Dancing in the Silence

Dinda
Chapter #8

Meja Belajarku yang Rusak.

My desk, a vessel of unspoken light,

Shattered by hands blind to its sacred weight,

Yet wisdom, unbound by wood or fragile might,

Burns brighter still, untouched by fleeting fate.

***

Saya Elara Thalassa, perkenalkan sahabatku yang jauh di seberang sana, meja belajar saya yang terkoyak.

Saya meninggalkannya,

Tapi saya tinggalkan juga separuh jiwa saya di sana untuk menemaninya merasakan sakit dan pilunya tergores gores kecerobohan manusia.

Meja belajar saya itu, pemberian dari orang yang tersayang, yang tangannya tak akan bisa lagi saya genggam sebab ironisnya ia membiarkan saya sendirian begitu awal.

***

Meja belajar itu, tempat saya melukis bintang yang indah, tempat saya merajut pakaian bersama cahaya, sebab saya kira hidup saya kedepannya akan lurus lurus saja.

Ternyata tidak, saya tidak hanya butuh terang tapi juga butuh alas kaki yang tebal, sebab jalan yang saya tapaki ini penuh terjal, penuh bebatuan dan terkadang mesti melewati lembah yang bisa diam diam menelan langkah kaki saya.

Saya pun sesekali berkelana ke sana ke mari mencari alat untuk membuat sepatu yang bisa melindungi kaki kecil saya.

Lalu suatu ketika sebuah guncangan hebat terjadi di dalam rumah, saya tak sempat merengkuh meja belajar saya, ia pun tergores juga berdebu akibat lama tak saya sentuh dan beri peluk.

Tak hanya badai itu, taufan di luar rumah juga ternyata sama kejinya, kaki saya tergores, kini saya berjalan dengan pincang sehingga saya pegang sebuah kayu untuk menjadi tumpuan saya berjalan.

Lalu lebih buruknya lagi ketika saya kembali pulang setelah perjalanan mencari alas kaki yang nyaman demi sebuah perjalanan panjang, saya pun terkejut, meja belajar kesayangan saya itu telah patah.

Patah di kaki kanan kirinya, juga penuh gores hingga jika saya duduk dan belajar di sana bisa saya pastikan tangan saya akan berdarah terkena serpihan kayunya.

Lalu saya pun merintih bersama dengan tongkat yang saya pegang untuk memapah saya berjalan.

"Sudahlah, itu juga hanya seonggok kayu saja," ucap tongkat pegangan saya.

Sederhana pikirnya tapi sungguh menusuk dalam sekali hingga ke relung jiwa saya yang tak pernah terjamah luka dari manapun juga, tajam itu mengenai bagian terpenting dari jiwa saya.

Pikir saya, bagaimana bisa, kamu sebagai tempat saya menopang kaki saya yang pincang sebelah malah menyakitkan saya begitu dalam?

Mengapa kau menganggap kecil segalanya, termasuk saya juga. Padahal kau yang saya percaya untuk menopang saya.

Dia meja belajar saya yang berharga, satu satunya yang dapat mengingatkan saya kepada yang tersayang yang telah lama membiarkan saya berperang sendirian.

Dia, satu satunya cahaya saya.

***

Lalu sejak saat itu, tak pernah lagi ucap patah kata saya kan terdengar di telinganya, pergilah tongkat kayu itu dan akupun biarkan ia tergeletak terkena terik, angin dan hujan sesukanya, saya lepaskan satu satunya yang menuntun saya berjalan kala itu.

Dengan kaki yang masih pincang penuh luka, pula dengan jiwa yang sama babak belurnya, saya hadir menemui sang Pencipta, menuntut pertanggung jawaban.

"Engkau menghadirkan saya di dunia ini dengan segala impian dan cahaya yang begitu berkobar di dalam jiwa, Tuhan ijinkan saya berseru bahwa saya menolak keadaan ini, mengapa Engkau tempatkan saya di keadaan dimana saya rasanya hanyalah sebuah pecundang? Tuhan, aku yakin Engkau tidak pernah mempermainkan hamba, maka tolong bertanggung jawablah atas setiap nyala yang kau titipkan di dalam jiwa saya. "

***

Sambil menunggu Tuhan menjawab doa saya, saya mulai merawat luka luka saya, menyembuhkannya, juga mulai melepaskan hal hal berlebihan di dalam diri saya, pakaian tebal yang menyesakkan, gaun panjang yang menyulitkan langkah saya berjalan dan kaca mata hitam kebanggaan saya.

Saya buang semuanya.

Saya bersihkan diri saya.

Tanpa ada siapapun yang mengetahuinya.

***

Lihat selengkapnya