Dan karena aku wanita

Agustina Ardhani Saroso
Chapter #7

7. Keajaiban Cinta

Karena cinta segalanya menjadi ada, 

Dan hanya karena cinta pula

Maka ketidaan nampak sebagai keberadaan

Jalaludin Rumi

Maret 2015

Jarak kami terbentang lebih dari 10.000 Km antara Indonesia Istanbul. Bercerita tentang aku dan dia hanya satu kata yang terbesit saat itu yaitu keajaiban. Banyak sekali keajaiban yang terjadi antara aku dengannya. Luar biasa bukan, Tuhan mengirimkan dia untukku disaat aku membutuhkannya. Disaat aku mempertanyakannya kepadaNya, beratus pertanyaan yang menghinggap di pikiran ini. Sungguh bagiku ini adalah sebuah keajaiban terbesar dalam hidupku. Lalu apakah kau akan sia-sia kan keajaiban yang belum tentu datang kedua kalinya? Pastinya kau pun akan menjawab tidak. Dan aku tentu mampu mengatakan dengan kata tidak juga. Akan kusimpan erat-erat kata keajaiban itu dengan segala perjuangan yang akan aku lakukan untuk bersamanya. 

Keajaiban cinta yang kami miliki salah satunya adalah sering kali aku dan dia bisa membaca pikiran masing-masing. Secara kebetulan dia mengatakan apa yang aku pikirkan dan begitu sebaliknya. Ini sangat aneh sekali. Dengan jarak ribuan kilometer kami bisa melakukan hal ini. Membaca pikiran satu sama lain. Sebegitu dekatkah aku dengannya? Seakan-akan ruh aku dan dia sedang duduk bersama dalam satu kesepahaman. 

Belum sampai satu bulan kami berkenalan hal tersebut seringlah terjadi. Apakah ini sesungguhnya sebuah pertanda bahwa dia adalah cinta sejatiku?  

Dalam dua paragraf ini, aku tahu banyak orang yang tidak mempercayai apa yang kami rasakan. Ketika dia menceritakan hal ini kepada temannya. Itu pun tidak mudah dipercayai oleh temannya. 

Baru ketika kami bisa membuktikan bahwa ini adalah kebenaran adanya, ia pun mempercayainya. Ya, saat itu tanpa sengaja aku membaca pikiran yang belum sempat ia tuliskan di Whats App. Tidak cuma satu kali saja aku mampu melakukanya. Berkali-kali, begitupun juga dengannya. Kami saling bisa membaca apa yang kami ingin ucapkan satu sama lain.  

Jarak kami terpisah ribuan kilometer tetapi aku dan dia dapat merasakan kehadiranku disisinya. Dia selalu bercerita tentang masa depannya jika bersama aku. Dia begitu dekat denganku. Aku bisa merasakan dia hadir saat aku membutuhkannya.  

Hubunganku dengan dia, yaitu saling memahami satu sama lain yang begitu mudah dan dalam waktu yang singkat. Namun tidak dengan hubunganku seorang ibu dan anaknya. Seperti yang aku alami dengan mama dan aku. Hingga pada satu ketika tubuh dan jiwaku menyadarinya bahwa ada kesalahan dalam kepribadianku ini, namun aku tidak mampu melepaskannya. Saat aku menyadari kesalahan kepribadian itupun tidak mudah. 

Satu persatu dia mengenalkan arti cinta sesungguhnya kepadaku. Ini belum pernah aku dapatkan. Aku yang merengek-rengek tentang cinta kepada keluarga dan pria-pria lain, namun dia memberikannya tanpa aku minta. Dia mengenalkan padaku bahwa sesungguhnya cinta adalah rasa saling memaafkan satu sama lain. Dia tahu aku masih memiliki luka itu kepada mamaku namun dengan cintanya dia mengatakan bukankah rasa maaf itu lebih indah, mengapa kamu tidak mencobanya? 

****

Jika seandainya kita terlahir kembali lalu bertukar tempat, kau pasti akan mengerti perasaan seperti apa yang kurasakan saat ini

Aku masih mengingat saat diriku yang terlahir kembali kata itu yang kugunakan hingga kini 

Ya.. masa itu.,

Januari, 2005 dua minggu setelah kejadian Tsunami aceh itu, aku mengalami tsunami jiwa kembali. Saat jiwaku begitu rapuhnya kehilangan orang yang sangat dicintai. Dan bodohnya adalah aku merasakan benar-benar sangat menyayangi saat dia pergi untuk selamanya. Dan aku tidak menyangka mengapa begitu cepatnya usia Papa yang belum sempat aku membuatnya bahagia. Belum sempat juga aku mengatakan maaf atas semua kesalahanku sebagai anaknya. 

Papa meninggalkan kami untuk selamanya di saat aku belum menyelesaikan kuliahku, yang baru menginjak tingkat dua. Juga adikku yang masih duduk dibangku Sekolah Menengah Atas

Tiga jam sebelum kematiannya, aku sempat dibangunkan oleh mamaku untuk meminta bantuanku dengan menanyakan sesuatu yang ia tidak mengerti di komputer. Setelah selesai aku pun kembali ke tempat tidur. Saat itu aku mendengar suara mama yang mulai gelisah, aku terbangun kembali, kulihat Papa sudah terduduk dengan nafas yang terengal-engal. Sebenarnya Papaku pengidap asma, hal ini sering terjadi kalau sedang asmanya kambuh, namun aku sama sekali tidak meyangka jika hari itu adalah hari terakhir aku melihatnya. Benar-benar proses yang sangat cepat dan mendadak, sungguh kematiannya tidak merepotkan kami sebagai keluarganya dan begitu cepatnya. 

Satu jam sebelum beliau masuk ke liang lahat, aku sempat tak sadarkan diri. Jiwaku tergoncang, belumlah siap aku melihat Papa pergi untuk selamanya. Kulihat mamaku menangis dengan wajah yang amatlah pucat. Baru pertama kali aku melihat kesedihan di wajah mamaku. Ya aku barulah merasakan perjuangan seorang ayah yang luar bisa menyekolahkan kami walaupun belum selesai pendidikan ini, namun dalam keadaan fisik yang tak menunjang tapi mampu mengantarkanku sampai bangku kuliah. Bisakah kalian bayangkan betapa luar biasanya Papaku ini? 

Selama kami tinggal di Jakarta sering kali kami berpindah-pindah tempat dan tidak memiliki rumah. Mengontrak satu ke rumah satu lainnya, begitulah perjalanan keluarga ini selama hampir 10 tahun berada di Jakarta. Hal yang luar biasa Papaku sangat berpegang teguh bahwa pendidikan adalah hal yang utama ya, Bagi Papa yang penting adalah pendidikan anak-anak terselesaikan dahulu. Ia selalu mengatakan hal itu setiap kalinya. Setiap aku kesulitan untuk uang sekolah Papaku selalu berusaha untuk menyelesaikan persoalanku juga. Dengan keadaan pincang setelah kecelakaan itu Papa berjuang untuk kami. Terkadang hujan ia tidak memperdulikan ia terus berjalan untuk mencari kebutuhan ekonomi dengan keadaan fisik yang tak menunjang. Padahal aku pikir dengan fisik yang tak sekuat dahulu lagi sedikit menyusahkan untuknya jika harus bekerja berat. Papa tidak pernah mengeluh hal ini. Namun sebagai anaknya aku bisa menangkap wajah guratan kelelahan saat ia pulang dari pencarian untuk anak-anaknya. Bahkan aku sering melihat terkadang Papaku kehujanan dan sering batuk-batuk setelah pulang kerja dan itu untuk memenuhi kebutuhan kami. Pekerjaan Papaku bukanlah tetap, berharap dari hari ke hari ada sesuatu yang bisa diandalkan. Setiap hari harus mencari jalan bagaimana memenuhi kebutuhan kami hari ini. Bahkan kami tidak pernah tahu apakah besok kami bisa makan apa tidak. Aku masih ingat saat kami tidak memiliki beras, saat itu Papa hanya membawa singkong dari rumah adiknya yang di cinere untuk bisa mengganjal perut keluarga dalam satu hari. Atau kami harus berbagi satu telur untuk berempat.  

Masih teringat saat itu, kenangan yang tak akan pernah aku lupakan pertama kalinya aku membelikan Papaku sesuatu. Ya, Aku sempat membelikannya sesuatu hadiah pertama dan terakhir kali untuk Papa. Saat aku diterima sebagai asisten lab di Universitasku. Sebenarnya uang tersebut tidaklah seberapa namun betapa nikmatnya aku sempat membelikan Papaku dari hasil uang hasil keringatku.  

Gaji pertama aku gunakan untuk membelikan baju koko dan es krim sebagai hadiah ulang tahunnya, namun aku tidak menyangka jika aku tidak bisa membelikan hadiah kembali untuknya, hadiah tersebut adalah hadiah pertama dan terakhir kalinya yang kuberikan dari hasil kerja kerasku bukan dengan mencuri seperti yang aku lakukan saat di SMK itu.  

Hebatnya skenario Tuhan yaitu setelah meninggalnya Papa aku dilahirkan kembali sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Dan itu akan terasa sangat berat jika kau masih memiliki beban berat dalam hidupmu ini. Jika sebelumnya aku tidak memiliki beban hidup sendiri mungkin fokusku hanya memikirkan masa depan keluargaku saat ini. 

 Bagaimana dengan abangku? Harusnya dia yang memikul tanggung jawab ini. Memisahkan Abangku untuk disekolahkan di Semarang adalah salah satu konflik dirinya sendiri terhadap keluarga. Ia selalu menyesali mengapa dirinya dipisahkan? Ia menjadi orang yang sangat acuh dengan keluarga. Tak jarang ia menjadi orang yang egois untuk kami. Atau bahkan ia juga memiliki kemarahan tersendiri untuk kedua orang tuaku yang telah memisahkan dengan alasan tidak mampu membiayainya sekolah. 

Banyak sekali kejadian yang menyita air mataku jika aku berurusan dengannya. Kami berdua sama-sama memiliki luka tersendiri. Aku tidak pernah membandingkan mana yang lebih besar. Namun bisakah kalian bayangkan jika aku seperti tidak memilikinya? 

Untuk kali ini aku minta maaf kepada abangku sendiri seharusnya bagian ini tidak kuceritakan. Aku tahu dia telah bahagia dengan kehidupannya. Dan aku pun tahu dia sudah berubah saat ini. Aku minta maaf jika membuka lembar lama yang berhubungan dengannya. Karena inilah sebenarnya perasaanku selama ini. 

Aku memiliki dia seperti tidak memiliki dia. Sering sekali pukulan kuterima darinya, karena kesalahpahaman yang terjadi. Kalau dia marah, terkadang dia sering sekali melempar aku dengan piring. Untung saja tidak mengenaiku. Dan aku pun demikian. Rumah ini menjadi sangat tidak damai apabila kami tetap mempertahan rasa ego ini. Banyak pertentangan yang terjadi antara aku dan dia.  

Aku tidak tahu apakah dia menyayangi sebagai adiknya. Atau setidaknya menganggapku adik perempuan? Jika ia menganggapku sebagai adik perempuan mengapa kata-kata itu pernah ia lontarkan dari mulutnya? 

Salah satu kata pedas yang kuingat saat aku kehilangan pekerjaanku adalah, Lebih baik kau jadi PSK saja sana biar dapat duit! Kuakui saat itu aku terluka dengan semua pukulanmu, dan kata-kata pedasmu. Aku seperti berdiri sendiri saat itu dengan kedua kakiku ini.  Bagaimana seorang yang rapuh seperti diriku ini memegang tanggung jawab yang tak biasa ini. Hei, jangan pikir aku kuat menanggung apa yang kualami ini. Berkali-kali keinginan untuk bunuh diri selalu ada dalam pikiran ini. Jalan pintas yang aku ambil ketika aku tidak memiliki jalan keluar dari masalah-masalahku adalah kematian. Maka keinginan tidak ingin hidup selalu menghantuiku saat ini. Setan-setan pikiran negatif ini memenuhi kepalaku ini. 

Bagian ini kuceritakan karena aku merasa memang tidak punya siapa-siapa di keluarga untuk menceritakan keadaan jiwaku. Dengan keadaan jiwaku yang sangat labil di bahuku memegang tanggung jawab yang sangat berat bukanlah sesuatu yang mudah, Kalian bisa membayangkan aku pun butuh sandaran, namun adik dan mamaku tergantung denganku? Adikku saat Papa meninggal masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Tentu saja dia harus melanjutkan perguruan tinggi yah, karena dia anak laki-laki yang setidak jadi harapan kami satu-satunya, diluar sifat abangku itu. 

Apa yang terjadi dengan tubuh dan hatiku pun saat itu aku tidak mengerti, saat mama mengatakan di depan jenazah Papa, Pah, siapa yang akan meneruskan masa depan anak-anak, kenapa pergi begitu cepat. 

Papa meninggal tidak meninggalkan apapun, uang tak ada, harta pun tak ada yang bisa dijual. Bahkan Papaku bukan seorang pensiunan. Aku pun tidak menjawab kepada mamaku. 

Hanya hatiku yang menjawab kepadanya, Apakah aku tega membiarkan keadaan ini terjadi? Jika aku mampu biarkanlah aku yang meneruskan tanggung jawab ini, kataku dalam hati. 

Dan benar saja hal itu yang terjadi. Di tengah kerapuhanku sebagai perempuan, aku dilahirkan kembali dengan tanggung jawab yang begitu besar. Entah keberanian darimana aku mengambil semua tanggung jawab itu.   

 Jadwal kuliahku yang tadinya pagi aku ubah menjadi malam. Dengan maksud ingin bekerja dan mencari uang mencukupi kebutuhan rumah tangga, kebutuhan sekolah adikku dan kebutuhanku sendiri. Apakah ini berat? Kukatakan Ya, namun aku tidak mengerti kekuatan darimana yang bisa membuatku bertahan dan mampu melewati ini. Kekuatan yang luar biasa dalam diriku, terkadang aku bertanya kepada Tuhan, Apakah kau menciptakan kejadian masa laluku, karena aku kuat dan mampu? Namun bagaimana jika ini terhenti di tengah jalan tanpa mampu aku meneruskannya? Dan pada akhirnya karena hal ini membawa diriku dengan displin bekerja, belajar sebagai mahasiswi dan memahami kebutuhan keluarga. 

Banyak hal yang kulakukan untuk bisa menyeimbangkan hal ini. Sebagai seorang yang bertanggung jawab terkadang aku tidak memiliki waktu untuk memikirkan diriku sendiri. Tidak mudah membagi waktu dan memikul tanggung jawab yang begitu besarnya.  

Bayangkan saja dari 7 hari seminggu, jika pagi hari digunakan untuk bekerja, malamnya kuliah. Sabtu pagi kembali bekerja, sedangkan siang sampai malam kugunakan untuk mengajar. Begitu juga hari minggu. Tidak ada hari libur untukku. Jika waktuku sempat kugunakan untuk menjual nasi uduk buatan ibuku. Atau kugunakan untuk mencuci pakaian dan piring sehari-hari. Terkadang setiap harinya aku hanya mampu tertidur 4 jam. Bagiku ini cukup. Kukatakan sekali lagi jika ini kekuatan yang tersembunyi di dalam tubuhku. Aku pernah berharap satu hari aja aku bisa menikmati tidur panjangku di rumah. Nyatanya itu hanyalah sebuah khayalan belaka. Jika hari libur maka aku harus kerja, entah itu mencari les tambahan atau menjual nasi uduk buatan mamaku. Libur dalam satu hari adalah hadiah luar biasa untukku. Ya, karena aku hampir belum pernah mengalami libur seharian berada di rumah sejak Papaku meninggal dunia.   

Bagaimana dengan kuliahku saat itu?

Sebagai seorang mahasiswi swasta aku pernah mengajukan keringanan biaya, Ya walaupun beasiswa sudah kudapatkan namun itu tidaklah mencukupi, karena aku harus mencukupi kebutuhan keluarga. Berbagai jalan sudah ku ajukan, namun masih teringat salah satu pembantu dekan mengatakan Pikirkan dahulu sebelum mengambil kuliah swasta, seharusnya sudah ada biaya dong! Ini lucu tau-tau datang ke sini minta keringanan! dengan nada yang sangat sinis.  

Keinginanku untuk belajar sangatlah tinggi, nilaiku juga selalu baik. Lalu apakah aku salah jika mengajukan keringanan? Sebagai seorang yang bertanggung jawab terhadap keluarga, akupun harus memahami mereka yaitu mama dan adikku. 

Disinilah proses aku menyayangi mamaku. Dan proses bagaimana Mama memahamiku. Namun itu bukanlah sesuatu yang mudah. Tetap saja setiap aku emosi, sangat sering sekali aku mengungkit kesalahan mamaku itu setiap kami selalu bertengkar hebat. Dan itu tidak bisa aku hindari. Selalu terjadi pengulangan setiap saat. Dan aku tidak mengerti sampai kapan hal ini akan terus terulang lagi. Aku yakin walaupun disini aku menyayangi mamaku dengan tanggung jawab ini disatu sisi aku masih memiliki luka terhadap wanita ini juga.  

Dalam dua sisi ini, pada rasa sayangku di lubuk hatiku yang paling dalam, ada rasa yang terbesit yang tak bisa aku elakkan, aku ingin membahagiakan mamaku. Dan pada saat itu aku berdoa pada Tuhan, aku hanya ingin memiliki dua permintaan untuk mamaku. Membawanya ke Tanah suci dan membelikannya rumah untuk kami tinggal. Aku tidak butuh rumah yang mewah. Hanya rumah sederhana yang tidak mahal, karena sejak tahun 1994 kami berada di Jakarta sudah lebih dari 15 x kami berpindah-pindah tempat tinggal. Rasa lelah dan letih dari keluarga kami pun sudah tak bisa aku gambarkan saat ini. Pernah mama menangis karena begitu inginnya ia memiliki rumah disaat di satu titik kami telah berpindah-pindah tempat terus menerus. 

Kalian tahu, bukankah sesuatu yang luar bisa ketika Allah mendengarkan dan mau mengabulkan doa umatnya. Ya, termasuk aku ini. Aku pikir aku adalah manusia yang penuh dosa karena begitu jahatnya aku bersikap kepada wanita yang melahirkan aku di kehidupan ini. Namun baru aku sadari Allah memiliki penilaian tersendiri terhadap MahlukNya. Belum tentu penilaian orang lain atau kita sendiri sama dengan apa yang Allah nilai.  

Di tanah suci, aku sudah membawa mama ke sana. 2014 adalah tahun keberuntunganku saat aku berhasil membawa mama pertama kali menginjakkan tanah suci. Ini adalah keberhasilanku pertama. Kerja kerasku selama ini membuahkan hasil yang baik. Bagaimana dengan rumah? Saat ini aku masih berusaha untuk melunasi pinzaman selama 20 tahun kepada tanteku. Aku tidak tahu caranya, tetapi entahlah setiap aku ada masalah hanya keyakinan yang membawa diriku percaya akan ada solusinya. Dan aku yakin Tuhan bersamaku dalam setiap masalahku. Ya, aku selalu berdoa untuk ditemukan solusi yang baik untuk hidupku. 

Sering sekali aku tidak sepaham dengan tanteku. Tanteku sangat berpikir realistis namun 90 % aku berpikir menggunakan perasaan dan insting. Aku tidak tahu apakah ini salah atau benar? Namun beginilah aku. Aku tidak ingin berusaha menjadi orang lain dengan cara pandang yang berbeda. 

  Saat itu aku mendekati mamaku, kali ini aku berhati-hati kepadanya saat aku ingin mengenalkan dia kepada mamaku. Aku tahu itu sulit, statusnya yang telah menikah dan jarak membuat pertimbangan sendiri untuknya. 

Ma, dhani lagi dekat sama seseorang, kataku. Ketika menghampiri Mama di dapur.  

Siapa? Dan orang mana? tanyanya dengan cepat dan penasaran.  

Aku yang keturunan dari darah jawa yang begitu kental akan nilai tradisional tentu saja menjadi pertimbangan sendiri oleh mamaku. Apalagi mamaku, sangat sulit sekali menerima orang yang tidak setara dengannya. Jujur aku tidak peduli dengan title darah biru yang keluarga mamaku selalu sematkan di keluarga ini. Aturan adat istiadat yang terlalu kental bagiku membuatku pusing. Bagiku semua orang sama. Amalan ibadah yang membedakannya. Aku tidak mau ambil pusing untuk urusan hal yang berbau tradisional ini. 

 Orang Turki, mah, kataku singkat.

 Mendengar hal ini, mama menghentikan pekerjaannya dan menghadapku. 

Dia duda, 3 anak. Kataku. 

 Tentu mendengar hal tersebut mama sangat terkejut. Bukan harapan seorang ibu seperti mamaku untuk mendapatkan duda. Mendengar kata duda saja membuat mamaku risih.  

Gak, kamu gak boleh! Masih banyak pria yang bujangan disini. Jauh-jauh dari sini nyarinya duda lagi! Mama pun maunya kamu dapat orang jawa, katanya dengan nada yang agak meninggi. 

Tapi ma, dhani mau serius, kataku lagi.

Serius? Kamu pikir mama tidak serius, mba? 

Ma, tolong aku ingin bahagia, kataku sambil memohon dengan kedua tanganku ini. Bahkan aku sempat menitikkan air mataku karena ini. 

Lihat selengkapnya