Dancing in the Silence

Dinda
Chapter #13

The forgotten little girl.

Beneath her hands, the weight of time,

Each breath a climb, each tear a chime.

A child she is, yet worlds she bears,

Forgotten youth in unspoken prayers.

***

Saya Elara Thassa, Gadis ceria yang suka bermain peta umpet dengan orang yang ia sayang.

Tapi alih alih ingin menjadi pemenangnya yang berhasil bersembunyi dengan tak terlihat lalu mengalahkan dan mengambil alih benteng lawan, saya lebih ingin menjadi kalah.

***

"Tapi ah, sudahlah, tak penting juga."

Ohiya, selain bermain petak umpet, saya juga senang bermain peran.

Terkadang saya sedang bermain peran bahwa saya adalah sosok yang agung bagai ratu di istana lalu orang orang pun terpukau dan bertepuk tangan, saya kira setelah tepukan tangan dan puja puji yang riuh itu mereda, mereka paham bahwa saya sedang bermain pentas kolosal, sekarang pentas itu sudah selesai dan saya juga ingin beristirahat sejenak, menjelma pada asal sehingga kembali menjadi saya yang sederhana, sedikit ceroboh, banyak tidak tahunya, yang lemah dan perlu banyak bantuan serta dukungan.

Tapi sungguh sayang, ternyata mereka terlalu jauh masuk ke dalam pentas dan cerita yang saya mainkan. Entah karena saya yang terlalu lihai dan ahli bermain peran atau karena pertunjukkannya terlalu menakjubkan atau mereka yang memang tidak pernah mau atau mencoba untuk sadar dan membuka hati mereka pelan pelan agar memahami bahwa saya-pun manusia yang pasti butuh memeluk masa istirahatnya, saya juga perempuan kecil yang juga butuh memeluk segala sifat kecil saya setelah saya lalui segala badai sendirian.

Sayang sungguh sayang, bahkan terkadang yang paling dekat dengan hembusan nafas adalah yang paling terbuai dengan kisah hebat yang saya rancang.

Sehingga saya-pun bersahabat dekat dengan sesak dan juga isak dalam dekapan pilu sang kesunyian yang temaram dimana saya menanti sebuah waktu yang saya pun tidak pernah tahu apakah waktu itu suatu saat berkenan hadir atau tidak.

Yaitu sebuah waktu, waktu dimana saya dapat memancarkan indahnya kelembutan jiwa saya yang kerap kali saya sembunyikan dari dunia dan juga waktu dimana telah saya temukan sahabat yang bukan lagi gelap sunyi dan temaram, ataupun sebuah meja belajar saya yang koyak. Melainkan saya temukan ia, ia yang mampu memahami dengan hangat, meredakan tangan saya yang kedinginan, menopang jiwa renta saya yang lelah bermain peran hebatnya, serta ia yang bisa menjadi tempat berlindung dan penuntun saya untuk selalu berjalan dalam rahmat kasih Tuhan yang begitu saya sayang.

Tapi apapun yang terjadi juga tak apa, jika mereka selamanya memandang saya sesuka hati mereka juga tak apa, mungkin juga karena mereka lupa dan terbuai sehingga mereka menyuruh saya memainkan peran hebat itu terus-terusan, lalu mereka pun juga tidak sadar jika mereka mulai merantai kaki tangan saya dengan tali kekang yang lembut tapi disertai duri duri kecil menyakitkan di setiap sisinya yang membuat saya terus merintih kesakitan dalam diam.

Entah apa yang harus saya lakukan, jika saya memotong jeratan tali kekang ini, balon raksasa yang berisi perasaan kecewa mereka akan meledak dan serpihannnya juga akan melukai tubuh saya juga tapi jika saya biarkan tali kekang ini menjerat, saya akan merintih selamanya, tepatnya sepanjang nyawa saya bergandengan dengan raga.

Jadi, menurut kalian saya harus bagaimana?

***

Dan kini hidup saya masih begitu begitu saja.

Terkadang terdengar terdentang sekali lagi.

Tepuk tangan riuh gemuruh seolah mengibarkan kebanggaan dengan seruannya yang lagi lagi itu itu saja.

"Kamu hebat."

"Kamu luar biasa."

"Kamu begitu cemerlang."

Bukannya tidak bersyukur, tapi saya jengah dan mulai mempertanyakan segala kepiluan. Memangnya semua ini untuk apa? untuk apa dipuja seluruh dunia tapi tidak ada yang bisa menggandeng tangan saya, juga untuk apa semua ini jika tak ada yang bisa kau percaya untuk seirama dengan langkah saya ? untuk apa bekerja begitu keras mengorbankan segalanya hanya untuk tepukan tangan ? Tuhan, sungguh saya ingin sekali menjadi arogan sebentar saja. Tapi lagi lagi anak kecil merepotkan di dalam jiwa saya mengamuk hebat, meronta ronta dengan keras, "aku tidak mau jadi orang jahat," katanya.

"Sungguh, sungguh merepotkan."

***

"Senyapkan."

"Senyapkan." 

"Senyapkan."

Lihat selengkapnya