku tidak pernah ingin menyandang satu gelar yang sering disebut yaitu PELAKOR walaupun para pria sengaja menyembunyikan statusnya itu.
Pada saat itu, aku memang memberikan alamat facebookku yang asli. Entah kenapa karena facebook yang kuberikan ini membuatnya semakin ingin mengenaliku. Dia berusaha untuk mencari tahuku lebih jauh. Sesungguhnya tidak pernah ada yang istimewa di facebook selain hanya foto-fotoku yang telah berhijab itu. Foto-foto itu pun juga tidak menarik.
Dan dua hari setelah dia mengirimkan pesan yang membuat aku heran sekali. Aku telah melihat semua fotomu di faceboook. Aku merasakan kamu perempuan baik, dan aku merasakan kamu adalah masa depanku. Kuanggap ini sebuah rayuan laki-laki yang ingin mendekati perempuan, karena semuanya mereka begitu. Lalu apalah arti foto yang bisa menentukan masa depannya? Dan kupikir dia adalah pembohong, seperti pria sebelumnya.
Bagaimana kau begitu percaya tentang masa depanmu bersamaku?kataku.
Entahlah kata hatiku berkata demikian.
Kau belum mengenalku lebih jauh, aku ini buruk! kataku. Tentu saja menggunakan bahasa inggris yang seadanya.
Aku menjelekkan diriku sendiri di depannya. Namun dia tidak memperdulikannya. Dia terus mendekatiku dengan kata-katanya. Aku katakan kepadanya. Jika ingin tetap terus berada di temanku pada sosial media itu, maka janganlah berbicara tentang seks. Karena aku tahu banyak pria di dunia maya yang mengambil keuntungan wanita untuk memuaskan nafsu belaka. Sering sekali mereka melakukan chat sex mengarahkan kepada ketidaklaziman hubungan pria yang serius mendekati wanita atau bahkan para pria dapat berharap dapat melakukan video seks dengan lawan bicaranya itu.
Apakah kamu melihat kata-kataku mengandung sex? katanya.
Memang tidak sejauh ini. Sejauh ini kulihat dia pria yang serius dibalik kacamatanya. Dari lihat wajahnya aku tidak melihat sesuatu yang jahat untukku. Namun bisa jadi dibalik wajahnya yang pura-pura baik ternyata dia mencoba untuk menipuku.
Aku tanyakan kembali kepadanya, Apakah kau pernah menikah? tanyaku yang langsung to the poin. Karena aku tidak ingin tertipu lagi dengan status pria yang telah menikah dan tentu saja aku jijik menyandang gelar perusak rumah tangga orang lain.
Ya, aku pernah gagal dalam pernikahanku. Kami berpisah cukup lama, sudah hampir 7 tahun aku tidak lagi menginjak rumah itu, katanya.
Berapa anakmu? tanyaku yang langsung saja tanpa basa basi.