Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Fajar dan Bu Mila, bundanya, sibuk menggeret segala perlengkapan seperti koper dan tas-tas kecil ke halaman depan. Sedangkan Pak Rajendra, ayah Fajar, sedang mengecek ruangan secara bergilir untuk dimatikan lampunya. Tak lupa beliau mengecek seluruh pintu ruangan untuk dikunci.
Pesawat yang mereka tumpangi nantinya akan lepas landas pukul 3 siang, sedangkan jarak dari rumah Fajar ke bandara memakan waktu sekitar 45 menit belum termasuk macetnya jalanan. Fajar dan orang tuanya sudah mengatur waktu sebaik mungkin agar tidak terlambat.
"Sudah semuanya, Yah?" tanya Bu Mila ke arah dalam. Kepalanya menyempil dari balik pintu.
"Sudah, Bun," jawab Pak Rajendra dari dalam. Beliau bergegas menyusul istri dan anaknya ke halaman dan mengunci pintu depan.
"Barang-barangmu sudah semua, Nak?" tanya Pak Rajendra pada Fajar yang sedang mengikat tali sepatunya.
Fajar bangkit dari duduknya. "Sudah, Yah. Aku cuma bawa satu koper sama tas ransel ini," pungkasnya sambil menyerong sedikit untuk memperlihatkan ranselnya.
Pak Rajendra mengangguk. "Oke. Ayah langsung telepon taksi aja, ya."
"Iya langsung aja, Yah. Biar keburu," sahut Bu Mila.
Pak Rajendra mengeluarkan sebuah benda pipih dari sakunya dan mencari sebuah nama untuk dihubungi.
"Halo, Pak. Bisa jemput sekarang?"
"....."
"Oke. Saya tunggu, Pak."
"....."
Panggilan usai. Yang barusan dihubungi oleh Pak Rajendra adalah sopir taksi langganannya. Beliau sering menghubunginya apabila harus ke bandara, stasiun ataupun pelabuhan untuk keperluan kerja. Bu Mila dan Fajar tidak bisa mengantarkan, karena mereka sendiri sama-sama tidak bisa mengendarai motor ataupun mobil.
"Yah, aku udah boleh bawa motor enggak ke sekolah?" tanya Fajar pada ayahnya saat ia berusia 15 tahun.