Usai berbincang dengan perempuan di sebelahnya tadi, Fajar bergegas menuju kamar mandi untuk berwudu dan salat Zuhur. Dikarenakan pesawat lepas landas pukul 12 siang dan boarding 30 menit lebih cepat, ia dan orang tuanya terpaksa mengambil keputusan untuk salat di pesawat saja.
Sebelumnya, Fajar sempat mengajak perempuan di sampingnya itu untuk salat. Namun katanya, ia sedang libur hari ini. Sedangkan Pak Rajendra dan Bu Mila sudah lebih dulu menunaikannya saat Fajar tengah asyik berbicara.
Selesai salat, Fajar bergegas balik ke tempat duduknya. Didapati teman bicaranya tadi sudah tertidur pulas. Tentu saja, perempuan tersebut sudah lelah menahan kantuknya sejak awal.
Fajar menoleh ke jendela, suasana di luar sana sangat cerah hari ini. Tidak ada gangguan apa pun semenjak pesawat lepas landas tadi. Fajar melirik jam tangannya sekilas, waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Masih ada waktu sekitar 6 jam 55 menit lagi untuk tiba di Muscat.
Dan akhirnya, Fajar memutuskan untuk tidur juga setelah duduk dengan sempurna di tempatnya.
*****
“Sudah bangun?” tanya seseorang ketika Fajar baru saja bangun, sedangkan nyawanya belum terkumpul penuh.
Fajar mengerjap-ngerjap sebentar, mengucek matanya dan mencoba menetralkan kesadarannya. Setelah itu baru ia tau bahwa dirinya sedang berada di dalam pesawat.
“Iya. Kamu sudah bangun sejak kapan?” tanya Fajar seraya menegakkan posisi duduknya.
“Sekitar setengah jam lalu sepertinya, sempat ke kamar mandi juga barusan.”
“Hmm.” Fajar mengangguk-angguk. “Ngomong-ngomong tujuanmu mau ke mana? Apa memang rencana ke Muscat?”
“Iya. Mau silaturahmi ke rumah pamanku.”
Fajar mengangguk lagi. “Sendirian?”
“Tidak, bareng ibuku.”
“Oh ya? Ibumu di mana?”
“Di depan sana,” jelasnya sembari memanjangkan lehernya sedikit ke atas untuk meneliti kursi deretan depan. “Antara kursi nomor 8 atau 9 kalau tidak salah,”
“Hmm.”
“Oh ya, kita belum kenalan, kan?” gumam perempuan di samping Fajar saat kembali duduk seperti semula.
Fajar tercengang tidak santai, kemudian menepuk jidat. “Benar, bagaimana bisa? Padahal kita sudah berbicara banyak hal tadi.”
“Entah lah, aku juga baru sadar.” Lalu mereka berdua tertawa bersamaan.
Fajar menyodorkan tangannya lebih dulu. “Fajar Althaf Khadafi, panggil saja Fajar.”
“Lasika Artha, biasa dipanggil Sika,” jawabnya seraya menyambut uluran tangan Fajar yang menggantung di udara. Mereka serempak mengulum senyum, kemudian sama-sama menarik tangannya kembali.