“Ladies and Gentlemen, we shortly will be landing at Muscat International Airport in Muscat.
The local time now is 10 to 5 p.m. The time in Muscat is 3 hours ahead of Jakarta....”
Pengumuman mengenai pesawat akan segera mendarat kembali menggema ke seluruh ruangan. Satu persatu dari penumpang mulai sibuk mengecek barang bawaannya. Begitu pula dengan Fajar, ia meneliti sekitaran dan kantong kursi di depannya untuk memastikan sesuatu miliknya yang mungkin saja tercecer. Usai, Fajar menarik ranselnya dari bawah kursi dan memangkunya sampai pesawat benar-benar mendarat sempurna.
“Kita tunggu sampai yang lain turun dulu ya, Nak,” seru Pak Rajendra pada Fajar.
“Iya boleh, Yah,” jawab Fajar seadanya.
Badan pesawat membentur keras lintas jalanan. Sesaat kemudian, pintu depan dan belakang pesawat dibuka. Para penumpang bergerombolan membuka bagasi kabin dan mengambil barang bawaannya. Seperti hal nya berangkat tadi, satu persatu dari mereka mulai memadati lorong pesawat untuk mengantre turun melalui pintu terdekat.
Fajar celingak-celinguk mencari Sika di depan sana. Namun karena banyaknya penumpang yang memadati lorong, Fajar sedikit kesulitan untuk mendapatkan sosok yang dicarinya. Fajar sendiri juga tidak tau pasti Sika berada di kursi yang mana tadinya.
Sampai akhirnya antrean mulai merenggang, Sika masih juga belum kelihatan batang hidungnya.
“Ayo, Nak. Bantu Ayah ambilkan koper ini,” gumam Pak Rajendra saat sudah berdiri menghadap jendela pesawat sembari mendongakkan kepalanya ke arah bagasi.
“Iya, Yah,” ujar Fajar mengakhiri pencariannya. Ia berpikir bahwa Sika memang sudah turun lebih dulu, dan pembicaraan mereka tadi adalah akhir dari pertemuannya. Sungguh disayangkan, pikirnya.
Bu Mila ikut keluar dari deretan kursi, kemudian berjalan lebih dulu ke arah pintu belakang. Pak Rajendra menyusul, begitu juga dengan Fajar dengan beberapa tentengan di genggamannya.
“Sekarang udah jam berapa, Nak?” tanya Bu Mila pada Fajar.
“Jam ....” Fajar menjeda kalimatnya seraya melihat ponselnya mencari menu ‘Jam Dunia’. “Satu menit lagi jam 5 pas, Bun.”
Bu Mila mengangguk-angguk, kemudian beralih ke Pak Rajendra. “Ini transitnya berapa jam, Yah?”
“Hampir 19 jam juga kayaknya, Bun.”
“Berarti kita menginap dulu ya, Yah?”
“Iya, Bun. Nanti kita cari Guest House terdekat aja dari sini. Biar gampang dan keburu untuk balik lagi ke bandara.”
“Oke, Yah.”
Sembari menunggu koper muncul dari mulut belt, Fajar kembali melirik ke sana kemari untuk mencari sosok Sika. Ia menyapu pandangan ke sekitar, namun tetap saja hasilnya nihil. Fajar membuang napasnya kasar, Sika benar-benar sudah menghilang.
“Kenapa, Jar?” ujar Bu Mila keheranan.