Dancing in the Silence

Dinda
Chapter #6

Veil of Pretense

"Beneath the smiles, a heart aches still,

Bound by the chains of others’ will,

Yearning for truth in a world so bright,

Yet lost in shadows, I hide from the light."


"Elara Thalasssa.... ayo keluar, kau terlalu menutup diri," begitulah ucapan orang- orang itu.

Saya pun terdiam, berbisik pelan berharap mereka mendengar, mendengarkan ucapan saya dan memasuki kehendak naluri saya tanpa benteng ego yang mereka dirikan megah.

"Bagaimana saya tertarik untuk keluar sedang saya lihat semua orang hanya ingin permintaannya dikabulkan tanpa pertimbangkan siapa yang tepat siapa yang kurang tepat tanpa peduli bagaimana yang benar dan mengapa itu salah juga tanpa peduli tentang bagaimana dan apa saja-kah yang saya rasakan. Tanpa peduli, kehancuran apa saja yang akan menghadang kemauannya yang tak bisa mereka kendalikan. "

***

Saya, Elara Thalassa, selain hal hal kotor dalam kehidupan yang sudah jelas dibenci semua orang, saya juga membenci beberapa hal. Beberapa hal yang mungkin terkesan aneh untuk dibenci karena sebagian besar manusia yang lain menyukainya. Tapi tak apa, sekalipun seluruh dunia juga menyukainya saya tetap akan selalu tahu dan ingat apa yang tidak saya sukai itu, hal hal seperti hingar bingar, keramaian, pesta, pujian, sorak sorai yang berlebihan, berbahagia tanpa kewaspadaan, kerumunan dan semuanya yang terasa berisik dan menyesakkan.

Tak hanya itu, saya juga membenci diri saya sendiri, diri saya yang juga mudah sekali terkena arus, yang belum kokoh seutuhnya gagah, yang belum pandai pula menegarkan diri dari kesalahan berpikir atau bertindak karena tertipu bias, belum sempurna kuat untuk membentengi diri dari jeratan emosi dan daya pikir legam orang orang, yang belum bisa kokoh dari lalai, yang belum pandai berlari dari luapan kemarahan diri, yang belum selalu ingat bahwa setiap orang juga sama sama belajar berjalan membawa misi kehidupannya masing masing.

Ada banyak yang saya benci dari diri saya sendiri, saya yakin tidak ada yang membenci diri saya sebesar kebencian saya terhadap diri saya sendiri.

Saya mencintai sunyi karena saya juga membenci diri saya yang berpotensi harus menjadi jiwa yang palsu jika keluar dan berinteraksi dengan jiwa jiwa yang lain, terlebih jika saat itu saya salah memilih jiwa untuk bersosialisasi.

Ketika saya menginjakkan kaki saya ke bumi, tidak lagi pada dimensi dimana hanya ada diri saya sendiri, disitulah saya mulai bermain, berganti ganti wajah menyesuaikan siapa yang sedang saya hadapi, mengutamakan sosok apa yang orang lain butuhkan untuk mereka temui tanpa memperdulikan keadaan dan keselamatan diri saya sendiri.

Keselamatan diri saya dari kerasnya hantaman makian orang orang yang tak tahu saya sedang memperlihatkan siapa jiwa di balik raganya tanpa memperdulikan keselamatan isi kepala saya yang akan terus memutar melodi dan kenangan kenangan dimana saya terpental pada situasi yang tidak nyaman untuk jiwa saya tanpa peduli bagaimana hancur hati kecil saya ketika mendengar keluh kesah dan tudingan orang orang yang tak pernah mau menelisik lebih dalam mengintip makna apa yang ingin saya sampaikan.

Saya membenci hal itu, saya sungguh membenci ketika saya harus mengenakan topeng topeng itu. Saya yang harus menjadi si paling tega, keras dan tegas padahal saya ingin selalu hidup dalam laku yang lembut dan jujur menunjukkan kerapuhan saya.

"Maka tempat seperti apakah yang harus saya tapaki selain tempat yang sunyi dimana saya bisa menjadi diri saya sendiri?"

Harus sampai kapankah sesak, sunyi dan sepi ini menjadi satu satunya sahabat sejati?

Lihat selengkapnya