Sebuah mushaf Al-Quran, yang kemungkinan ditulis pada abad ke-12 M di Iran timur, dengan tulisan Kufi sederhana, mempunyai kekhasan mencolok: kata-kata Muhammad rasûl Allâh (“Muhammad adalah utusan Allah”) dibedakan dari bagian-bagian lain dengan bentuk kaligrafi yang menarik perhatian; demikian juga seluruh Surah Al-Ikhlâsh ditulis dengan huruf-huruf yang kuat dan jalin-menjalin.1 Penulis tak dikenal itu mengungkapkan dengan jelas dan gamblang kedudukan utama Nabi Saw. dalam Islam. Sesungguhnyalah, bagian yang dipilihnya untuk ditonjolkan adalah bagian kedua dari kalimat syahadat Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad rasûl Allâh, “Tidak ada tuhan selain Allah, (dan) Muhammad adalah utusan Allah.” Dengan posisi sentralnya dalam kalimat syahadat ini, Nabi Muhammad menegaskan definisi Islam sebagai sebuah agama.
Dalam sebuah artikel tentang profetologi Ibn ‘Arabî, Arthur Jeffery menulis: “Bertahun-tahun lalu ... mendiang Syaikh Mushthafâ al-Maraghî berkata saat berkunjung ke rekannya, uskup Anglikan di Mesir, bahwa penyebab penghinaan paling umum yang tidak selalu disengaja dan dilakukan orang Kristen kepada kaum Muslim adalah ketidaktahuan mereka tentang penghormatan kaum Muslim yang sangat tinggi kepada pribadi Nabi Muhammad.”2 Komentar teolog Mesir ini tepat sekali. Kesalahpahaman tentang peran Nabi Saw. dalam Islam telah, dan masih tetap, menjadi salah satu penghalang terbesar bagi apresiasi atau penghargaan orang Kristen kepada penafsiran Muslim atas sejarah dan kebudayaan Islam. Sebab, lebih dari tokoh sejarah lainnya mana pun, sosok Nabi Muhammad sajalah yang sanggup membangkitkan kegentaran, keseganan, dan kebencian di Dunia Kristen Abad Pertengahan. Ketika Dante, dalam karyanya berjudul Divine Comedy, melukiskan Nabi Saw. menanggung siksaan abadi di jurang neraka yang terdalam, sebenarnya dia mewakili perasaan orang-orang Kristen yang tak terhitung jumlahnya pada waktu itu, yang tidak bisa memahami bagaimana mungkin—sesudah munculnya agama Kristen—sebuah agama lain lahir di dunia, sebuah agama yang, lebih “parah” lagi, sangat aktif di dunia ini, dan secara politis sangat berhasil, hingga umatnya mampu menguasai bagian-bagian luas dari wilayah-wilayah di Laut Tengah yang sebelumnya menjadi wilayah Kristen.
Di sini bukanlah tempatnya membahas secara rinci pencemaran citra Nabi Muhammad sebagaimana dijumpai dalam literatur Eropa Abad Pertengahan dan bahkan yang agak modern sekalipun. Hampir tidak ada penilaian positif yang dikemukakan Barat kepada Nabi Muhammad, sosok yang berhasil melancarkan salah satu gerakan agama paling sukses di muka bumi ini. Oleh karena itu, kajian tentang citranya sebagaimana tecermin dalam sejarah, drama, puisi, dan—tidak kalah penting juga—di bidang keilmuan membutuhkan satu usaha besar tersendiri.3
Di zaman kita sekarang ini, kesadaran-diri baru kaum Muslim telah menimbulkan kejutan besar di Dunia Barat, yang sudah lama mengira bahwa Islam hampir mati. Bagaimanapun juga, kesadaran-diri baru ini telah memaksa Dunia Barat untuk mempertimbangkan kembali beberapa gagasan dasar keagamaan dan sosial dalam Islam untuk mencapai pemahaman lebih baik tentang nilai-nilai yang dipegang oleh kaum Muslim. Hal ini bisa membantu upaya kita untuk melukiskan bagaimana kaum Muslim saleh memandang Nabi Muhammad selama berabad-abad, meskipun gambaran mereka tidak selalu akurat menurut tinjauan sejarah. Yang pasti, pandangan-pandangan kaum Muslim ini mencerminkan betapa amat besarnya pengaruh Nabi Saw. pada kehidupan mereka. Para pembaca non-Muslim akan bisa memahami—melalui kesaksian para teolog dan penyair dari kalangan bangsa Arab, Persia, dan Turki, dan kaum Muslim di India dan di Afrika—betapa dalam kecintaan kaum Muslim kepada Nabi; betapa besar kepercayaan mereka kepadanya; betapa luas penghormatan yang ditujukan kepadanya selama berabad-abad; dan betapa dia selalu dipuji dengan gelaran-gelaran paling mulia. Dari situ, akan tampak jelas bahwa Nabi Muhammad adalah contoh dan teladan bagi setiap Muslim, yang diseru untuk menirunya dalam setiap tindakan dan kebiasaan, bahkan untuk tindakan dan kebiasaan yang tampaknya remeh sekalipun. Akan sama menakjubkannya melihat bagaimana para sufi mengembangkan doktrin tentang “cahaya primordial” (nûr) Nabi Muhammad dan menempatkannya sebagai Manusia Sempurna, sebuah status dan fungsi yang hampir kosmis. Sebab, Nabi Muhammad—penutup dari serangkaian panjang para nabi, yang dimulai dari Adam sebagai bapak seluruh umat manusia—membawa wahyu terakhir yang mencakup seluruh wahyu sebelumnya dan sekaligus merangkumnya dalam kesuciannya yang murni.
Wilfred Cantwell Smith benar ketika menyatakan bahwa “Kaum Muslim masih bisa membiarkan serangan kepada Allah; ada banyak orang ateis, publikasi ateistik, dan masyarakat rasionalistik. Akan tetapi, penghinaan kepada Nabi Muhammad akan menyulut, bahkan dari kalangan paling ‘liberal’ sekalipun dari umat Islam, fanatisme yang menyala-nyala.”4 Ketika pada akhir 1978 di Pakistan muncul kritik atas usulan pemberlakuan prinsip Nizhâm-i Mushthafâ—Aturan Sang Manusia Pilihan, yakni Nabi Muhammad—sebagai garis pedoman untuk semua tindakan, harian terkemuka di negeri itu menerbitkan tanggapan atasnya sepanjang hampir setengah halaman yang ditulis oleh Mohammad Ismail dari Karachi dengan judul “Kekeliruan Luar Biasa.”5 Dalam tulisan itu, sang penulis menyerang mereka yang ingin mendefinisikan status Nabi Saw. sebelum membahas prinsip-prinsip yang diajarkannya. Paragraf utamanya berbunyi: